Market

Pengamat Penerapan Penghapusan Kelas Beratkan Keuangan Rakyat Kecil dan BPJS Kesehatan


Penghapusan kelas rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan digantikan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), punya risiko memberatkan peserta kelas 3. Karena kemungkinan diberlakukan tarif tunggal atau single tariff. Selain itu, keuangan BPJS Kesehatan bakal kena dampaknya. 

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar mengatakan, penghapusan kelas rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan, mengundang banyak masalah baru.

Karena kemungkinan besar diberlakukan tarif tunggal, diasumsikan Rp75.000/peserta/bulan, maka kelompok 3 yang kena apes. Kecuali pemerintah menaikkan subsidinya.  Sedangkan peserta kelas 1 dan 2,  tidak terpengaruh.

Saat ini, iuran untuk kelas 3 BPJS Kesehatan ditetapkan Rp42.000/bulan. Di mana, masyarakat membayar Rp35.000/bulan. Sisanya yang Rp7.000/bulan ditanggung pemerintah.

Sedangkan iuran kelas 2 ditetapkan Rp100.000/peserta/bulan, dan kelas 1 sebesar Rp150.000/peserta/bulan.

“Misalnya, ditetapkan (tarif tunggal), peserta kelas 1 yang tadinya bayar Rp150 ribu dan kelas 2 yang tadinya Rp100 ribu, kewajibannya turun jadi Rp75 ribu. Sementara kelas 3 yang saat ini bayar Rp35 ribu, akan naik,” papar Timboel, Jakarta, dikutip Rabu (15/5/2024).

Jika subsidi pemerintah untuk peserta BPJS Kesehatan kelas 3 diasumsikan tetap Rp7.000/peserta/bulan, maka ada kenaikan iuran yang harus dibayar peserta sebesar Rp33.000/bulan.

“Ini membuat peserta kelas 3 semakin sulit membayar iuran dan menjadi menunggak iuran. Akibatnya tidak mendapat layanan JKN,” paparnya.

Saat ini saja, kata Timboel, masyarakat kelas bawah yang menjadi peserta BPJS Kesehatan kelas 3, kelimpungan membayar iuran Rp35 ribu/bulan. Apalagi jika naik menjadi Rp68 ribu/bulan.

“Kelompok masyarakat  yang iuran BPJS Kesehatannya Rp35 ribu/bulan, masih banyak yang nunggak, apalagi kalau naik. Maka akan semakin banyak yang menunggak,” tambah Timboel.

Selain itu, kata Timboel, berdampak pula kepada tingginya potensi utang BPJS Kesehatan terhadap rumah sakit (RS). Ujung-ujungnya berdampak kepada layanan kesehatan bagi peserta BPJS Kesehatan.

Selain ancaman defisit keuangan yang berujung penelantaran kesehatan masyarakat, Timboel melihat ada ancaman lain. Ketika ditetapkn skema KRIS, peserta BPJS Kesehatan kelas 1 dan 2 bakal merasa tidak puas dengan layanan kesehatan yang diperoleh.

Selanjutnya, dia mengutip pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan yang menyebut alokasi ruang perawatan KRIS di RS swasta, minimal 40 persen. Sedangkan RS pemerintah minimal 60 persen untuk rawat inap kelas standar, sisanya untuk pasien umum.

“Artinya terjadi pembatasan akses bagi peserta JKN untuk bisa masuk ke ruang perawatan di RS. Saat ini saja, ruang perawatan kelas 1, 2, dan 3 untuk pasien JKN masih saja terjadi kesulitan akses apalagi diberlakukan KRIS,” ungkapnya.

Ia menegaskan, tidak boleh ada lagi peserta JKN yang sulit mengakses ruang perawatan. Bahkan, pemerintah dan BPJS Kesehatan berkewajiban mencarikan rujukan tempat perawatan bagi pasien yang tak tercover di salah satu RS. 

Back to top button