Kanal

Hasil Sidang Majelis Umum PBB: Harapan Semu atau Nyata dalam Mewujudkan Perdamaian?

Oleh: Fajar Iqbal Mirza *)

Beberapa waktu lalu Sidang Majelis Umum (SMU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membahas tentang upaya genjatan senjata kemanusiaan yang terjadi di Palestina dan Israel. Sebuah resolusi berjudul ‘Protection of Civilians and Upholding Legal and Humanitarian Obligations‘ berhasil diadopsi melalui voting oleh semua anggota negara PBB. Hasil dari voting ini, yaitu: 120 negara menyetujui, 45 abstain, 14 negara menolak. Banyak yang berharap bahwa ini menjadi langkah kemanusiaan penting untuk dapat menghentikan serangan membabi buta Israel di Gaza yang sudah menewaskan banyak warga sipil yang tidak bersalah.

Optimisme terkait langkah yang diambil oleh negara-negara di SMU PBB boleh saja menjadi secercah harapan bagi kemanusiaan. Namun demikian, yang perlu dipahami adalah resolusi yang disepakati di SMU PBB sifatnya tidaklah mengikat secara hukum (not legally binding). Artinya apa yang sudah disepakati di SMU PBB tidak ada keharusan bagi negara-negara untuk mengimplementasikannya menjadi aksi nyata. Berbeda dengan SMU, Dewan Keamanan (DK) PBB memiliki kekuatan hukum yang mengikat (legally binding) ketika sebuah resolusi disepakati. Artinya, jika resolusi bisa dicapai melalui DK PBB, maka bisa diambil langkah nyata oleh PBB.

DK PBB sudah mengusahakan resolusi terhadap eskalasi konflik Palestina-Israel yang terjadi belakangan ini. Pertama, proposal resolusi diajukan oleh Rusia dan dibahas di DK PBB tanggal 16 Oktober 2023 yang isinya tentang pentingnya dilakukan genjatan senjata. Namun, resolusi ini hanya didukung oleh lima negara, empat negara menolak, dan enam negara abstain dari 15 anggota DK PBB (lima anggota tetap, sembilan anggota tidak tetap). Untuk bisa resolusi diadopsi dalam DK PBB setidaknya harus ada sembilan suara yang sepakat dan tidak diveto oleh salah satu anggota tetap DK PBB.

Proposal resolusi serupa diajukan oleh Brasil yang dibahas di DK PBB pada 18 Oktober 2023, namun Amerika Serikat (AS) sebagai anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto, menggunakan vetonya untuk menggagalkan resolusi tersebut. Selanjutnya, AS mengajukan proposal resolusi ‘Humanitarian Pause‘ untuk menghentikan kekerasan selama beberapa waktu sehingga memungkin bantuan kemanusian untuk masuk. Dalam proposal resolusi ini AS mencantumkan frasa bahwa Israel berhak membela diri. Resolusi dari AS ini diveto oleh China dan Rusia.

Kebuntuan dalam DK PBB ini menyulitkan untuk PBB bisa mengambil aksi nyata dalam menangani krisis kemanusian yang terjadi. Adanya resolusi SMU PBB pun tidak serta merta bisa menghentikan tragedi kemanusiaan yang hari ini disaksikan oleh seluruh dunia. Meskipun demikian, adanya resolusi di SMU setidaknya bisa membuka mata dunia bahwasannya masih banyak negara-negara yang peduli atas tragedi kemanusiaan yang terjadi. Hal ini juga bisa menjadi bentuk tekanan internasional terhadap aksi serangan yang dilakukan oleh Israel. Namun, untuk memperkuat harapan nyata agar tercipta perdamaian, perlu langkah-langkah selanjutnya yang dilakukan oleh dunia internasional.

Dalam tulisan ini, penulis setidaknya mengajukan tiga langkah yang bisa dilakukan oleh dunia internasional. Pertama, gerakan sosial global (global social movement) yang masif atas nama solidaritas kemanusiaan untuk Palestina. Kedua, langkah diplomasi koersif melalui sanksi-sanksi terhadap Israel oleh dunia internasional. Ketiga, implementasi dari peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding.

Solidaritas Kemanusiaan untuk Palestina

Gerakan sosial global menjadi salah satu harapan nyata yang bisa dilakukan oleh masyarakat internasional. Gerakan ini sangat penting untuk menjadikan isu kemanusiaan di Palestina sebagai isu paling penting dan tidak diabaikan oleh dunia internasional, mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh negara, dan memberikan tekanan internasional bagi Israel dan negara-negara yang mendukungnya. Contoh gerakan sosial global yang berhasil menjadi perhatian khusus bagi dunia internasional dan berdampak pada perubahan kebijakan-kebijakan adalah Black Lives Matter.

Gerakan ini sudah muncul dari tahun 2012 dalam perjuangan melawan rasisme dan ketidakadilan. Dalam perjalanannya gerakan ini terus disuarakan dan terjadi dalam skala besar di pelbagai kota di seluruh dunia, bahkan gerakan ini sudah memicu banyak perubahan kebijakan yang tidak adil dan rasis. Contoh ini menunjukan pentingnya gerakan sosial global.

Adanya resolusi SMU PBB bisa memetakan mana saja negara yang setuju, tidak setuju dan masih abstain. Masyarakat di negara yang masih abstain dan tidak setuju terhadap resolusi itu bisa lebih masif untuk terus bergerak serta bersuara dalam memenuhi narasi di ruang publik melalui berbagai macam hal seperti aksi, tulisan, video opini, dan lainnya. Hal ini bisa memberikan pertimbangan bagi negara dalam bersikap di dunia internasional.

Secara teori, kebijakan luar negeri sebuah negara pasti memperhatikan dan mempertimbangkan dinamika yang terjadi di dalam maupun luar negeri. Dengan terus menerus gerakan solidaritas kemanusiaan untuk Palestina disuarakan, maka negara-negara tersebut akan mempertimbangkan langkah tepat dalam bersikap dan mengambil kebijakan yang sesuai spirit kemanusian dalam mencari solusi atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Bagi masyarakat di mana negara-negaranya setuju dengan resolusi SMU PBB harus terus menyuarakan pentingnya isu ini dan memperkuat posisi negara tersebut untuk berperan lebih aktif menghentikan aksi kekejaman yang dilakukan Israel.

https://i1.wp.com/c.inilah.com/reborn/2023/10/sidang_umum_PBB_2_b2d9e8f9ae.jpeg?ssl=1

Diplomasi Koersif

Dalam kasus konflik Palestina-Israel, penulis melihat kecil kemungkinan resolusi SMU PBB dapat menghentikan serangan Israel. Maka perlu langkah lain yang dilakukan oleh negara-negara dalam menghentikan agresifitas serangan Israel ini. Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah diplomasi koersif. Diplomasi koersif merupakan salah satu pendekatan dalam penyelesaian konflik.

Diplomasi koersif bertujuan membuat lawan menghentikan tindakan tanpa menggunakan ancaman militer, bentuknya bisa berupa kebijakan ataupun tuntutan yang dapat mengancam pihak lawan jika tidak mematuhinya. Negara-negara yang sepakat dengan resolusi SMU PBB bisa mulai mempertimbangkan untuk memberikan efek jera kepada Israel dengan memberikan ancaman berupa sanksi-sanksi, seperti sanksi ekonomi dan pemutusan hubungan diplomatik. Bayangkan jika ada 120 negara memberikan

Sanksi ekonomi seperti memutus hubungan perdagangan ataupun hubungan diplomatik, pastinya hal ini bisa menjadi tekanan internasional yang serius bagi Israel. Dengan demikian harapan nyata untuk bisa menghentikan serangan Israel kemungkinan terwujudnya lebih besar. Jika langkah ini efektif, maka dunia internasional dapat masuk ke tahapan selanjutnya, yaitu menciptakan perdamaian.

Implementasi Peacemaking, Peacekeeping, dan Peacebuilding

Johan Galtung, tokoh pemikir perdamaian dunia, mengklasifikasikan tiga pendekatan perdamaian, yaitu peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding. Tiga pendekatan ini selanjutnya juga diadopsi oleh PBB dalam penyelesaian konflik untuk menciptakan perdamaian.

Peacemaking merupakan pendekatan perdamaian untuk menghentikan konflik yang sedang terjadi. Pendekatan ini bertujuan untuk mewujudkan rekonsiliasi secara penuh dan menciptakan pemahaman baru yang sama antara pihak-pihak terkait. Secara praktik bentuknya bisa melalui mediasi oleh pihak ketiga. Pihak ketiga ini bisa negara ataupun organisasi internasional seperti PBB.

Peacekeeping merupakan pendekatan perdamaian yang di dalamnya terdiri dari berbagai langkah yang bertujuan menciptakan kondisi yang mendukung terciptanya perdamaian. Peacekeeping bertujuan untuk mengurangi kematian warga sipil dan mengurangi risiko terjadinya peperangan baru. Dalam praktiknya peacekeeping bisa berwujud pengiriman pasukan perdamaian di wilayah konflik yang ada. Hal ini bisa lebih efektif ketika proses mediasi dapat terwujud sehingga kedua belah pihak yang berkonflik memperbolehkan masuknya pasukan perdamaian PBB.

Peacebuilding merupakan sebuah mekanisme struktural yang melibatkan berbagai aktor di pemerintahan dan masyarakat sipil di tingkat komunitas, nasional, dan internasional untuk mengatasi permasalahan yang mendesak dampak dan akar penyebab konflik sebelum, selama, dan setelah kekerasan konflik terjadi. Peacebuilding menjadi pendekatan perdamaian yang komrehensif dan juga kompleks. Peacebuilding bertujuan untuk mengelola, memitigasi, menyelesaikan, dan mentransformasikan aspek sentral konflik melalui diplomasi resmi, masyarakat sipil proses perdamaian, dan dialog informal, negosiasi, dan mediasi.

Jika gerakan solidaritas kemanusiaan Palestina secara global terus disuarakan secara masif dan dapat memberikan efek kepada kebijakan luar negeri negara-negara dalam menyikapi tragedi kemanusiaan di Palestina, kemudian diplomasi koersif melalui pemutusan hubungan perdagangan dan pemutusan hubungan diplomatik terlaksana dengan efektif, maka kesempatan untuk menciptakan perdamaian dengan implementasi tiga pendekatan ini bisa diwujudkan.

Resolusi SMU PBB hanya akan menjadi formalitas belaka tanpa adanya aksi lebih lanjut yang dilakukan dunia internasional. Tiga langkah di atas bisa menjadi hal yang dapat dipertimbangkan agar tragedi kemanusiaan di Palestina yang sangat menyedihkan tidak terus berlanjut.

Semoga perdamaian atas nama kemanusiaan bukan lagi formalitas belaka, namun bisa menjadi harapan yang nyata.

*) Akademisi Hubungan Internasional LSPR
 

Back to top button