News

Sosok Yoav Gallant: Menhan Israel yang Perintahkan Blokade Air, Listrik, dan BBM di Gaza

Kepala Menteri Pertahanan Israel, Yoav Gallant, menjadi sorotan internasional setelah mengumumkan tindakan ekstrem untuk memperketat blokade total di Jalur Gaza sejak Senin, (9/10/2023). 

“Kami mengepung sepenuhnya Gaza. Tak ada listrik, tak ada makanan, tak ada air, tak ada gas, semua ditutup,” ucap Gallant, seperti dikutip Al Jazeera.

Langkah ini, yang mencakup larangan pasokan makanan, air, bahan bakar minyak, dan pemutusan aliran listrik, semakin memperparah krisis kemanusiaan di wilayah tersebut. Lantas, bagaimana profil Yoav Gallant?

Militerisme yang Didasari Sejarah Keluarga

Yoav Gallant lahir pada November 1958 di Jaffa, dari pasangan Michael dan Frauma. Ayahnya adalah seorang militer yang menjadi anggota Givati Brigade saat Perang Arab-Israel tahun 1948, sementara ibunya adalah korban Holocaust yang selamat.

Gallant memulai kariernya di komando Angkatan Laut pada tahun 1977, lalu pindah ke Angkatan Darat dan meraih posisi-posisi penting, termasuk Komandan Armada ke-13 dan Kepala Staf Markas Besar Angkatan Darat GOC. Pada periode 2005-2010, ia mengabdi sebagai Komandan Komando Selatan, di mana ia memerintahkan Operasi Cast Lead melawan Hamas di Jalur Gaza.

Politikus dengan Reputasi Bermasalah

Meskipun sempat dicalonkan sebagai Kepala Staf IDF oleh PM Netanyahu, namanya tercoreng karena diberitakan terlibat dalam skandal pengambilalihan lahan publik. Ia bergabung dengan partai Kulanu pada tahun 2015 dan menjadi anggota parlemen, kemudian menjabat berbagai posisi di kabinet, termasuk Menteri Pertahanan pada 2022.

Sejak diangkat menjadi Menteri Pertahanan, Gallant telah menunjukkan pendekatan keras terhadap Palestina, khususnya Hamas. Ia menggambarkan langkah pemutusan pasokan vital ke Gaza sebagai “pengepungan total.”

Langkah ini memperparah krisis di Gaza, yang sudah mengalami berbagai tingkat blokade oleh Israel dan Mesir sejak 2007. Sejumlah organisasi hak asasi manusia dan PBB telah mengecam tindakan ini sebagai pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional.

Dengan memutuskan pasokan dasar ke Gaza, Gallant menimbulkan risiko eskalasi konflik yang bisa melibatkan lebih banyak korban sipil. Kebijakan ini tampaknya lebih seperti bentuk hukuman kolektif daripada strategi militer yang efektif, dan memicu pertanyaan tentang apakah tindakan ini sejalan dengan norma-norma internasional.

Back to top button