News

Komnas Perempuan Permasalahkan Pasal 11 PKPU 10/2023, Ini Alasannya

Komnas Perempuan mendukung langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang hendak melakukan revisi terhadap Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023). Namun Komnas Perempuan melihat ada revisi ini perlu juga memperhatikan aspek kekerasan terhadap perempuan, jangan hanya terpaku pada aspek keterwakilan perempuan di Pasal 8 Ayat 2.

Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menyoroti keberadaan Pasal 11 Ayat 1 huruf g PKPU 10/2023 yang hanya mengatur diwajibkannya bakal calon (bacalon) tidak pernah terpidana dengan ancaman lima tahun atau lebih. Menurutnya, aturan ini perlu diperinci tindak pidananya, mengingat banyak pelaku tindak kekerasan atau pelecehan seksual terhadap perempuan yang mendapat pidana hukuman di bawah lima tahun.

Tentu keberadaan aturan ini, sambung dia, membuka peluang bagi para politikus yang pernah berurusan dengan kekerasan terhadap perempuan untuk kembali lagi menjabat. Semestinya, KPU memegang teguh semangat dalam UU TPKS yang mengamanatkan pemerintah baik pusat dan daerah untuk melakukan tindakan-tindakan pencegahan kekerasan seksual.

“PKPU No.10 Tahun 2023 itu dibuat general hanya ancaman di atas lima tahun. Artinya kita tidak memberikan batasan orang-orang yang diduga kejahatan seksual anak dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Karena di Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No.12 Tahun 2022 di bagian pencegahan itu dinyatakan bahwa pemerintah pusat, pemerintah daerah harus melakukan tindakan-tindakan pencegahan terjadi tindak kekerasan seksual yang salah satunya melalui bidang pemerintahan dan tata kelola kelembagaan,” jelas Siti dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (12/5/2023).

Diberitakan sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat melakukan revisi terhadap Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023, khususnya Pasal 8 ayat (2) setelah menggelar forum tiga pihak di Kantor DKPP RI, Jakarta, Selasa (9/5) malam.

“Saat ini, Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 mengatur bahwa jika dalam penghitungan 30 persen bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) menghasilkan angka pecahan dengan dua tempat desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah,” katanya di Jakarta, Rabu (10/5/2023).

Ketiga lembaga penyelenggara pemilu itu sepakat untuk merevisi ketentuan tersebut menjadi pembulatan ke atas jika dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan.

Protes atas keberadaan Pasal 8 Ayat 2 ini ramai disuarakan berbagai pihak. Sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, telah menyampaikan audiensi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) soal penolakan terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 (PKPU 10/2023).

Perwakilan kelompok, Valentina Sagala memandang PKPU 10/2023 telah melanggar norma dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sekaligus juga bertentangan dengan Pasal 28H Ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menyebut bahwa setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

“UUD 1945 memberikan jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara,” kata Valentina di Kantor Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023).

Protes terhadap Pasal 8 Ayat 2 juga disuarakan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Ia berharap agar kuota 30 persen keterwakilan perempuamn terjaga.

Dengan adanya aturan pada PKPU 10/2023 tersebut, kata dia, daerah pemilihan (dapil) dengan jumlah kursi yang tersedia sebanyak 4, 7, 8, dan 11 akan menghasilkan keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen.

“Tetapi ini melepaskannya dari konteks bahwa undang-undang mewajibkan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil. Perempuan yang harusnya berkompetensi di Pemilu 2024, lalu tidak mendapatkan tiket itu karena keterwakilan perempuan didistorsi, dieliminasi oleh ketentuan itu,” ujar Titi.

Back to top button