Kanal

Siapa Ahli Waris Utang Jokowi?


Siapa pun pemenang pilpres 2024 akan mewarisi utang pemerintah hingga Rp8 ribu triliun lebih. Beban utang segunung tetapi banyak dikritik karena pengelolaannya kurang memberi dampak pada perekonomian. Akibatnya masyarakat kelas bawah kurang merasakan manfaatnya.

 

Pemerintah selalu berdalih rasio utang masih aman karena belum menembus 60 persen terhadap PDB, karena masih di kisaran 30 persen. Tetapi bagaimana seharusnya menyikapi utang pemerintah warisan rezim Joko Widodo atau Jokowi ini?

Dalam paparan capaian APBN 2023 lalu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat jumlah utang pemerintah mencapai Rp8.144,69 triliun pada akhir Desember 2023. Jumlah utang tersebut kian meningkat jika dibandingkan dengan periode November 2023 yang sebesar Rp8.041,01 triliun.

Untuk rasio utang pada akhir 2023 tercatat sebesar 38,59% terhadap PDB. “Nilai rasio utang tersebut lebih rendah dibandingkan akhir 2022 (39,70 persen dari PDB) dan pada puncak pandemi Covid-19 di akhir 2021 atau mencapai 40,74 persen dari PDB,” Demikian mengutip buku APBN Kita Edisi Januari 2024, Kamis (18/1/2024) lalu.

Kemenkeu menyatakan, rasio utang pemerintah hingga akhir 2023 masih terjaga di bawah batas aman 60 persen PDB sesuai dengan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta lebih baik dari yang telah ditetapkan melalui Strategi Pengelolaan Utang Jangka Menengah 2023-2026 di kisaran 40 persen.

“Pemerintah senantiasa melakukan pengelolaan utang secara cermat dan terukur lewat komposisi mata uang, suku bunga, serta jatuh tempo yang optimal,” tulis Kemenkeu.

Dengan jumlah utang sebanyak itu maka penduduk Indonesia yang mencapai 275 juta orang maka harus menanggung hingga Rp28 juta lebih. Artinya setiap penduduk, dari bayi, anak kecil, ibu rumah tangga, pengangguran, mahasiswa, ayah pekerja, memiliki beban utang tersebut.

Walaupun Kemenkeu menegaskan utang tersebut terbagi dalam instrumen surat utang yang aman. Karena mayoritas utang berasal dari dalam negeri dengan proporsi sebesar 71,73 persen. Sementara berdasarkan instrumen, komposisi utang pemerintah sebagian besar berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang mencapai 88,16 persen.

Apalagi sepertiga dari APBN khususnya 2023, digunakan untuk membayar angsuran utang. Tahun lalu, utang jatuh tempo mencapai Rp570 triliun dan untuk beban bunga hingga Rp441,4 triliun. Jadi total jendral duit APBN yang hanya untuk membayar utang mencapai Rp1,011 ribu triliun. Anggaran yang tidak sedikit harus direlakan yang seharusnya bisa untuk membiayai proyek sektor pertanian atau membantu 1.800 mahasiswa ITB yang kesulitan membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) tahun lalu.

Dalam hitungan praktis, maka bisa dikatakan penambahan rata-rata utang di era SBY sebesar Rp130,85 triliun per tahun. Sedangkan di era Jokowi sekitar Rp452 triliun per tahun.

“Nah, bagaimana kemudian pemimpin ke depan menyikapi, itu sudah menjadi tanda sebenarnya. Kalau orang-orang ekonomi makro, itu dalam posisi bahaya,” kata pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah kepada inilah.com, Jumat ( 26/1/2024).  
 

 

post-cover

 

Sebagian utang tersebut untuk menutup kekurangan anggaran APBN 2023 atau defisit sebesar 1,65 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang setara dengan Rp347,6 triliun. Penerimaan negara seperti pajak yang dikumpulkan pemerintah tidak mampu menutup APBN yang mencapai Rp3.121,9 triliun. 

Untuk membiayai belanja dalam APBN pemerintah mengandalkan pajak, bea cukai serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sepanjang tahun 2023 mencapai Rp2.774,3 triliun.

Kenapa penerimaan pajak tidak dapat menutup belanja APBN sehingga pemerintah terus menambah utang? Karena kinerja penerimaan pajak berkaitan dengan tax ratio yang menghitung pendapatan pajak dibandingkan dengan nilai PDB. Nah, tax ratio pada 2023 justru mengalami penurunan menjadi 9,6 persen dari 10,4 persen di 2022. Ini sangat kontras dengan utang yang terus bertambah tetapi tidak dapat meningkatkan pendapatan untuk membiayai APBN.

Itulah, dampak paling langsung dari tax ratio yang rendah adalah keterbatasan pendapatan fiskal bagi pemerintah. Hal ini menghambat kemampuan pemerintah untuk membiayai program-program publik yang penting, seperti infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program sosial. Pemerintahan yang baru akan menghadapi tantangan berat untuk meningkatkan tax ratio ini.

Artinya mengupayakan keseimbangan antara pendapatan dan belanja pemerintah. Hal ini dapat menyebabkan defisit fiskal yang tinggi. Padahal jika terjadi keseimbangan maka dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi dan kepercayaan investor. Sayang sekali, pelaku usaha sudah mengeluhkan beban pajak yang tinggi tetapi ternyata penerimaan negara belum dapat menutupi belanja pemerintah. 

Trubus pun meminta pemerintah yang baru, untuk lebih memfokuskan pada bantuan sosial (bansos) serta mengambil langkah untuk menekan lonjakan-lonjakan harga bahan pokok. Sehingga menghindari proyek-proyek yang padat modal yang kurang melibatkan masyarakat berpenghasilan rendah. Apalagi saat ini tingkat daya beli mereka sedang tertekan.

“Jadi, karena masalah-masalah kita daya belinya turun terus, memang harus pembenahan di sini, termasuk Kementerian harus efisien lagi,” tuturnya.

Karena peningkatan tax ratio yang berkelanjutan dapat membantu memastikan perekonomian yang sehat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan masyarakat yang masuk kategori MBR. Tingginya beban utang juga akan menyebabkan tingkat pelayanan publik yang terbatas dan kurangnya investasi di sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan dapat memperlebar kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi di masyarakat.

 

ICOR Masih Tinggi

Masalah lain yang harus menjadi perhatian pemerintahan baru adalah tentang indeks Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia yang masih tinggi. ICOR ada rasio kebutuhan investasi terhadap peningkatan satu persen pertumbuhan PDB. Sehingga semakin kecil angka ICOR maka investasi semakin efisien. Namun angka ICOR ini dari tahun 2000 yang sudah berada di kisaran tiga persen justru terus tinggi. Saat era Presiden SBY, tahun 2013 angka ICOR naik jadi 5,2 persen.

Begitu pun masuk era Presiden Jokowi tahun 2016 angka ICOR sudah naik 6,7 persen. Tahun 2019 di angka 6,8 persen dan di tahun 2022 turun ke 7,6 persen. Nasib ICOR Indonesia ternyata lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia yang cuma 4,5%, India 4,5% dan Filipina 3,7%. Artinya setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi 1 persen, Indonesia membutuhkan peningkatan investasi infrastruktur sebesar 7,6 persen.  

Data ini bisa untuk mengartikan anggaran APBN yang dikeluarkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tidak efisien. Banyak faktor yang membuat nilai ICOR Indonesia tinggi, mulai dari sarana infrastruktur yang kurang memadai, rumitnya birokrasi, ongkos produksi, hingga tingginya biaya logistik. Berarti ada yang salah dalam membiayai APBN dengan utang.

Inilah yang menjadi tugas berat pemerintahan baru nanti. Sebab data ICOR ini akan menjadi pertimbangan para kreditur. Dengan negara tetangga yang sama-sama memiliki utang, ICOR akan menjadi pertimbangan untuk memberi keringanan bunga yang dibebankan. Seperti dengan Philipina yang sama-sama memiliki rating BBB, mendapatkan 6,5 persen untuk membayar imbal hasil ke kreditur. Mirisnya, laju inflasi negara itu lebih tinggi dari Indonesia yang 2023 sebesar 2,6 persen.

Sementara Indonesia mendapat imbal hasil surat utang 6,6 persen. Kondisi ini cukup berat karena 80 persen utang APBN dalam bentuk surat utang, sehingga dalam setahun angsuran utang mencapai Rp1.000 triliun lebih. “Karena itu, butuh kebijakan-kebijakan iklim investasi yang kondusif,” kata Trubus menambahkan. 

Nasib Indonesia ini erat kaitannya dengan pengelolaan APBN yang tidak efisien, khususnya belanja birokrasi yang sangat besar. Anggaran belanja pegawai pada 2024 naik hingga Rp100 triliun dari anggaran 2019 sebesar Rp223,81 triliun. Pada 2023 sebesar Rp260,9 triliun.  

Jadi kondisi tidak efisien terjadi di berbagai sektor yang merugikan perekonomian, mulai dari sektor riil tidak efisien, logistik tidak efisien bahkan indeksnya turun 17 peringkat versi Bank Dunia pada 2023 menjadi 63 dari 139 negara tentang Logistics Performance Index (LPI) atau Indeks Performa Logistik. Dari persepsi dunia usaha yang dikeluhkan menunjukkan biaya logistik mengalami kenaikan.

Jadi dengan berbagai hal yang tidak efisien tersebut baik dari sisi sektor riil maupun sektor birokrasi membuat kualitas utang Indonesia menjadi rendah. Sebab di 2015 rasio membayar bunga utang dengan bunga utang sekitar 24 persen. Namun untuk 2024 menjadi 42 persen, artinya anggaran lebih banyak untuk membayar bunga daripada untuk membayar pokok utang. Jelas ini sudah tidak sehat dan menjadi tugas pemerintahan baru.

“Kita lihat banyaknya utang yang menjadi beban negara justru bersumber dari kegiatan-kegiatan yang bersifat konsumtif, bahkan tidak ada perhitungan. Ya misalnya bagaimana utang negara kita membangun kereta cepat gitu ya, dan juga beberapa infrastruktur lainnya, ini yang kemudian menjadi catatan kita,” kata anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR FPKS, Suryadi Jaya Purnama kepada inilah.com secara terpisah.

Kalau APBN yang dominan ditopang penerimaan pajak tetapi beban angsuran utang sudah mencapai Rp1.000 triliun lebih per tahun maka sudah harus diingatkan. Apalagi selalu berlindung pada komposisi utang 80 persennya adalah suarat utang negara sehingga aman. Tetapi ini tidak positif untuk perekonomian.

Sebab sebelum pandemi Covid-19 pemegang SBN mayoritas investor asing mencapai 39 persen. Namun sekarang investor asing hanya tinggal 16 persen dan mayoritas dipegang investor dalam negeri. Tetapi ternyata sektor perbankan banyak yang bermain di instrumen paling aman ini. Apa dampaknya?

Sektor perbankan saat ini lebih senang menaruh dananya di instrumen ini akibatnya sektor riil menjerit, karena fungsi intermediasi tidak berjalan. Tentu sektor riil atau dunia usaha sulit menjadi kredit perbankan karena dananya parkir di SBN. Padahal seharusnya, perbankan mengucurkan kredit ke sektor riil untuk berusaha, berinvestasi, membuka lapangan kerja dan tentu membayar pajak sehingga roda perekonomian berjalan dengan sehat.

Jadi sikap pemerintah yang mengandalkan utang dari SBN karena memilih main aman, diikuti kalangan perbankan juga sehingga perekonomian yang dirugikan karena tidak berputar sebagaimana mestinya.

“Tentu seharusnya (pemerintah) melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan negara, jangan sampai ada objek-objek yang berpotensi penerimaan negara, tetapi tidak dilakukan secara optimal. Demikian juga kebocoran dalam penerimaan negara,” kata Suryadi menjelaskan. (wahid/diana/syahidan)

Back to top button