Market

Soal Ekspor Pasir Laut, Kemendag Tunggu Arahan Kemenko Perekonomian

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjelaskan kelanjutan regulasi ekspor pasir laut masih dibahas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian ESDM.

Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Budi Santoso. Menurut Budi, pihaknya saat ini tengah menunggu arahan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk membahas kelanjutan ekspor pasir laut.

“Kita nunggu dan kita sudah mengirim surat ke Kemenko Perekonomian untuk dibahas. Masih Tunggu dari Menko Perekonomian,” kata Budi di Kantor Pusat Kemendag, Kamis (4/1/2024).

Budi menuturkan, saat ini kelanjutan regulasi ekspor pasir laut masih dibahas oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian ESDM. Baik KKP maupun Kementerian ESDM saat ini masih membahas dokumen perencanaan untuk menentukan lokasi prioritas pengelolaan sedimentasi laut.

“Memang dari hilir ini, kan ya mungkin masih ada beda persepsi pasir seperti apa yang harus diekspor dan sebagainya. Jadi kita nunggu,” jelasnya. 

Dia menuturkan, dari hasil perencanaan tersebut selanjutnya akan dibawa ke Kemenko Perekonomian untuk dibahas, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No.29/2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan. “Belum tahu, kita tunggu saja kesepakatannya di Kemenko Perekonomian, ekspornya juga belum dibuka,” ujarnya.

Sebelumnya peneliti Indef, Nailul Huda sudah pernah menghitung, penerimaan negara dari pembukaan ekspor pasir laut hanya receh. Sementara pengusahanya bisa untung 10 kali lipat.

“Bagi pemerintah Indonesia, bisnis ekspor pasir laut hanya menghasikan potensi pendapatan Rp73,96 miliar. Sedangkan total cuan yang dinikmati pengusaha mencapai Rp733,4 miliar. Atau sepuluh kali lipatnya. Sementara potensi ekspor pasir laut Indonesia mencapai 2,7 juta meter-kubik. Atau 8,77 persen dari ekspor global,” terangnya dalam diskusi daring Indef bersama Continuum bertajuk Ekspor Pasir Laut: Cuan atau Merusak Lingkungan, Jakarta, Kamis (6/7/2023) lalu.

Dia menilai, keputusan Presiden Jokowi menerbitkan PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut melanggar sejumlah aturan di atasnya. “Melanggar UU No 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang itu, melarang penambangan pasir yang merusak ekosistem lingkungan,” tuturnya

Kerusakan lingkungan yang bisa ditimbulkan dari penambangan pasir laut, kata Nailul, jelas lebih dahsyat ketimbang cuan yang masuk kas negara.

“Potensi erosi pantai, perubahan garis pantai, kualitas air, rusaknya ekosistem laut/terumbu karang, penurunan hasil tangkapan nelayan, pendapatan nelayan berkurang, nelayan menjadi pengangguran, membesar. Tak sepadan dengan penerimaan negara yang hanya Rp74 miliar,” tuturnya.

Kata dia, pada 2001, Indonesia merupakan eksportir utama pasir laut global dengan porsi 20 persen (2001). Ketika ada pelarangan sementara ekspor pasir laut, terjadi penurunan yang signifikan. Kemudian naik lagi pada 2006. Setahun kemudian, terdapat UU yang melarang ekspor pasir laut.

“Singapura adalah negara importir pasir laut terbesar. Terkait ambisi negara pulau itu, meluaskan wilayah daratannya. Pada 1976, luasan Singapura hanya 527 kilometer-persegi. Pada 2020, luasannya melonjak drastis menjadi 728,6 kilometer-persegi,” jelasnya.
 

Back to top button