News

Julia Sebutinde, Hakim ICJ Pro-Zionis yang Menentang Putusan Genosida Israel


Pengadilan tinggi PBB memerintahkan Israel pada Jumat (26/1/2024) untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk mencegah kematian, kehancuran dan tindakan genosida dalam serangan militernya di Gaza. Namun ada satu hakim yang menolak yang berarti menguntungkan Israel. Ia adalah Julia Sebutinde.

Afrika Selatan menuduh bahwa kampanye Israel di Gaza sama dengan genosida dalam kasus itu dan telah meminta pengadilan untuk memerintahkan Israel menghentikan operasi tersebut. Dalam keputusan yang diambil oleh panel yang terdiri dari 17 hakim, Mahkamah Internasional (ICJ) memerintahkan enam tindakan sementara untuk melindungi warga Palestina di Gaza.

Pengadilan memerintahkan enam hal yakni Israel harus mengambil tindakan untuk mencegah tindakan genosida di Jalur Gaza; serta harus melaporkan kembali ke pengadilan dalam waktu satu bulan. Israel juga harus mencegah dan menghukum hasutan untuk melakukan genosida di Gaza; Israel harus mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza; dan Israel harus mengambil tindakan lebih banyak untuk melindungi warga Palestina.

Langkah-langkah tersebut disetujui oleh mayoritas hakim. Seorang hakim Israel memberikan suara mendukung dua dari enam kasus tersebut. Sementara Hakim Uganda, Julia Sebutinde, adalah satu-satunya hakim yang memberikan suara menentang ketiga poin keputusan ICJ itu. Siapakah hakim Perempuan ini?

Wanita Afrika Pertama di ICJ

Lahir pada Februari 1954, Sebutinde adalah seorang hakim Uganda yang menjalani masa jabatan keduanya di ICJ. Dia telah menjadi hakim di pengadilan tersebut sejak Maret 2021. Dia adalah wanita Afrika pertama yang duduk di pengadilan internasional.

Menurut Institut Hukum Perempuan Afrika, Sebutinde berasal dari keluarga sederhana dan dia lahir pada masa ketika Uganda secara aktif memperjuangkan kemerdekaan dari kantor Kolonial Inggris.

Sebutinde bersekolah di Sekolah Dasar Lake Victoria di Entebbe, Uganda. Setelah menyelesaikan sekolah dasar, dia melanjutkan ke SMA Gayaza. Dia kemudian mengejar gelarnya di Universitas Makerere dan menerima gelar sarjana hukum pada tahun 1977, pada usia 23 tahun.

Kemudian, sebagai bagian dari pendidikannya pada tahun 1990, pada usia 36 tahun, ia pergi ke Skotlandia di mana ia memperoleh gelar master hukum dengan predikat istimewa dari Universitas Edinburgh. Pada tahun 2009, universitas yang sama memberinya gelar doktor hukum, sebagai pengakuan atas kontribusinya dalam bidang hukum dan peradilan. 

Sebelum terpilih menjadi anggota ICJ, Sebutinde adalah hakim Pengadilan Khusus Sierra Leone. Dia ditunjuk untuk posisi itu pada tahun 2007.

Sepanjang karir profesionalnya, Sebutinde tidak asing dengan kontroversi. Pada bulan Februari 2011, Sebutinde adalah salah satu dari tiga hakim ketua dalam persidangan mantan Presiden Liberia Charles Taylor atas kejahatan perang yang dilakukan di Sierra Leone.

Pengadilan Khusus memutuskan Taylor bersalah atas 11 tuduhan, termasuk kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, terorisme, pembunuhan, pemerkosaan dan penggunaan tentara anak-anak, yang mengakibatkan hukuman penjara 50 tahun. Pada 8 Februari, pengacara London Courtenay Griffiths, yang mewakili Taylor, keluar dari persidangan setelah hakim menolak menerima ringkasan tertulis pembelaan kliennya di akhir persidangannya.

Pada 28 Februari, sidang disipliner untuk mengecam Griffiths ditunda tanpa batas waktu karena Sebutinde menolak hadir, dan mengundurkan diri “secara prinsip”. Keputusan ini diambil setelah sebelumnya dia berbeda pendapat terhadap perintah yang mengharuskan Griffiths meminta maaf atau menghadapi tindakan disipliner.

Kasus ICJ di Palestina

Pada tahun 2024, Sebutinde sekali lagi menjadi berita utama, kali ini karena menjadi satu-satunya hakim yang memberikan suara menentang semua tindakan yang diminta oleh Afrika Selatan dalam kasus genosida terhadap Israel.

Dalam perbedaan pendapat, Sebutinde mengungkapkan, “Menurut pendapat saya yang berbeda, perselisihan antara Negara Israel dan rakyat Palestina pada dasarnya dan secara historis adalah perselisihan politik. Ini bukanlah suatu sengketa hukum yang dapat diselesaikan melalui jalur hukum di pengadilan,” imbuhnya.

Dia juga mengatakan bahwa Afrika Selatan tidak menunjukkan bahwa tindakan yang diduga dilakukan oleh Israel dilakukan dengan tujuan genosida, dan sebagai hasilnya, tindakan tersebut dapat masuk dalam cakupan Konvensi Genosida.

Para ahli berpendapat bahwa Sebutinde gagal melakukan penilaian menyeluruh terhadap situasi tersebut. “Menurut saya, yang salah dari perbedaan pendapat ini adalah bahwa genosida bukanlah perselisihan politik, melainkan masalah hukum. Baik Afrika Selatan dan Israel menandatangani Konvensi Genosida pada tahun 1948 dan menerima yurisdiksi atas pelanggaran Konvensi Genosida dan kegagalan mencegah genosida,” kata Mark Kersten, asisten profesor di Universitas Fraser Valley yang berfokus pada hukum hak asasi manusia, mengatakan kepada Al Jazeera.

“Anda tidak bisa begitu saja mengatakan ini adalah sesuatu untuk sejarah, ini adalah sesuatu untuk politik. Tentu saja sejarah dan politik berperan,” tambahnya.

Pendapat berbeda juga diungkapkan Duta Besar Uganda untuk PBB. “Keputusan Hakim Sebutinde di Mahkamah Internasional tidak mewakili posisi Pemerintah Uganda terhadap situasi di Palestina,” katanya dalam sebuah pernyataan di Twitter.

 

Back to top button