Kanal

Sanksi Terhadap Rusia Tak Berhasil, Ini Sebabnya!

Pada 25 Februari 2022, sehari setelah Rusia melakukan invasi besar-besaran ke Ukraina, Uni Eropa memberlakukan sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap agresor tersebut. Namun, sepertinya sanksi tersebut tak membuat Rusia bangkrut.

Langkah-langkah sanksi ekonomi itu dimaksudkan untuk mengirimkan sinyal yang jelas ke Moskow bahwa akan ada konsekuensi berat atas tindakannya. Sanksi tersebut menargetkan lingkaran dalam Presiden Rusia Vladimir Putin, serta perusahaan Rusia dan beberapa sektor ekonomi Rusia.

Di awal sanksi itu banyak negara di Eropa, dan negara-negara sekutu Amerika Serikat (AS) optimistis akan membuat Rusia kapok dan memukul perekonomiannya. Pada bulan-bulan berikutnya, rezim sanksi terhadap Rusia diperluas lagi, memukul ekspornya yang paling berharga ke Eropa –-minyak dan gas-– dan membatasi aksesnya ke produk yang dapat digunakan dalam perangnya melawan Ukraina.

Uni Eropa juga akan terus memberlakukan sanksi baru, karena agresi Rusia dan kejahatan perang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda. Namun terlepas dari berbagai tindakan yang diberlakukan dan komitmen Brussel untuk menegakkannya, beberapa pengamat mengklaim bahwa pemberian sanksi kepada Rusia itu telah gagal.

Ivar Dale, Penasihat Kebijakan Senior Komite Helsinki Norwegia, mengutip Aljazeera mengungkapkan, perekonomian Rusia tampak lebih tangguh dari yang diperkirakan. Sementara militer Rusia mempertahankan kemampuan untuk menghancurkan infrastruktur sipil dan sasaran militer serta meneror penduduk Ukraina. “Terlebih lagi, barang-barang yang dikenai sanksi masih bisa masuk ke jalur-jalur Rusia termasuk ke medan perang di Ukraina,” katanya.

Analisis data bea cukai dari 12 negara Uni Eropa, Norwegia, Inggris, AS, dan Jepang menunjukkan bahwa pengelakan sanksi ekspor terhadap Rusia berjumlah 8 miliar euro (US$8,5 miliar) pada tahun 2022.

Dari negara-negara yang diteliti, Jerman tampaknya merupakan pengekspor barang yang terkena sanksi terbesar ke Rusia; terbesar kedua adalah Lituania. Keduanya menyediakan setengah dari barang-barang Barat yang seharusnya tidak dapat diakses oleh Moskow.

Masih menurut Ivar Dale, penelitian mengungkapkan bahwa bisnis Eropa, terutama Jerman, menggunakan negara ketiga untuk menjual produk mereka ke Rusia. Hal ini terlihat dari analisis data ekspor barang-barang yang dikenai sanksi, termasuk barang-barang mewah seperti perhiasan dan parfum, yang biasanya dinikmati oleh para elit di Moskow, teknologi mutakhir, seperti semikonduktor canggih dan komputer kuantum, mesin, dan peralatan transportasi.

“Pada awal 2022, ekspor barang-barang ini ke Rusia anjlok, tetapi ke negara tetangganya, ekspornya meroket,” tambahnya. Hampir setengah dari ‘ekspor paralel’ ini disalurkan melalui Kazakhstan dan sisanya dibagi antara Georgia, Armenia, Kyrgyzstan, dan lainnya. Daftar produk yang terkena sanksi mencakup barang-barang yang dapat digunakan untuk keperluan sipil dan militer, seperti drone, kendaraan, dan bahan kimia tertentu.

Apa saja produk yang masih bisa tembus Rusia?

Di zona perang, truk berukuran sedang sangat penting untuk mengangkut perbekalan ke garis depan, itulah sebabnya kendaraan semacam itu dimasukkan ke dalam daftar sanksi. Akibatnya, ekspor truk diesel Jerman ke Rusia dalam kelas berat ini turun menjadi nol pada Mei 2022. Namun, penjualan truk yang sama ke Armenia ini meningkat secara eksponensial dan mencapai level lima kali lipat dari penjualan Jerman ke Rusia sebelumnya pada bulan September.

Produk lainnya adalah poliamida yang juga tetap sampai ke Rusia yang berarti melanggar rezim sanksi. Bahan kimia ini digunakan dalam pembuatan pelindung tubuh, rompi penerbangan pilot militer, dan banyak barang militer dan sipil lainnya. Hingga Juni 2022, Jerman hampir tidak mengekspor poliamida ke Kazakhstan. Setelah sanksi diberlakukan, permintaan Kazakstan untuk bahan kimia ini meledak dan pada Oktober mengimpor 200 ton dari produsen Jerman.

Lituania juga telah mengekspor barang yang terkena sanksi ke Rusia, tetapi melalui rute lain –Belarusia. Meskipun menjadi tuan rumah oposisi Belarusia dan menentang rezim Presiden Alexander Lukashenko di Minsk, Vilnius tampaknya telah meningkatkan penjualan kendaraannya ke tetangganya 10 kali lipat antara Mei dan September tahun lalu. Mengingat bahwa ekspor ke Rusia telah turun menjadi nol dan permintaan mobil Belarusia tidak mungkin meningkat secara dramatis, tampaknya barang-barang ini akan dikirim ke Rusia.

Sementara Belarus adalah pendukung setia Moskow dan secara terbuka mendukung perang Rusia di Ukraina, Kazakhstan enggan memihak. Presiden Kassym-Jomart Tokayev telah menyerukan diakhirinya kekerasan di Ukraina, menolak untuk mengakui aneksasi Rusia atas wilayah Ukraina dan berjanji untuk mengekang pengelakan sanksi di wilayah Kazakhstan.

Pemerintahnya dilaporkan telah memperkenalkan kontrol bea cukai yang lebih ketat terhadap barang elektronik yang diimpor ke Rusia dan sedang mempertimbangkan pemantauan bea cukai online untuk melacak barang yang melintasi perbatasan. Apakah upaya ini benar-benar akan menertibkan aliran barang yang dikenai sanksi atau hanya tindakan kosmetik, ini yang masih harus dilihat.

Mengandalkan Kazakhstan dan tetangga Rusia lainnya untuk mengendalikan penghindaran sanksi tampaknya tidak realistis. Terserah negara-negara yang telah memberlakukan langkah-langkah ini untuk memastikan penerapannya.

Uni Eropa, sepertinya harus menetapkan rezim ekspor baru untuk barang-barang yang kritis terhadap perang. Anggota koalisi sanksi harus bersama-sama menyelidiki satuan tugas dan menegakkan kepatuhan menggunakan semua alat hukum yang tersedia. Komunitas bisnis itu sendiri juga harus berperan; perlu merangkul budaya kepatuhan dan berhenti menutup mata terhadap penghindar sanksi.

Memastikan bahwa sanksi tidak hanya dijatuhkan tetapi benar-benar diterapkan secara menyeluruh sangatlah penting pada tahap perang ini. Terlalu banyak orang Ukraina yang telah kehilangan nyawa dalam perang dan lebih banyak lagi yang menuju ke medan perang untuk mempertahankan negara dan kebebasan mereka.

Back to top button