News

Rumoh Geudong Dihancurkan Tak Bisa Memupus Kisah Kelam Warga Aceh

Presiden Joko Widodo berencana meluncurkan penyelesaian non-yudisial 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia pada Selasa (27/6/2023) di lokasi bekas Rumoh Geudong di Aceh. Namun gedung bersejarah sebagai tempat penyiksaan dan pembunuhan warga di Aceh itu sudah dirobohkan. Bagaimana sejarah getir rumah ini?

Rumoh Geudong merupakan sebutan untuk sebuah gedung tempat Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh. Gedung ini pada masa darurat militer digunakan sebagai tempat penyiksaan dan pembunuhan warga.

Namun tempat bersejarah ini dirobohkan jelang kedatangan Presiden Joko Widodo. Penghancuran bangunan dilakukan Pemkab Pidie dan di sekeliling Rumoh Geudong itu rencananya 023dialihfungsikan untuk dibangun menjadi masjid. Perobohan itu sudah dilakukan sejak Selasa (20/6/2023).

Perobohan bangunan ini diduga dilakukan sebagai bagian dari persiapan kick-off pelaksanaan rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM yang Berat (PPHAM). Kick-off itu akan dilakukan langsung oleh Presiden Joko Widodo di area yang dulunya merupakan bangunan Rumoh Geudong pada Selasa 27 Juni 2023.

Pejabat Bupati Pidie, Aceh, Wahyudi Adisiswanto mengungkapkan, penghancuran gedung itu bertujuan untuk memupus dendam agar generasi muda berikutnya di wilayah itu tidak larut dalam kesedihan atas peristiwa masa lalu. Sejak awal Wahyudi menduga akan terjadi pro dan kontra dari kegiatan perobohan  sisa bangunan Rumoh Geudong ini. “Pro kontra itu pasti terjadi,” katanya.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia mengakui terjadinya 12 pelanggaran HAM berat di masa lalu dan sangat menyesalkan. Hal itu dia sampaikan setelah menerima laporan Tim PPHAM masa lalu yang diwakili Mahfud Md yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.

Di Aceh ada tiga lokasi pelanggaran HAM berat yakni Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) pada 1999, Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989, dan Peristiwa Jambo Keupok Aceh di 2003. Sementara 9 lainnya yakni Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di Lampung 1989, Peristiwa Penghilang Orang Secara Paksa 1997-1998, dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Kemudian Peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Wasior Papua 2001-2002 dan Peristiwa Wamena Papua 2003,

Banyak pihak menyayangkan hingga mengecam pembongkaran gedung bersejarah ini mengingat tempat tersebut menjadi salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie. Ada juga yang menuduh upaya itu sebagai cara untuk menghilangkan sejarah maupun bukti pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rumoh Geudong agar pelaku yang masih ada dan terlibat tidak bisa dijerat.

Bersejarah sejak zaman penjajahan

Terlepas dari pro dan kontra soal pembongkaran tempat bersejarah ini, Rumoh Geudong memiliki sejarah kelam aksi kesewenang-wenangan terhadap warga Aceh. Rumoh Geudong terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur 95,75-96,20 derajat.

Dalam sebuah buku ‘Rumoh Geudong, Tanda Luka Orang Aceh’ karya Dyah Rahmani P, terungkap menurut kisah dari penuturan ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun pada 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.

Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.

Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.

Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut Rumoh Geudong dijadikan sebagai basis perjuangan. Rumah itu ditempati oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.

Pengurusan Rumoh Geudong sekarang ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.

Screenshot 2023 06 25 172454 - inilah.com

Masa orde baru

Pemerintahan Orde Baru memberlakukan Operasi Militer di Aceh. Saat konflik memanas di akhir 1990-an dan awal tahun 2000, ribuan personel Tentara Nasional Indonesia diturunkan untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka, yang saat itu disebut pemerintah sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).

Rumoh Geudong menjadi salah satu dari puluhan kamp penyiksaan militer yang tersebar di Aceh. Sederet kisah luka menjadi catatan dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Suatu bentuk kejahatan kemanusia yang dialami rakyat Aceh pada masa Daerah Operasi Militer (DOM).

Pada April 1990, Rumoh Geudong ditempati sementara oleh tentara tanpa sepengetahuan pemiliknya. Saat itu, pemilik Rumoh Geudong sempat menyatakan keberatannya. Namun, pasukan pemerintah sudah membuat rumah itu sebagai lokasi tahanan. Ada yang menyaksikan aksi kekerasan dan juga masih merasakan trauma mendalam. Ada yang sangat membekas dan sempat menyebabkan kebencian terhadap negara.

Dalam penjelasan di buku Rumoh Geudong, yang juga terdapat dalam versi Bahasa Inggris berjudul ‘The Scar of The Acehnese’, disebutkan bahwa tentara Indonesia menduduki rumah khas Aceh tersebut sejak 1990 dan mulai menjadikannya sebagai kamp penyiksaan di ujung tahun 1995.

Menurut buku itu, di lantai dasar rumah tersebut terdapat ruang penyiksaan yang berada di depan dan sebuah ruangan lagi “untuk menyimpan jenazah para tahanan yang dibunuh di ruang lainnya”. Belum ada yang bisa menghitung persis jumlah korban meninggal dunia dari peristiwa ini.

Namun setidaknya laporan dari Komnas HAM bisa menjadi salah satu acuan penting. Tim Pencari Fakta Komnas HAM yang dipimpin Otto Nur Abdullah pada 2013 lalu sempat mengeluarkan hasil penyelidikannya terkait pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. Pada kasus Rumoh Geudong misalnya, tim menemukan data di Kabupaten Pidie terjadi 3.504 kasus korban operasi militer.

Dari sejumlah data itu tercatat jumlah orang hilang sebanyak 168 kasus, meninggal 378 kasus, perkosaan 14 kasus, cacat berat 193 kasus, cacat sedang 210 kasus, cacat ringan 359 kasus, janda 1.298 kasus, stress/trauma 178 kasus, rumah dibakar 223 kasus, dan rumah dirusak 47 kasus. Kerugian materil pun mencapai Rp 4,2 miliar.

Sementara laporan Komnas HAM pada 2018 menyebutkan yang terjadi di Rumoh Geudong termasuk perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional dan penghilangan orang secara paksa.

Rumoh Geudong dibakar massa pada 20 Agustus 1998 atau hanya dua pekan setelah Menteri Pertahanan/Panglima ABRI Jendral TNI Wiranto mengumumkan pencabutan status DOM di Aceh. Massa, entah bagaimana ceritanya, berbondong-bondong mendatangi rumah penuh sejarah itu dan membakarnya.

Rumah yang semula berbentuk khas Aceh itu dibakar namun masih banyak kerangka bangunan yang tersisa di lahan dua hektar tersebut. Saat itu tersisa sebuah tangga berdiri kokoh setinggi satu setengah meter. Tidak jauh dari sana, bekas lantai dan dinding beton sudah dipenuhi semak belukar. Lokasinya sekitar seratus meter dari jalan nasional Medan-Banda Aceh.

Kini semuanya sudah rata dengan tanah. Tak ada lagi bangunan yang tersisa termasuk beberapa pohon yang ada di sekitarnya. Namun luka dan trauma terhadap kekejian yang terjadi di Rumoh Geudong masih akan tersimpan lama dan tidak akan mudah hilang dari ingatan masyarakat Aceh.

Back to top button