Kanal

Sa’di, Dibebaskan dengan 10 Dinar, ‘Diperbudak’ Keluarga dengan 100 Dinar

Tidak seperti Ibnu Bathuthah yang keluar-masuk istana raja-raja, Sa’di berkelana laiknya para darwis, tidur di pinggir jalan, makan-minum di warteg-warteg–yang di sana namanya mungkin saja wardad. Ia menyelami kehidupan masyarakat, sampai ke dasar.  Dan namanya, sampai ke era kita, melintasi milenia.

“Benar, dia sudah membebaskan aku dengan 10 dinar,” kata Sa'di, “Tapi ia mem- bikin aku jadi budak untuk 100 dinar.” Itulah komentar Sa'di pada istrinya tentang ayah mertuanya.

Awalnya sebuah insiden kecil. Sa'di sedang hiking di hutan-hutan Syam. Sial sekali, ia ditangkap. Bersama sekelompok Yahudi, ia dijadikan pekerja rodi di Tripoli. Ketika bertugas menggali parit, ia dikejutkan suara. “Hai, Sa'di, kau rupanya!” Ternyata sahabat lama, yang entah bagaimana lewat di tempat galian itu. Dua bait syair lalu meluncur dari mulut Sa'di. Isinya menggugah si kawan terhadap seseorang yang sedang mencoba menghindari masyarakat manusia, lalu dipaksa hidup di antara hewan.

Sahabat itu terharu. Ia pun membebaskan Sa'di dengan tebusan 10 dinar. Malahan juga menikahkannya dengan putrinya dengan mahar 100 dinar. Sayang, selain angkuh, istri Sa'di bawelnya minta ampun. Sampai suatu hari ia mengungkit Sa'di agar selalu ingat bahwa mertuanyalah yang membebaskan dirinya. Itulah sebabnya Sa'di mengingatkannya bahwa mertua itu juga yang menjadikannya “budak” dengan mengawinkannya.

Sa'di Asy-Syirazi, yang nama aslinya Musyarifuddin, salah satu tokoh besar dalam sastra klasik Persia. Dilahirkan di Syiraz, Iran, sekitar 1184. Ia ditinggal wafat ayahnya, Mushlihuddin, di masa kanak-kanak. Ia dititipkan kepada penguasa setempat, Atabek Sad bin Zangi. Dari nama pangeran yang mengirimnya belajar ke Madrasah Nizamiah di Bagdad itulah datang nama yang menggantikan nama aslinya, Musyarifuddin.

Selepas madrasah yang pernah Al Ghazali mengajar di sana, Sa’di berkelana.  Tidak seperti Ibnu Bathuthah yang keluar-masuk istana raja-raja, Sa’di berkelana laiknya para Darwis, tidur di pinggir jalan, makan-minum di warteg-warteg yang tentu saja di sana namanya mungkin saja wardad (Warung Bagdad). Ia menyelami kehidupan masyarakat, sampai ke dasar.  Dan namanya, sampai ke era kita, melintasi milenia. [dsy/ dengan sedikit pengubahan dari “Puing Kearifan”, KH A Suryana Sudrajat]

Back to top button