Kanal

Skandal Meikarta, Oligarki dan Nurani Jokowi

Proyek Meikarta di Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi menarik untuk kembali telaah. Daya tariknya bukan semata faktor proyek dengan nilai investasi jumbo Rp278 triliun, tapi turut menjelaskan hubungan pasang surut antara oligarki dengan kekuasaan di republik ini.

Terlebih, setelah ratusan pembeli apartemen Meikarta menuntut pengembalian dana. Tuntutan itu lantaran mereka merasa tak ada kepastian serah terima unit hingga kini sejak pembayaran pertama lima tahun lalu.

Kini, sebanyak 18 orang pengurus dan anggota Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta (PKPKM) yang belum mendapatkan unit apartemen justru menghadapi gugatan perdata senilai Rp56 miliar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Selasa (24/1/2023).

Gugatan itu diajukan oleh pengembang Meikarta, PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), yang merupakan anak usaha PT Lippo Cikarang Tbk, salah satu perusahaan di bawah naungan Lippo Group. Meikarta merupakan proyek yang diproyeksikan menjadi kota terencana.

Lippo Dukung Jokowi

Jika kita melakukan kilas balik alias flashback pada Pilkada DKI Jakarta 2012. James Riady, Chief Executive Officer (CEO) Lippo Group notabene merupakan salah satu pemilik Meikarta. Ia disebut-sebut sebagai salah satu oligark yang mendukung Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon Gubernur DKI Jakarta saat itu.

Konglomerat kelahiran Jakarta, 7 Januari 1957 ini berhasil menghimpun nyaris semua konglomerat untuk memenangkan Jokowi. Dukungan tersebut, bahkan berlanjut ke pemenangan Jokowi sebagai Presiden RI pada Pilpres 2014. Hal itu terindiksi saat James Riady beberapa kali tertangkap kamera menemani Jokowi berkampanye.

Skandal Meikarta, Oligarki, dan Hati Nurani Jokowi - inilah.com
Joko Widodo (tengah) bersama Bos Lippo Group James Riady (kanan). (Foto: Okezone Photo)

Secara teori, James Riady terdefinisikan sebagai seorang oligark lantaran sumber daya kekuasaan material alias wealth power yang ia miliki. Sumber daya itu menjadi basis kekuasaan oligarkis (Jeffrey A Winters, 2011).

Itu tak mengherankan karena anak dari pendiri Lippo Group, Mochtar Riady ini merupakan salah satu orang paling tajir di Tanah Air. Majalah bisnis dan keuangan Amerika Serikat Forbes pada 2022 sudah melakukan estimasi terhadap harta kekayaan James Riady. Angkanya menyentuh US$1,7 miliar atau setara Rp24,65 trilliun.

Untuk mengukur kadar oligarki yang melekat pada dirinya, mari kita gunakan alat ukur Material Power Index alias Indeks Kekuasaan Material yang dikembangkan oleh Winters. Rumusnya adalah total kekayaan dibagi rata-rata pendapatan per kapita (income per capita) nasional.

Menurut laporan terakhir Badan Pusat Satistik, pendapatan per kapita nasional pada 2021 mencapai Rp62,2 juta atau setara dengan US$4.349,5 per kapita per tahun. Sekarang kita bagikan kekayaan James Riady Rp24,65 triliun itu dengan pendapatan per kapita Rp62,2 juta.

Hasilnya, James Riady memiliki profil sumber daya kekuasaan material 396,3 kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata masyarakat biasa.

Kasus Meikarta dan Nurani Jokowi

Sebelum gugatan perdata miliaran rupiah, Meikarta terus diterpa isu miring sejak resmi diluncurkan pada 17 Agustus 2017. Di penghujung 2019, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto, terkait dugaan suap perizinan proyek Meikarta.

Toto diduga menyuap mantan Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin sebesar Rp10,5 miliar untuk memperoleh kemudahan izin. Toto disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Di tahun sebelumnya (2018), Tim Satgas KPK mengamankan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro. Penangkapan dilakukan usai penetapan sebagai tersangka kasus dugaan suap yang sama.

Masih menurut teori Winters (2011), pertahanan kekayaan di dalam sistem negara modern tak lagi membuat oligark (aktor dalam sistem oligarkis) mempersenjatai diri dan bertarung membela klaim harta, atau menggunakan sumber daya material untuk membeli jasa kemampuan pemaksaan (koersif) pihak lain.

Pertahanan kekayaan itu kini bergeser menjadi pengerahan sumber daya material bagi profesional spesialis (pengacara, akuntan, konsultan penghindaran pajak, pelobi) untuk menjaga sebanyak-banyaknya harta.

Penulis tak hendak menuduh James Riady bersama anak buahnya melakukan sebagaimana yang diteorikan itu dalam kasus Meikarta. Meskipun, dari sisi kapasitas wealth power-nya, James Riady tentu mampu untuk melakukannya.

Akan tetapi, jika melihat dari dua bos Meikarta (mantan Presiden Direktur PT Lippo Cikarang, Bartholomeus Toto dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro) yang tak dapat lepas dari jerat hukum, pemerintahan Presiden Jokowi menunjukkan hati nuraninya. Hati nurani dalam pengertian, pemerintah tidak memberikan perlindungan hukum di balik layar atas kepentingan oligarki melalui Meikarta.

Bahaya dari oligarki adalah sifat kooptasinya terhadap kekuasaan sehingga hati nurani kekuasaan adalah hati nurani oligark. Lebih bahaya lagi jika hati nurani oligarki itu menabrak prinsip ‘kemanusiaan yang adil dan beradab’ dan ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.

Begitu juga dengan jika kemauan oligarki bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan ‘memajukan kesejahteraan umum’ dan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3), ‘bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat’.

Semoga dalam kasus gugatan Meikarta terhadap konsumennya tidak berakhir dengan mengorbankan rasa keadilan. Dalam kasus ini konsumen jelas menjadi korban karena mereka hanya menuntut yang menjadi haknya sebagaimana tercatat apik dalam akad jual beli.

Jika mereka harus membayar gugatan perdata miliaran rupiah, itu namanya, ‘sudah jatuh tertimpa tangga’. Miris! Lagi-lagi, hati nurani Jokowi dan pemerintahannya bakal jadi pertaruhan.

Investor Tersendat Masuk Meikarta

Deretan kasus hukum yang mendera mega proyek properti itu sedikit banyak menghambat masuknya investor ke Meikarta.

Sebagai contoh, Anggota Komite Investasi Bidang Komunikasi dan Investasi BKPM Rizal Calvary dua tahun lalu mengungkapkan adanya peluang investor China menanamkan modalnya senilai Rp20 triliun ke Meikarta.

Sayangnya, karena heboh isu tenaga kerja asing (TKA) asal China, investor tersebut hanya menaruh modal Rp4 triliun. Pada hemat penulis, ini tak semata soal isu TKA tapi lebih pada deretan kasus hukum yang menerpa.

James Riady dan semua anak buahnya di Lippo Group tentu kecewa dengan Jokowi dan pemerintahannya. Bagaimanapun, mereka adalah salah satu konglomerasi yang punya andil dalam keterpilihan Jokowi sebagai penguasa.

Empat tahun lalu, Taipan sekaligus Pendiri Lippo Group, Mochtar Riady sempat berkelit terkait proyek Meikarta yang tak henti dirundung isu miring. Ayah dari James Riady itu mengungkapkan penyebabnya, yaitu lantaran banyak pihak yang tak suka dengan pembangunan di timur Jakarta itu.

Padahal, menurut Mochtar Riady, proyek Meikarta memiliki tujuan yang baik untuk menciptakan kawasan kota yang dapat menyediakan hunian terjangkau bagi masyarakat di Cikarang dan sekitarnya. Hanya saja, upaya itu ternyata merugikan para pengembang yang lain.

Di atas semua itu, kasus Meikarta mengajarkan tentang krusialnya Indonesia memiliki presiden yang punya leadership yang kuat dan berhati nurani sesuai nilai-nilai keadilan dalam Pancasila dan cita-cita kemerdekaan dalam UUD 45. Jika tidak, oligarkilah pemenangnya. Subtansi demokrasi pun menjadi jauh panggang dari api.

Back to top button