Kanal

Sogok dan Intimidasi Sepanjang Jalan: Apa Kabar Indonesia Setelah 14 Februari? 


Presiden Jokowi dicatat Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (Singkap) dalam empat besar pelaku penyimpangan aparatur negara dalam Pemilihan Umum 2024. Bila hal itu tergolong sistematis, massif dan terstruktur,apakah akan memengaruhi hasil Pilpres? Akankah setelah Pilpres negeri ini justru mengalami masa ‘kalabendu’?

 Di tengah joget-joget yang belakangan menguatkan citranya sebagai “Si Gemoy”, senyampang terik yang mendera ratusan ribu pendukungnya di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, pada kampanye terakhirnya, “Pesta Rakyat untuk Indonesia Maju”, calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto, meneriakkan ajakan menyejukkan. 

“Saudara-saudara sekalian, kemenangan di hadapan kita,”kata Prabowo mengajak pendukungnya optimistis.”Kita tidak boleh lengah, kita tidak boleh sombong! Kita rendah hati, kita sopan santun. Jangan mau diprovokasi, jangan curang, jangan menyakiti orang lain!”teriak Prabowo dari panggung, Sabtu (10/2/2024) siang menjelang sore itu.

Ajakan yang tampaknya hanya bergaung bersipongang di atmosfer GBK. Kepada para pendukung, yang di keseharian mereka lebih mungkin bergaul, bercengkerama akrab dengan para bobotoh dan balad pasangan calon lain yang menjadi lawan 02. Itu pun di hari terakhir kampanye terbuka. Pasalnya, tampaknya ada kelompok lain –-yang anggaplah tak kasat mata, the invisible hand— melakukan semua yang Prabowo larang. Ironisnya, semua laku curang bin lancung itu cenderung menguntungkan pasangan calon 02. 

Misalnya seperti yang dicatat peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kahfi Adlan Hafiz. “Pelanggaran kampanye di Car Free Day Jakarta, deklarasi kepala dan perangkat desa ke paslon tertentu,”kata Kahfi mencontohkan. Belum lagi alat peraga kampanye (APK) yang ditempel sembarangan, sementara APK paslon lain mengalami pengrusakan dan sebagainya.

Namun catatan Koalisi NGO untuk Keadilan Pemilu (SINGKAP) tak hanya merinci lebih detil, namun juga mengungkap terduga pelakunya. Menurut Singkap, selama ini setidaknya ada 13 kasus pelanggaran dilakukan oleh pemerintah kabupaten dan para menteri, disusul 12 kasus oleh lurah/kepala desa,  sembilan kasus oleh Polri, oleh ASN Pemerintah Provinsi (delapan kasus), TNI (tujuh kasus), dan empat kasus pelanggaran oleh bupati, walikota, dan camat. Yang bikin kita ingin menutup muka, Singkap bahkan menyatakan Presiden Jokowi tercatat dalam empat besar pelaku penyimpangan aparatur negara dalam Pemilihan Umum 2024. 

“Presiden saja ada 11 kasus, yang melakukan politisasi Bansos. Dan itu masif. Kalau kita baca beberapa berita terakhir, kan anggarannya hampir Rp 500 triliun,  digelontorkan untuk Bansos,”kata Direktur Imparsial, Gufron Mabruri. Imparsial termasuk ke dalam koalisi NGO tersebut. Menurut Gufron, pihaknya menengarai terpenuhinya unsur “terstruktur” dalam penyelewengan proses Pemilu tersebut. 

“Kandidat adalah putra Presiden Jokowi. Jadi aspek terstrukturnya terpenuhi. Kenapa? Karena memang pemantauan kita fokuskan ke penyelenggara negara, pejabat dan aparatur negara,” ujar Gufron  pada konferesi pers menyoal penyimpangan aparatur negara dalam Pemilu 2024 yang bertajuk “Darurat Kejahatan Pemilu” di Sadjoe Cafe & Resto, Tebet, Jakarta, Rabu (7/2/2024) lalu.

post-cover
Direktur Imparsial, Gufron Mabruri saat diskusi bertena ‘Pemilu Curang Menyoal Netralitas Presiden hingga Laporan Kemhan ke Bawaslu’ di Jakarta, Kamis (25/1/2024). (Foto: Inilah.com/ Diana Rizky)

 

Bagi SINGKAP, menurut Gufron, Jokowi memiliki kewenangan yang besar untuk mengutak-atik kebijakan yang ada, sehingga pelanggaran tidak hanya dinilai terstruktur dan masif, tetapi juga sistematis lewat kebijakan. 

Masih dari peristiwa yang sama, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman, bahkan menyebut urusan mencongnya netralitas Aparatur Sipil Negara ini telah tergolong genting. “Netralitas ASN atau implementasi netralitas ini berada di ruang yang cukup darurat menjelang tahun politik ini,”ujar Armand. Ia menilai kemunduran netralitas ASN ini dipicu oleh minimnya penindaklanjutan aduan setelah Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) resmi dihapuskan, buntut disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menjelang Pemilu 2024. 

“Cek dalam tiga bulan terakhir. Begitu banyak pelanggaran netralitas yang dilakukan secara terang-terangan. Tetapi hasil atau tindak lanjutnya seperti apa? Nggak ada,”ujar dia. 

 Sejak awal Armand mengaku, disahkannya Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau ASN menjelang Pemilu 2024 itu memang menguarkan bau. Peniadaan lembaga pengawas eksternal itu berpotensi memasifkan tindak jual beli jabatan dan pelanggaran netralitas aparatur demi kepentingan elektoral pihak tertentu. Ditambah, dialihtugaskannya amanat pengawasan tersebut kepada kementerian, membuat fungsi pengawasan rawan diwarnai bias mengingat pelaksanaannya dilakukan sesama ASN.

 Semua itu di luar segala bentuk intimidasi yang berlangsung selama ini. Mulai dari pemukulan seorang aktivis PDIP di Yogyakarta, pengrusakan APK pasangan calon di luar yang terkesan didukung penguasa, hingga ‘imbauan’ kepada para rektor perguruan tinggi dan akademisi di tengah derasnya kritik dunia kampus terhadap penguasa . 

 Wajar bila seorang ibu, wanita yang pernah memimpin negeri ini, Megawati Soekarnoputri berang meradang.  “Hari-hari ini ibu sedang prihatin,”ujar Megawa-ti, menyebut dirinya sendiri, saat berpidato di “Konser Salam Metal 3” yang digelar sebagai kampanye akbar Paslon 03 di GBK, Sabtu (3/2) lalu. Mega lalu mengingat-kan pendukungnya pada kejadian di Gunung Kidul, Selasa sebelumnya. Ketika Presiden Jokowi  berkunjung dan membagikan kaos, salah seorang pria yang ikut menyambut membentangkan spanduk dukungan terhadap Ganjar-Mahfud. “Selamat Datang Pak Jokowi, Kami Sudah Pintar, Kami Pilih Ganjar!” seru spanduk itu.  

 Nah, alih-alih dapat sepeda tanpa harus memikirkan ikan apa yang ditanya, pria itu tersungkur kena bogem oknum aparat dari arah mobil kepresidenan. Konon, hidung pria itu patah, berdarah. Megawati menceritakan itu dengan bibir bergetar. “Saya tidak kuat (melihat hal ini). Kekuasaan (kok) dibuat untuk mengintimidasi rakyat, mengintimidasi Konstitusi.”  Buat PDIP, itu bukan peristiwa pertama yang bikin hati mereka ngilu. Sebelumnya, warga Banteng juga meradang manakala Kepolisian menyita telepon seluler milik Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono.

Lembeknya Bawaslu

Sejatinya, sebelum meradang di GBK, sejak November lalu Megawati memang sudah mengeluhkan kecurangan yang menurutnya ia rasakan. Dalam sebuah pidato politik yang disebarluaskan via akun YouTube, Megawati menyatakan menangkap sinyal kuat adanya kecurangan dalam kontestasi Pemilu 2024. Untuk itu, ia mewanti-wanti seluruh masyarakat Indonesia agar memilih calon pemimpin masa depan sesuai hati nurani masing-masing.

“Jangan biarkan kecurangan Pemilu yang terlihat sudah mulai akan terjadi,”kata Megawati. “Gunakan hak pilihmu dengan tuntunan Nurani!” kata Megawati, tersiar sejak Ahad (12/11/2023).

post-cover
Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri (pdiperjuangan-jatim.com)

Dua hari kemudian, lontaran Megawati itu dikomentari calon wakil presiden Koalisi Indonesia Maju, Gibran Rakabuming. Gibran meminta pihak yang menuding adanya kecurangan Pemilu itu melaporkan hal tersebut kepada Bawaslu RI. “Untuk masalah kecurangan, sekali lagi kalau ada kecurangan atau hal-hal yang tidak pas, itu nanti silakan dilaporkan ke Bawaslu,”kata Gibran kepada wartawan yang menemuinya di sebuah Pujasera di kawasan Area 47, Menteng, Jakarta Pusat. Sebagaimana kebiasaannya yang hemat dan irit kata, Gibran tak menjawab pertanyaan lain yang dilontarkan wartawan. 

 Namun seiring proses Pemilu, banyak pihak sudah kehilangan kepercayaan kepada Bawaslu. Perludem, misalnya. “Kami melihat Bawaslu seperti kehilangan taring dalam melakukan pengawasan Pemilu, terutama di masa kampanye. Ada banyak sekali pelanggaran yang tidak ditindak,”kata Kahfi Adlan Hafiz. Sebenarnya, kata Kahfi, dalam konteks undang-undang, ‘tools’ dan ‘amunisi’ yang diberikan untuk Bawaslu sudah sangat lengkap. Setiap dugaan pelanggaran Pemilu, harus masuk dalam proses penyelidikan Bawaslu terlebih dahulu, sebelum akhirnya diputuskan atau dilimpahkan kepada lembaga lain.

“Karena itu, Bawaslu seharusnya profesional dalam menjalankan tugasnya, termasuk menindak dugaan pelanggaran dari tiap peserta Pemilu, tanpa pandang bulu,”kata Kahfi. 

Bawaslu sendiri tampaknya bukan tidak pernah mendengar suara-suara skeptis publik terhadap mereka. Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, mengatakan Bawaslu aktif mengawasi Komisi Pemilihan Umum. Namun, untuk kasus dugaan kecurangan, Rahmat menilai itu harus dibuktikan secara jelas lebih dulu.

 “Ya kita pasti aktif, orang kita ngawasi KPU kok, tapi kan tuduhan kecurangan perlu dibuktikan,” kata Rahmat kepada wartawan di Media Center Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (1/2) lalu. “Kecurangan? Ya belum tentu dong, kecurangan harus sifatnya, misalnya pemberi perintah itu siapa? A,B,C-nya siapa dan bagaimana. Itu kan perlu dibuktikan,” kata Rahmat.

post-cover
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja. (Foto: Inilah.com/Reyhaanah).

 Yang jelas, banyak kalangan menilai Pemilu yang akan digelar Rabu (14/2) nanti bukankah Pemilu yang membanggakan kita sebagai warga Indonesia. Sekian banyak keluhan, kekecewaan menguar, memberitahu kita yang berakal bahwa semua tidak “baik-baik saja”. Sebagian orang bahkan mencoba mengingatkan melalui sebuah film yang dirilis terbuka via YouTube, hari ini, Ahad, 11 Februari, tepat pukul 11.00 WIB. Film bertajuk “Dirty Vote” itu disebut-sebut mengungkap fakta kedegilan yang ada selama proses Pemilu, sekaligus keprihatinan betapa ada orang yang tega mengorbankan bangsa demi kepentingan kelompoknya semata. 

Apa Kabar Setelah 14 April?

Dengan kondisi buruk yang mengawali pelaksanaan Pilpres/Pileg 2024, sesungguhnya wajar saja bila orang sekaliber Bill Liddle merasa was-was dengan kondisi Indonesia pasca-Pilpres besok. Jauh-jauh hari, lewat artikelnya di Kompas, 25 Januari,  Bill Liddle mewanti-wanti. Tak hanya mengutip buku Thomas Power dan Eve Warburton,”Democracy in Indonesia: From Stagnation to Regression?”, Bill yang puluhan tahun tinggal di Indonesia itu mengutip kuatnya potensi penolakan hasil Pemilu. Hal itu diungkapkan, antara lain, oleh pengamat politik dari Pusat Kajian Ilmu Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI), Hurriyah. 

”Kalau Prabowo dan Gibran menang, semua kubu bisa saja beranggapan itu kemenangan yang diperoleh secara tidak jujur, maka mereka akan menolak hasil pemilu. Begitu hasil Pemilu ditolak, itu kan tidak legitimate,” kata Hurriyah, yang juga dimuat sebuah berita Kompas, 15 November 2023. Akhir tulisan Bill bahkan mengutip kekuatiran Philips Vermonte, pengamat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada sebuah forum Carnegie Endowment for International Peace, di Washington, Amerika Serikat, 17 Januari 2024.

post-cover
Philips Vermonte, pengamat senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

Masalahnya, menjelang hari “H” Pilpres, persoalan bukan hilang berkurang, tapi potensial bertambah. Salah satunya dari kebiasaan tua nan menjijikkan orang berakal, “Serangan Fajar” alias politik uang dengan gaya telanjang. Merujuk penelitian Profesor Burhanuddin Muhtadi, Indonesia memang kampiun urusan “kotor-berlumpur” ini. Merujuk data yang muncul dari penelitian Latin American Public Opinion Project (LAPOP), sebuah lembaga penelitian terkemuka yang mengkhususkan diri dalam pengembangan, implementasi, dan analisis demokrasi di Amerika Latin, menurut Prof Burhanuddin dalam pidato pengukuhan guru besarnya,”Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi dan Institusi”, kondisi Indonesia dalam politik uang sangatlah memalukan. Sementara tingkat transaksi politik  uang global rata-rata adalah 14,22 persen, di Indonesia angkanya 33 persen. Hanya ada di bawah Uganda (41 persen) dan Benin (37 persen)!

Dengan kata lain, besok hingga Rabu 14 Februari, uang-uang suap akan berseliweran. Sebagian sudah dianggap wajar sebagai ongkos pencalonan. 

Mungkinkah negeri ini memasuki masa “Kalabendu” justru setelah menggelar pestra demokrasi lima tahunan? Kita tak tahu. Tapi kita semua punya senjata untuk menolaknya: jujur, dan berdoa. Kita berharap kejujuran itu menghapus segala cela dan dosa yang potensial membuat Tuhan murka. [dsy/ reyhaanah asyaroniyyah/ diana rizky oktaviani/khansa nisrina] 

Back to top button