Kanal

Sampai Ormas Pun Diuji Didomestikasi Via Izin Pengelolaan Tambang

Merujuk data, Jokowi tercatat sebagai presiden yang paling banyak memberikan gula-gula tambang kepada warga. Sejauh ini, presiden yang seharusnya “kalem-kalem” menjelang turun panggung itu terus menyawer izin tambang.Sejak menjabat hingga 2022 saja, Jokowi telah memberi izin tambang di aneka wilayah seluas 5,37 juta hektare.

Jika kata “domestikasi” pada judul di atas dianggap kasar, itu justru eufimisme. Ungkapan penghalus dari sekian banyak istilah yang kini bertebaran di pemberitaan dan media sosial, terkait kebijakan paling anyar Jokowi: pemberian izin tambang untuk organisasi kemasyarakatan (Ormas). Salah satu istilah yang cukup mengemuka adalah penjinakan Ormas. Alih-alih penjinakan yang terasa “barbar”, tentu kami bijak memilih “domestikasi” yang lebih unyu-unyu.

Wikipedia menulis domestikasi (do·mes·ti·ka·si/ /doméstikasi/ n) sebagai penjinak-an hewan liar atau hewan buas dan sebagainya, agar dapat dimanfaatkan. Situs gurusains.com menulis, dalam arti yang paling ketat, hal itu mengacu pada tahap awal penguasaan manusia terhadap hewan dan tumbuhan liar. Jadi, inti domestikasi sejatinya adalah penguasaan.

Sengkarut wacana pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) itu sejatinya berawal dari janji Jokowi sekitar tiga tahun lalu. Pada sebuah pertemuan di 2021, Jokowi pernah menjanjikan konsesi pertambangan mineral dan batubara kepada generasi muda Nahdlatul Ulama (NU). Alasan saat itu, pemberian konsesi itu  akan “dapat menggerakkan gerbong-gerbong ekonomi kecil”.

Pada sebuah acara di Balikpapan, Senin, 31 Januari 2022, Jokowi menguatkan janji tersebut. Ia mengakui, izin konsensi itu diberikan dengan tujuan untuk memperkokoh kemandirian dan kewirausahaan sosial di Nahdlatul Ulama (NU). Ia menyebut beleid itu bagian penting dari kebijakan transformasi yang sedang dilakukan pemerintah. “Sudah saya siapkan (konsesi). Saya pastikan yang gede, enggak mungkin saya memberikan ke NU yang kecil-kecil,” ujar Jokowi, saat itu.

Belakangan, urusan tersebut sempat memantik kisruh ‘kecil’ dalam kabinet Jokowi. Sementara Menteri Investasi Bahlil Lahadia berkeras agar ormas keagamaan bisa mendapat IUPK, Menteri Luhut Pandjaitan berseberangan dengannya. Polemik sempat berkembang memanas, hingga pada pertengahan April, sebuah majalah berita terkemuka menjadikannya laporan utama. Selain ditulis dalam 16 halaman rubrik Laporan Utama, Rubrik Opini atau tajuk khas majalah tersebut saat itu juga melansir tulisan yang cukup keras, berjudul “Utak-atik Membayar Utang Politik”.  

Belakangan, kubu Luhut akhirnya tersisih, saat Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang berlaku mulai 30 Mei 2024. Berdasarkan aturan itu, pemerintah membuka peluang badan usaha milik ormas keagamaan mendapat “penawaran prioritas” guna mengelola wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) yang selama ini diprioritaskan untuk badan usaha negara. Klausul tegasnya ada pada Pasal 83 A, yang berbunyi: “Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Wilayah Izin Usaha Pertambangan dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.”

Ormas Jadi Bumper?

Rusaknya lingkungan dampak tambang di wilayah Luwu Raya, Sulawesi Selatan
Rusaknya lingkungan dampak tambang di wilayah Luwu Raya, Sulawesi Selatan. (Foto: Antara).

Di masyarakat, beleid itu jauh dari sambutan dengan karpet merah. Yang ada justru kritik dan pertanyaan menuding. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Melky Nahar, menilai alasan pemerataan ekonomi yang dilontarkan pemerintah hanyalah dalih obral konsesi demi menjinakkan ormas-ormas keagamaan. Dengan alasan tersebut, JATAM mendesak pemerintah segera mencabut aturan tersebut.

Rekan Melky, Kepala Divisi Hukum JATAM, Muhammad Jamil, menangapi PP 25 dengan komentar bahwa itulah watak sesungguhnya dari pemerintahan Jokowi. Dari bingkai kacamata politik, kata Jamil, secara waktu terbitnya, nomenklatur Ormas bisa mendapatkan perizinan itu berada di Perpres 70/2023. Itu, kata dia, sekitar empat bulan tuh menjelang Pemilu 2024. “Sekarang, enam bulan menjelang Pilkada diterbitkan lagi itu PP yang melegitimasi agenda tersebut,”kata Jamil. Jadi menurut dia,”Sulit untuk bilang bahwa ini tidak ada agenda politiknya.”

Bagi Jamil, dalam model demokrasi di Indonesia, Ormas punya kemampuan memobilisasi dan memberi pengaruh, termasuk dalam menentukan pilihan ketika berlangsung kontestasi politik. Baginya, terbitnya PP 25 mengingatkannya pada keluarnya izin pertambangan di masa bupati dan gubernur punya kewenangan menerbitkan izin tersebut. “Dulu, izin tambang itu waktunya rata-rata setahun sebelum Pemilu atau satu tahun setelah Pemilu. Setelah ada bupati terpilih atau gubernur terpilih. Ha ha ha…” kata dia, tergelak.

Wajar bila lembaga yang telah lama terlibat dalam berbagai dampak sosial pertambangan tersebut mengkritik beleid Jokowi. Seperti juga beberapa beleid lain yang justru tidak akur dengan aturan hukum yang telah ada dan tidak dihapus sebelumnya, demikian pula PP 25/2024 ini. Tambahan Pasal 83A dalam PP 25, bahwa WIUPK dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan tanpa melalui proses lelang, sejatinya kontradiktif dengan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) no 3/2020. UU itu mengharuskan izin tambang diberikan melalui proses lelang. Hanya karena hendak ‘memberi’ konsesi kepada ormas, pemerintah merevisi PP dengan menghapus keharusan lelang, satu tindakan yang bisa dipandang berisiko besar.

Belum lagi merekahnya peluang terjadinya konflik kepentingan,  risiko lingkungan, serta benturan horizontal di akar rumput. Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menyatakan bahwa pemberian izin usaha tambang kepada ormas yang tidak memiliki kapasitas dalam pengelolaan tambang berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. “Apalagi diberikan kepada institusi atau lembaga yang tidak memiliki kapasitas dan interest untuk pengelolaan lingkungan,” kata Arie. Bagi Arie, beleid itu bisa menjadikan sumber daya alam sebagai alat transaksi untuk kepentingan politik. “Yang pada akhirnya akan mengutamakan profit dibanding keseimbangan lingkungan,”kata dia.

Tentang kemungkinan menimbulkan konflik horizontal, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman, meyakini hal itu. Apalagi, kata Arman, selama ini pun banyak kelompok masyarakat adat telah berkonflik dengan tambang dan proyek investasi. Mereka berhadapan dengan perusahaan dan aparat dalam mempertahankan tanah yang telah lama mereka diami, yang tumpang tindih dengan izin konsesi tambang.

“Malah ini bisa menjadi konflik SARA. Misalnya ketika satu kelompok adat, terdiri dari kelompok agama tertentu, kemudian dimasuki oleh ormas keagamaan dari kelompok agama lainnya, isunya berpotensi dipelintir ke mana-mana,” ujar Arman.

Tentang konflik pertambangan, catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan  selama 2023 saja terjadi 32 konflik agraria akibat pertambangan. Konflik itu berdampak pada lebih dari 48.000 keluarga di 57 desa. “

Dalam istilah Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Fanny Tri Jambore, ia malah melihat ormas-ormas justru seperti (akan) dijadikan bumper dari ambisi pemerintah untuk menggenjot ekstrativisme atau sektor pertambangan di Indonesia. “Karena kalau melihat wilayah-wilayah yang akan diberikan ke ormas-ormas ini hampir semua sudah mengalami konflik sosial dan krisis lingkungan,”kata Fanny. “Ormas-ormas yang mendapatkan jatah tambang di wilayah SPKP2B, mereka justru akan mewarisi konflik, mewarisi kerusakan lingkungan, yang mana akan semakin buruk sebetulnya.”

Yang ia sebut bumper, dengan pengalaman minim, besar kemungkinan ormas akan melibatkan korporasi, yang dengan PP tersebut kewajibannya banyak berkurang. Sementara perubahan-perubahan yang ada di dalam PP memberikan banyak keleluasaan kepada korporasi. Tapi yang mendapatkan sorotan tajam pada akhirnya hanya ormas-ormas.”Jadi, ada semacam upaya untuk menjadikan ormas ini bumper. Sementara pemerintah sendiri juga sedang memberi keluasan besar kepada  kepada koorporasi pertambangan di dalam PP ini.”

Misalnya, soal kewajiban untuk membuat Rencana Kerja dan Anggaran Belanja (RKAB) untuk Perusahaan, yang sebelumnya harus dibuat tiap tahun. Dengan PP 25, kata Fanny, kewajiban RKAB tahunan itu dihapus. “Mereka hanya disebut wajib membuat RKAB tapi tidak tahunan. Padahal operasi tambang itu operasi yang rumit, penuh risiko sehingga perencanaan tahunan itu menjadi penting untuk memastikan bahwa kinerja mereka,”kata Fanny. RKAB itu dulu juga memuat penyiapan risiko, bagaimana mengendalikan kerusakan, bagaimana memastikan masyarakat tidak dirugikan, dan segala macam, yang harus dilakukan tiap tahun.

Merujuk data, Jokowi tercatat sebagai presiden yang paling banyak memberikan gula-gula tambang kepada warga. Sejauh ini, presiden yang seharusnya kalem-kalem saja menjelang turun panggung itu terus menyawer izin tambang.Sejak menjabat hingga 2022 saja, okowi telah memberi izin tambang di aneka wilayah seluas 5,37 juta hektare.

Namun urusannya pun bukan hanya itu. Secara legalitas, menurut Jamil, hingga saat ini sebenarnya belum boleh diterbitkan IUPK bagi ormas keagamaan. Artina, itu pun akan jadi masalah ke depan. “Ada peluang timbulnya masalah, karena di PP 25 2024, Pasal 83A ayat 7, yang menjadi dasar hukum itu bilang, tata cara pemberian IUPK prioritas kepada ormas itu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan Presiden. Nah sekarang, Peraturan Presidennya belum ada,”kata Jamil.Artinya kalau kemudian terbit izin tambang, bisa dipastikan itu cacat  hukum.

Dirayakan di Elit, Ditentang di Akar Rumput

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia. (Foto: Antara).

Hingga saat ini memang hanya Nahdlatul Ulama (NU) yang secara terbuka sudah menyatakan gayung bersambut.  Dalam jumpa pers awal bulan ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf, menyambut beleid itu dengan sepenuh semangat.

“Kebijakan ini merupakan langkah berani yang menjadi terobosan penting untuk memperluas pemanfaatan sumber daya-sumber daya alam yang dikuasai negara untuk kemaslahatan rakyat secara lebih langsung,” kata Yahya Staquf, di Jakarta, awal bulan ini. Gus Yahya menyatakan, PBNU menerima tawaran pemerintah terkait izin kelola tambang karena membutuhkannya. “Ketika pemerintah memberi peluang ini, membuat kebijakan afirmasi ini, kami melihat sebagai peluang dan segera kami tangkap. Wong kami butuh, bagaimana lagi?” kata Gus Yahya, seperti dikutip Kompas.com.

Gus Yahya mengatakan, sebagai ormas dengan anggota yang didakunya lebih dari separuh penduduk Inonesia, pihaknya memiliki kebutuhan cukup banyak. “Kita ketahui bahwa NU itu adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, sehingga bukan hajat agama saja yang dikelola, yang diurus, tapi hajat kemasyarakatan, termasuk ekonomi, pertanian, pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya,”kata dia. PBNU menurutnya memiliki sekitar 3.000 pondok pesantren dan madrasah. Pengelolaannya pun tentu memerlukan banyak sumber daya.

Pemerintah disebut-sebu menyediakan enam lahan eks tambang yang hak kelolanya akan diberikan kepada ormas keagamaan. Keenamnya terdiri dari lahan bekas tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung. Untuk PBNU, pemerintah konon akan memberikan lahan bekas, PT Kaltim Prima Coal.

Namun tampaknya hanya PBNU yang terlihat gumbira dengan terbitnya beleid tersebut. Ormas-ormas lain, terutama yang berbasis non-Islam, justru menolak.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), langsung menyatakan penolakan atas tawaran pemerintah. Hal itu diungkap Uskup Agung Jakarta, Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo. “Saya tidak tahu kalau ormas-ormas yang lain, tetapi KWI tidak akan menggunakan kesempatan itu. Bukan wilayah kami untuk mencari tambang dan lainnya,” ujar Ignatius Kardinal Suharyo Hardjoatmodjo, Jumat (7/6) lalu.

Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migrant, dan Perantau serta Keutuhan Ciptaan KWI, Marthen Jenarut, mengamini Sang Uskup Agung. “Gereja Katolik selalu mendorong supaya tata kelola pembangunan taat asas pada prinsip pembangunan berkelanjutan, di mana pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup,”ujar Marthen.  “Karena itu KWI sepertinya tidak berminat untuk mengambil tawaran tersebut.”

Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) juga bersikap tegas, menolak. Alih-alih menyambut, HKBP menyerukan agar pemerintah bertindak tegas terhadap para penambang, yang dalam pelaksanaan tugasnya, tidak tunduk pada undang-undang terkait pertambangan ramah lingkungan. “Bersama ini dengan kerendahan hati menyatakan bahwa HKBP tidak akan melibatkan dirinya sebagai gereja untuk bertambang,” ujar Ephorus HKBP, Robinson Butarbutar dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/6) lalu.

Meski menyatakan apresiasi atas tawaran dan niat baik Jokowi, Ketua Umum Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom, menyatakan pihaknya tidak bersedia bergabung. ” PGI tidak menyediakan diri untuk ikut dalam pengelolaan tambang,”ujar Pendeta Gomar. Sejak awal ia mengingatkan bahwa lembaga keagamaan mempunyai keterbatasan dalam hal tersebut. Selain itu, Gomar juga mengimbau agar lembaga keagamaan bisa fokus pada pembinaan umat.

Mitra terdekat NU, Muhammadiyah, pun masih pikir-pikir. Hingga Ahad (9/6) lalu Muhammadiyah menyatakan belum memutuskan sikap mereka. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, mengatakan keputusan sepenuhnya berada di tangan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. “Kalau ada penawaran resmi pemerintah kepada Muhammadiyah, semua akan dikaji dari berbagai aspek dan sudut pandang, dibahas dengan seksama,” ujar Mu’ti.

Di akar rumput, kader Muhammadiyah banyak yang berharap PP Muhammadiyah akan menolak tawaran pemerintah terkait IUPK tersebut. “Kami melihat secara realistis, pertambangan selama ini menimbulkan permasalahan fundamental bagi kehidupan sosial ekologis, dan makin memiskinkan,” kata Presidium Kader Hijau Muhammadiyah, Fahmi Ahmad Fauzan.

Adapun terkait penerimaan PBNU, akar rumput lembaga itu umumnya justru menolak. “Kami kaget dengan pernyataan tokoh-tokoh NU belakangan ini, kok NU malah mau berperan dalam kerusakan lingkungan? Dulu NU mengharamkan kerusakan lingkungan, kok sekarang menghalalkan?” kata Tabudin, salah satu warga NU sekaligus korban tambang di Wadas, kepada BBC News Indonesia.

Tabudin menunjuk putusan NU yang mengharamkan eksploitasi sumber daya alam di Indonesia pada 2015. Tak hanya itu, dalam Muktamar 2021 NU juga pernah merekomendasikan agar pemerintah menghentikan pembangunan PLTU batubara dan mengurangi produksi batu bara mulai 2022, untuk mempercepat proses transisi energi.

Wakil Ketua GP Ansor Purworejo, Muhammad Hidayatullah, melihat bahwa banyak Nahdliyin di Indonesia justru menjadi korban tambang. “Kalau pengelolaan sama buruknya dengan yang terjadi selama ini, NU sebagai organisasi keagamaan akan bunuh diri. Seharusnya NU punya tanggung jawab sebagai penjaga lingkungan, kok malah merusak lingkungan,”kata Hidayatullah.

Penolakan senada-seirama juga datang dari 68 warga NU alumni Universitas Gadjah Mada (UHM). “Kami meminta pemerintah membatalkan pemberian izin tambang ormas keagamaan,” kata Juru Bicara Warga NU Alumni UGM, Slamet Tohari, Ahad (9/6) lalu. [dsy/vonita betalia/riski putra/harris muda]

Back to top button