Market

Risiko Besar di Tengah Ambisi Indonesia Jadi Pusat Penyimpanan Emisi Karbon

Dengan kapasitas lebih dari 600 miliar ton, Indonesia merupakan negara yang berencana melakukan penangkapan dan penyimpanan karbon secara besar-besaran. Namun teknologi ini memiliki risiko dan berbiaya tinggi. Apalagi proyek-proyek CCS mempunyai catatan buruk dalam mencapai target pengurangan emisi. Akankah proyek ini benar-benar membantu menurunkan emisi?

Pemerintah akan menggunakan ribuan cadangan minyak dan gas yang sudah habis di seluruh negeri untuk menyimpan karbon dioksida secara permanen yang dihasilkan industri-industri berat, termasuk industri asing. Rencana ini telah menarik minat beberapa raksasa minyak, yang mengklaim cara ini efektif untuk mengurangi emisi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Selama kunjungan Presiden Joko Widodo ke Washington bulan lalu untuk bertemu dengan Presiden AS Joe Biden, PT Pertamina (Persero) menandatangani perjanjian dengan Exxon Mobil dan Chevron untuk melakukan evaluasi lebih lanjut atas investasi senilai US$2 miliar untuk fasilitas yang menggunakan dua cekungan bawah tanah di Laut Jawa.

Perusahaan minyak lainnya, BP, mempunyai proyek penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (CCUS) di Tangguh, lepas pantai Papua Barat, yang mulai dibangun pada 24 November. Indonesia juga mengundang negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura untuk mengembangkan infrastruktur yang diperlukan untuk penyimpanan karbon di Tanah Air.

Namun, di tengah optimisme yang tinggi, para analis telah menyuarakan kewaspadaan mengenai tingginya biaya (Carbon Capture and Storage/CCS) yakni antara US$80 dan US$1.000 (sekitar Rp1,2-15,5 juta) per ton CO2 yang disimpan serta fakta bahwa CCS menggunakan banyak energi. Proyek-proyek CCS mempunyai catatan buruk dalam mencapai target pengurangan emisi. Beberapa proyek malah ditinggalkan di tengah-tengah tahap konstruksi.

Mengutip laporan Channel News Asia (CNA), teknologi CCS sudah ada sejak tahun 1970-an dan dimaksudkan untuk mengekstraksi lebih banyak minyak dari reservoir daripada mengurangi emisi karbon. Menyuntikkan karbon dioksida ke dalam sumur yang semakin menipis dapat meningkatkan fluiditas minyak mentah, sehingga memungkinkan lebih banyak bahan bakar fosil diekstraksi.

Beberapa perusahaan telah menggunakan teknologi ini untuk meningkatkan produksi mereka di Indonesia. Pemerintah berharap dalam beberapa tahun, sumur-sumur ini akan tersedia secara komersial untuk menyimpan karbon dari sumber-sumber lokal dan asing.

“Sebelumnya, hanya ada (satu) pilihan untuk sumur-sumur yang sudah habis, yaitu dengan menonaktifkannya melalui sebuah proses yang dikenal dalam industri minyak sebagai plug-and-banding,” kata Dr Belladonna Maulianda, direktur eksekutif lembaga pemikir pemerintah Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC), yang didirikan pada bulan Mei. “Daripada menghabiskan modal untuk plug and abandonment, mengapa tidak menggunakan (sumur) untuk CCS?”

Penelitian menunjukkan bahwa cadangan minyak dan gas di Indonesia yang sudah menipis berpotensi menyimpan delapan miliar ton karbon dioksida. Namun, CO2 juga dapat disimpan dalam akuifer garam, yaitu formasi batuan bawah tanah yang jenuh dengan air asin. Sebuah wadah pemikir pemerintah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), memperkirakan akuifer garam di Indonesia dapat menyimpan hingga 600 miliar ton karbon dioksida. 

Indonesia memiliki posisi yang tepat untuk CCS, mengingat wilayahnya yang luas, kata Bill Sullivan, seorang pengacara berbasis di Jakarta yang berspesialisasi dalam hukum pertambangan dan lingkungan hidup. “Masalah sebenarnya”, katanya, adalah “teknologi dan biaya penggunaan teknologi tersebut, dan apakah hal tersebut menjadikannya sebuah proposisi yang layak”.

Secara umum ada dua jenis CCS. Jenis yang pertama, dikenal sebagai penangkapan sumber titik (point-source capture), adalah dimana asap yang dikeluarkan dari pabrik dan pembangkit listrik dialirkan langsung ke fasilitas tempat karbon dioksida dipisahkan dari gas lainnya. Yang kedua, dikenal sebagai penangkapan udara langsung, adalah ketika CO2 diambil langsung dari atmosfer dan disimpan di bawah tanah atau digunakan dalam berbagai aplikasi.

Kedua proses tersebut melibatkan pemberian tekanan pada karbon dioksida yang ditangkap menjadi bentuk cair untuk memudahkan transportasi. Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa biaya yang dibutuhkan antara US$80 (Rp1,2 juta) hingga US$150 (Rp2,3 juta) untuk setiap ton karbon dioksida yang ditangkap, diangkut, dan disimpan menggunakan penangkapan sumber titik. Penangkapan udara langsung bahkan lebih mahal, dengan biaya antara US$600 (Rp 9,2 juta) hingga US$1.000 (Rp15,5 juta) per ton.

Biaya Tinggi Menjadi Tidak Efisien

Terdapat 41 fasilitas CCS yang beroperasi di seluruh dunia dengan kapasitas penangkapan sebesar 49 juta ton CO2 per tahun, menurut Global CCS Institute. Sebaliknya, emisi CO2 global yang terkait dengan energi melebihi 36,8 miliar ton tahun lalu, menurut Badan Energi Internasional. Biaya yang mahal menjadi alasan mengapa para kritikus meragukan keefektifannya dan mengapa sebagian besar perusahaan enggan mengadopsi teknologi ini.

Sektor energi Indonesia, misalnya, mengeluarkan 600 juta ton CO2 pada tahun 2021, yang berarti pembangkit listrik di negara ini harus mengeluarkan miliaran dolar setiap tahunnya untuk menyimpan karbon yang mereka keluarkan.

Dr Belladonna mengatakan Indonesia berencana untuk membuat pusat CCS dengan sejumlah pabrik dapat berbagi fasilitas pengambilan sumber daya yang sama. “Keekonomiannya akan lebih murah karena beberapa perusahaan berbagi infrastruktur, fasilitas, biaya dan kewajiban yang sama,” ujarnya.

Saat ini ada dua lokasi potensial untuk hub CCS pertama di Indonesia, yaitu di Jawa dan Kalimantan, katanya. Studi kelayakan kedua lokasi tersebut masih terus dilakukan.

Mustahil Mengurangi Emisi Karbon

Mengadopsi teknologi CCS untuk mengurangi emisi karbon adalah hal yang mustahil, kata para analis, karena hal ini secara paradoks membantu perusahaan minyak meningkatkan produksi bahan bakar fosil mereka. “Industri bahan bakar fosil mencoba mengulur lebih banyak waktu dengan bantuan teknologi CCS dan terus memproduksi minyak dan gas,” kata Leonard Simanjuntak, Direktur Kelompok lingkungan hidup Greenpeace di Indonesia.

Ambisi Indonesia untuk menjadi pusat CCS regional muncul di tengah menurunnya produksi minyak. Produksi minyak tahunan Indonesia kini sekitar sepertiga dari produksi tiga dekade lalu, dan menjadi importir bersih pada awal tahun 2000-an. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), produksi minyak mencapai puncaknya pada 2,96 juta barel per hari pada tahun 1994. Produksi terus menurun. Tahun lalu, produksi minyak Indonesia sebesar 1,01 juta barel per hari .

Energi dalam jumlah besar juga diperlukan untuk menangkap, mengompres, mengangkut, dan menyuntikkan karbon dioksida. Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) mencatat “penalti energi” ini bisa sangat besar, sehingga meningkatkan kebutuhan bahan bakar untuk pembangkit listrik sebesar 13 hingga 44 persen. “Ini berarti lebih banyak karbon dioksida yang dikeluarkan dan perlu disimpan,” kata Leonard.

Kritikus juga menyebut CCS sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab, mengalihkan perhatian pemerintah dan mengalihkan investasi dari metode pengurangan emisi yang lebih murah dan lebih dapat diandalkan. “Banyak yang meragukan efektivitas CCS dalam mengurangi emisi karbon,” kata Putra Adhiguna dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis yang berbasis di AS.

Risiko terbesar dari CCS adalah mengalihkan perhatian masyarakat dari pilihan-pilihan yang lebih layak seperti peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan, menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara, atau mencegah deforestasi. Namun Dr Belladonna mengatakan CCS adalah satu-satunya solusi untuk sektor-sektor tertentu, jika Indonesia ingin mencapai targetnya menjadi net-zero pada tahun 2060.

“Ada sektor-sektor yang sulit untuk dikurangi, sulit untuk didekarbonisasi seperti semen, baja, metanol, pupuk dan petrokimia. Sekalipun mereka mencoba menyetrum kendaraannya atau mengganti bahan bakar, mereka tetap menghasilkan CO2,” katanya. “Untuk sektor-sektor ini, mereka membutuhkan CCS.”

Sumber Investasi atau ‘Sampah’ dari Luar Negeri?

CCS tampaknya tidak terjangkau oleh sebagian besar perusahaan di Indonesia karena biayanya yang tinggi. Tak heran para ahli mempertanyakan apakah rencana Indonesia benar-benar dapat membantu negara ini mencapai tujuan emisi nol bersihnya, atau malah memberikan manfaat bagi perusahaan asing.

Pemerintah sedang menyusun peraturan yang memungkinkan negara lain mengubur karbonnya di Indonesia. “Kami dapat melihatnya sebagai sumber pendapatan dimana Indonesia dapat memperoleh pendanaan iklim dari sektor tersebut, terutama dari negara-negara yang tidak memiliki hutan – mereka perlu menemukan cara untuk mengimbangi emisi yang mereka hasilkan ke negara lain,” kata Farah Vianda dari Institute for Essential Services Reform (IESR) yang berbasis di Jakarta.

Pakar keuangan berkelanjutan ini mengatakan Indonesia perlu membatasi jumlah penyimpanan karbon yang dialokasikan untuk pasar internasional, dan membiarkan sisanya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. “Kita tidak boleh mengorbankan kepentingan kita sendiri hanya karena kita membutuhkan uang,” katanya.

Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Hukum (CELIOS) menyoroti bahwa saat ini tidak ada insentif bagi bisnis lokal untuk menyimpan emisi karbon mereka. “Saat ini kami tidak memiliki rezim pajak karbon,” jelasnya.

Indonesia seharusnya memperkenalkan pajak pada tahun 2022 namun menunda penerapannya hingga tahun 2025, dengan alasan perlunya waktu untuk memastikan skema tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang ada. Berdasarkan skema yang diusulkan, perusahaan harus membayar Rp30.000 untuk setiap ton melebihi batas yang ditentukan, yang jauh lebih rendah dibandingkan biaya penyimpanan karbon. 

Diakui Dr Belladonna, sejauh ini baru negara asing dan perusahaan multinasional yang menyatakan minatnya menyimpan karbon di Indonesia. “Kami tidak memiliki infrastruktur (untuk melakukan CCS)… dan kami membutuhkan uang dan investasi untuk mencapai emisi nol bersih dan menghasilkan potensi pendapatan baru bagi Indonesia,” katanya.

“Kami belum memiliki pajak karbon atau insentif untuk memotivasi pemain dalam negeri. Solusinya adalah dengan membuka (terbuka) terhadap negara lain. Mereka punya motivasi karena mereka punya pajak karbon tapi tidak punya kapasitas penyimpanan.”

Seiring waktu, dia yakin perusahaan lokal akan tertarik, terutama jika inovasi semakin menurunkan biaya CCS. “Investor sudah mempertimbangkan apakah mereka dapat melakukan CCS atau tidak… karena mereka tidak ingin berkontribusi terhadap emisi global. Bank sudah mewajibkan perusahaan untuk menyerahkan laporan keberlanjutan dan portofolio emisi sebelum meminjamkan uang mereka. Konsumen juga menjadi lebih sadar lingkungan dan menuntut produk-produk net-zero,” kata Dr Belladonna.

Hanya saja, gagasan untuk mengizinkan negara lain menyimpan karbon mereka di Indonesia bisa menjadi kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia yang patriotik. “(Teknologi CCS) telah menimbulkan kekhawatiran bahwa negara-negara maju akan … membuang sampah mereka, dalam bentuk karbon, ke negara-negara berkembang seperti Indonesia,” kata Bhima kepada CNA.

Jika negara-negara maju juga berkomitmen untuk mengurangi emisi mereka, sudah seharusnya kebijakan mereka tidak boleh berbentuk CCS tetapi benar-benar mengurangi produksi polutan mereka. 

Back to top button