Market

Sinarmas Sekuritas Fitnah Andri Cahyadi

Malang betul nasib pengusaha asal Solo, Andri Cahyadi. Sudah kehilangan saham perusahaannya di PT Exploitasi Energi Indonesia Tbk (CNKO), kini ia dituduh memiliki utang triliunan rupiah oleh seterunya. Andri disebut berutang Rp3,4 triliun kepada PT Sinarmas Sekuritas Tbk.

Lucunya, Andri baru mengetahui dirinya berutang dari pihak kepolisian, bukan dari pemberitahuan resmi pihak Sinarmas Sekuritas. Menurut salinan perjanjian utang piutang, yang diperlihatkan pihak kepolisian, perusahaannya telah menerima transfer dana pinjaman Rp136 miliar dari pihak Sinarmas, tapi dalam surat itu tidak disertai bukti transfer.

Sebagai petinggi perusahaan CNKO, Andri yakin betul dirinya tidak pernah menandatangani satupun perjanjian utang piutang dengan Sinarmas Sekuritas. “Saya mengatakan saya tidak punya utang, mereka mengatakan saya punya utang, silahkan dibuktikan, bukti transfernya mana, uang yang dikirim mana, kan gitu ya. Sesimple itu,” ujar Andri kepada Inilah.com di Jakarta, Rabu (28/6/2023).

Kejutan untuk Andri tidak berhenti di situ, ia makin bingung ketika disebut memiliki total kewajiban utang sebesar Rp3,4 triliun. Sebab, untuk urusan Rp136 miliar saja ia tidak merasa menerima apalagi menikmati. Ia heran apa dasar perusahannya disebut memiliki total utang mencapai triliunan rupiah.

“Jadi yang ditujukan ke saya dari polisi itu Rp136 miliar dari Sinarmas Sekuritas, katanya saya memiliki kewajiban segitu. Dan ditulis totalnya Rp3,4 triliun, uang dari mana lagi, angkanya datang dari mana,” keluh dia.

Andri mengungkapkan, dirinya sudah mencoba berusaha untuk mengklarifikasi soal utang piutang ini namun pihak Sinarmas enggan dimintai keterangan terkait bukti yang menyatakan bahwa ia benar meminjam uang tersebut. “Saya mau minta mana (buktinya), karena tidak ada sepeserpun, perusahaan saya maupun saya sendiri, itu ada terima uang dari Sinarmas Sekuritas,” katanya.

Keanehan lainnya, sambung dia, dalam perjanjian utang piutang yang diperlihatkan pihak kepolisian kepada dirinya, tertulis bahwa pihak Sinarmas Sekuritas memiliki kewenangan untuk ambil alih saham miliknya sebanyak 10 persen, ketika mengeksekusi kertas utang yang ia yakini palsu itu.

“Tertulisnya di situ, tahun 2012 kalau nggak salah. Yang saya baca di perjanjian yang ditunjukkan oleh Pak polisi itu, itu bahkan kalau mereka melakukan eksekusi atas kertas utang yang saya duga itu pasti palsu, itu pun hanya boleh mengambil hanya 10 persen saham. Jadi bukan boleh mengambil 45 persen saham,” bebernya.

Tapi kenyataannya, berbeda. Kini Andri hanya memiliki saham sebesar 13,45 persen saja, dari sebelumnya ia mengantongi saham mayoritas CNKO sebanyak 58,79 persen. Akibatnya, posisi Andri semakin lemah di perusahaan, di sisi lain posisi Direktur Utama (Dirut) Benny Wiranwansah semakin kuat untuk memegang kontrol penuh CNKO dan anak perusahaan Andri PT Dwilguna Laksana Tbk.

“Tentunya kalau nanti polisi bisa melakukan tugasnya sesuai dengan tupoksinya harusnya nanti semua tindakan hukum yang dilakukan Benny atas disuruh atau dilakukan sendiri atau apapun itu, tentunya itu harus dikembalikan (pada saya lagi),” jelas Andri.

Andri bercerita, awal mula segala persoalan ini dimulai pada tahun 2012. Kala itu perusahaannya telah mengantongi kontrak kerja sama selama 20 tahun dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menyuplai batu bara sebanyak 7 juta ton per tahun. Kemudian, perusahaannya, memberikan kesempatan kepada PT Sinarmas untuk ikut memasok batu bara ke PLN sebesar 5 juta ton per tahun.

Kemudian, sambung Andri, pada tahun 2015, CNKO resmi bekerja sama dengan PT Sinarmas untuk menyuplai batu bara ke PLN. “Sebelumnya, perusahaan saya sudah bekerja sama dengan PT PLN sejak tahun 2012,” tutur dia.

“Sebagai syarat kerjasama itu, Sinarmas menaruh direksi. Mulainya di situ. Saya tetap komisaris utama di perusahaan, Sinarmas taruh direksi (Benny Wirawansa), supaya fair. Jadi Benny Wirawansyah yang ditunjuk mewakili Sinarmas, dan saya mewakili perusahaan saya sendiri,” jelasnya.

Andri juga mengaku tidak menerima keuntungan sejak setahun kerja sama dengan Sinarmas terjalin. Ia pun mempertanyakan dan mengingatkan para direksi agar bekerja dengan baik dan benar.  “Tahun 2016 tak membaik, tahun 2017 perusahaan dibebani utang banyak. Tahun 2018 saya sudah nggak mau tanda tangan laporan keuangan. Karena saya melihat perusahaannya kok tambah banyak utangnya. Padahal pekerjaannya jelas lho,” katanya.

Alhasil, sejak tahun 2018 hingga saat ini, Andri mengaku tidak mau lagi melakukan tanda tangan untuk berbagai keperluan termasuk untuk pengajuan utang. “Selama menjadi komisaris utama, saya juga tidak pernah menyetujui pengajuan utang oleh perusahaan,” ujarnya.

Karena utang yang membengkak, ia pun mengajukan audit. Lucunya, menurut Andri, permohonan itu ditolak oleh jajaran direksi. “Saya minta audit. Manajemen bisa nolak, direksi saya bisa menolak dengan alasan saya tidak berhak untuk mengaudit. Ini kan aneh,” katanya.

Konflik makin meruncing, puncaknya pada tahun 2019, pihak Sinarmas menawarkan perdamaian, akan memberikan sejumlah uang sekaligus sebagian hak perusahaan yang ada akan dikembalikan kepada dirinya.

Namun, syarat perdamaian yang diajukan tidak masuk akal. Yakni kontrak memasok batu bara ke PLN diminta Sinarmas. Andri lantas menolak tawaran itu, apalagi kontrak dengan PLN selama 20 tahun, baru berjalan 5 tahun.

Karena tidak diperoleh titik temu, Andri memilih melaporkan dua pimpinan PT Sinarmas tersebut ke Bareskrim Polri pada 10 Maret 2021 dengan tuduhan dugaan penipuan/perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, pemalsuan surat dan juga TPPU dengan nomor laporan polisi (LP) LP/B/0165/III/2021/BARESKRIM.

Segala pengalaman pahit ini, membuatnya menyesal menjalin kerja sama dengan Sinarmas. Ia mengaku kurang mendapat informasi terkait dengan kredibilitas dari Sinarmas sendiri karena sumber informasi yang minim. Pada waktu itu ia melihat Sinarmas menjadi salah satu perusahaan raksasa di Kalimantan Selatan sebab memiliki perkebunan kelapa sawit terbesar.  “Saya ini kan orang daerah, di kalimantan setau saya kalau sinarmas itu punya kelapa sawit punya minyak goreng filma, punya pabrik kertas, saya di Kalimantan Selatan kan sawitnya dia paling besar,” ujar Andri.

Karena tampilan luarnya yang begitu megah, Andri, yang merupakan seorang pengusaha daerah, baru menyadari banyaknya kasus yang menimpa Sinarmas seperti pembakaran hutan, terlibat dalam kasus Jiwasraya hingga penyogokkan di Kalimantan Tengah. Bahkan Andri menyebut beberapa rekannya juga terlibat mafia tanah dengan grup Sinarmas dan meminta bantuan dirinya untuk sama-sama mengusut kasus yang melibatkan perusahaan ini. “Jadi memang kejamnya ibukota, memang lebih kejam daripada ibu tiri katanya. Dan memang saya alami kekejaman itu,” tutup Andri.

Back to top button