Market

Sediakan Lahan Proyek IKN, Jadi Alasan Perubahan RTRW Hutan Kaltim

Kebijakan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemrpov. Kaltim di atas lahan seluas 736.055 hektare hutan Kaltim, yang diprotes kalangan LSM dan aktivis lingkungan, salah satunya untuk menyediakan lahan bagi proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).

Nyatanya justru meningkatkan praktik devorestasi atau mengubah kawasan hutan seperti yang dijanjikan pemerintah. Hasil temuan pemerhati lingkingan menunjukkan dari total lahan tersebut hanya 13 persen yang memberikan bantuan untuk masyarakat setempat. Sisanya, justru terbesar, untuk kepentingan korporasi.

“Yang akan menanggung keuntungan dari proses itu adalah korporasi. Rakyat sama sekali tidak diakomodasi perlindungan dan pengakuan wilayah kelolanya,” kata Fathur Roziqin Fen, direktur eksekutif WALHI Kaltim, saat mengikuti auidensi dengan Komisi IV DPR yang membawahi masalah hutan, pada pekan lalu.

Perda RTRW Kaltim 2022-2042 ini, merupakan peninjauan kembali RTRW dilaksanakan pada tahun 2020 dengan berbagai pertimbangan. Saat pengesahan Wakil Gubernur Kaltim, hal tersebut juga merupakan tindak lanjut arahan Presiden RI Joko Widodo atas rencana pemindahan ibu kota negara ke Provinsi Kaltim, maka RTRW di Provinsi Kalimantan Timur sesuai Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2016 yang secara normatif akan direvisi pada tahun 2021 dipercepat pelaksanaannya.

“Pada tahun 2020 melalui bantuan teknis dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertahanan Nasional,” katanya mengutip dari laman diskominfo.kaltimprov.go.id saat pengesahan perda tersebut, 28 Maret 2023 di Gedung DPRD Kaltim.

Revisi RTRW Kaltim 2022-2042 disepakati menjadi Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemprov dan DPRD pada akhir Maret lalu, dan saat ini tengah menunggu harmonisasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Komisi IV DPR-RI, yang membidangi lingkungan hidup.

Namun beberapa LSM dan aktivis lingkungan memprotes kebijakan tersebut. Menurut mereka, dalam perda RTRW Kaltim, akan mengubah status lahan seluas 736.055 hektare. Terdiri dari 612.366 hektare atau 83,19 persen berupa pelepasan kawasan hutan, lalu 101.788 hektare atau 13,38 persen, mengalami penurunan status kawasan hutan. Setidaknya, hutan alam seluas 408.225 hektare akan terdegradasi.

Analisis data gabungan LSM lingkungan itu menyebutkan, ada empat perusahaan yang diduga menikmati pelepasan dan penurunan status kawasan hutan. Pada sektor tambang, ada empat perusahaan besar. Yaitu Adaro seluas 58.000 hektare (35 persen), Bayan Resources (13 persen), BBE Mining seluas 8.543 hektare (5 persen), dan LX International seluas 4.200 hektare (3 persen). Sisanya seluas 47.898 hektare (29 persen), didapatkan 53 perusahaan pertambangan.

Selain itu, ada empat perusahaan kayu yang diduga menikmati pelepasan status kawasan hutan. Mereka adalah Sinarmas seluas 48.861 hektare (35 persen), Salim Group seluas 24.140 hektare (18 persen), BUMN seluas 8.529 hektare (6 persen), dan Harita seluas 8.248 hektare (6 persen). Sementara sisanya 51.585 hektare (38 persen) didapatkan 15 perusahaan lain.

Dalam keterangannya, Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria Roni Septian mengungkapkan, dari usulan revisi ini, seluruh wilayah habitat badak sumatra yang ada di hutan lindung, diusulkan diturunkan menjadi hutan produksi.

Sementara, Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung menambahkan, pelepasan dan penurunan kawasan hutan di Kaltim bisa mengancam ekosistem hutan dan memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Padahal, pemerintah kini gencar menyampaikan keberhasilan menurunkan angka deforestasi.

Tetapi dengan adanya rancangan revisi Perda RTRW Kaltim justru menunjukkan hal sebaliknya. Yakni deforestasi. Padahal Kaltim masuk prioritas perjanjian pembayaran pengurangan emisi gas rumah kaca dari Bank Dunia. Dengan memperoleh hingga USD 110 juta dari Carbon Fund sebagai insentif untuk mengurangi 22 juta ton emisi karbon di Kaltim periode Juni 2019 sampai 2024.

“Jadi, kalau kita mengiyakan usulan revisi itu, akan terjadi deforestasi 400.000 hektare. Dan enggak dapat lagi uang insentif itu. Kemudian citra Indonesia akan makin terpuruk di dunia internasional. Karena sekarang Indonesia sedang menjadi satu-satunya negara yang dianggap mampu menurunkan deforestasi,” katanya.

WALHI juga menilai bahwa revisi tata ruang kerap dijadikan cara untuk mengampuni aktivitas perusahaan ilegal.

Back to top button