Market

Setop Ekspor Bauksit, Indef: Kebijakan ‘Grusa-grusu’ Jokowi

Kalau tak ada aral, Presiden Jokowi melarang ekspor bijih bauksit pada 10 Juni 2023. Alasannya untuk mendukung tumbuhnya hilirisasi, sehingga menghasilkan nilai tambah. Masalahnya, smelter bauksit belum ada.

Kepala Center Industry, Trade and Investment, Indef, Andry Satrio Nugroho menilai, pemerintah saat ini, belum memiliki rencana yang jelas terkait hilirisasi bahan mentah. Padahal, tanpa tanpa perencanaan yang matang, justru merugikan pemerintah.

“Kami tidak melihat pemerintah merencanakan rantai pasok dalam hal ini untuk industri alumunium sampai ke level siapa yang akan mengkonsumsi produk itu. Hanya sebatas larangan, lalu dengan itu investasi akan masuk,” kata Andry dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Andry menuturkan, industri pemurnian (smelter) bauksit, sangat berbeda dengan nikel yang ekspornya lebih dulu dilarang. Pemurnian nikel yang panjang memberikan banyak nilai tambah, tak hanya sebagai bahan baku baterai, namun bisa juga digunakan dalam industri stainless steel. Sementara pemurnian bauksit, lebih sederhana dan hanya bisa diproses menjadi alumina. dan alumunium sebagai produk akhir.

Dari pelarangan ekspor bijih bauksit ini, kata dia, pemerintah berharap masuknya investor smelter masuk. Sayangnya, belum ada investasi yang kongkret di sektor ini. Kalau betul dilarang maka daerah penghasil bauksit bakal menanggung kerugian.

“Kita lihat Indonesia mengambil jalan pintas dengan larangan ekspor sementara negara-negara lain (yang membangun hilirisasi) tidak melarang ekspor. Kami melihat ini cenderung tergesa-gesa,” kata Andry.

Ia memaparkan, dari 10 negara produsen bauksit terbesar, produksi alumina dari bauksit asal Indonesia, hanya mencapai 5,2 persen. Atau hanya di atas Guinea yang terendah dengan persentase 0,5 persen. Sementara negara lain, di atas 41 persen.

“Namun, hanya Indonesia yang melarang ekspor bauksit. Hilirisasi bauksit akan berhasil kalau industri di hilirnya sudah kuat,” kata dia.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menegaskan, penghentian ekspor mineral mentah tetap dilaksanakan pada 10 Juni 2023. “Iya tetap,” kata Menteri Arifin di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Sesuai amanat Pasal 170 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), semua mineral mentah yang diekspor harus melalui proses peningkatan nilai tambah di Tanah Air. Aturan ini berlaku 3 tahun setelah UU Minerba berlaku.

Artinya, pemerintah pun harus menyetop ekspor mineral mentah. Namun, pemerintah akan memberikan relaksasi izin ekspor mineral logam bagi pemegang izin usaha pertambangan/izin usaha pertambangan khusus (IUP/IUPK) yang telah menyelesaikan 50 persen pembangunan fasilitas pemurniannya (smelter) hingga 31 Mei 2024.

Relaksasi izin ekspor diberikan terbatas pada komoditas tembaga, besi, timbal, dan seng, serta lumpur anoda hasil pemurnian tembaga.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kementerian ESDM dengan Komisi VII DPR, Rabu (24/5/2023), Menteri Arifin menyebutkan, berdasarkan verifikator independen, ada lima badan usaha telah memiliki kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian konsentrat mineral logam di atas 50 persen.

Kelimanya adalah PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Industri (tembaga), PT Sebuku Iron Lateritics Ore (besi), PT Kapuas Prima Citra (timbal) dan PT Kobar Lamandau Mineral (seng). Belum ada smelter yang mengolah bijih bauksit.

Back to top button