News

“Reforma Tanah” Buat Taipan: Bisnis “Raja Linglung” yang tak Kunjung Becus Diurus

Pemerintah berencana memutihkan lahan hutan seluas 3,3 juta hektare yang dirambah pengusaha sawit, sementara target reforma agraria sebesar 9 juta hektare belum lagi tercapai. Agar kedaulatan dan ketahanan pangan tercapai, tak elok petani dibiarkan miskin dengan rata-rata penguasaan lahan hanya setengah hektare.

Apa yang diprediksi sejak awal kelahiran Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, tak perlu berbilang dekade, kini terjadi. Di pekan terakhir Juni lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan memutihkan alias melegalkan 3,3 juta hektare lahan haram yang dipakai para pengusaha perkebunan sawit. Disebut haram alias illegal, karena tanah-tanah itu memang bukan diperuntukan untuk lahan sawit, misalnya justru menjadi wilayah hutan lindung.

“Mau kita apakan lagi? Masak mau kita mau copot (tanamannya)? Ya pakai logika saja, kita putihkan, terpaksa,” kata Luhut, menjawab pertanyaan wartawan usai konferensi pers soal itu di kantornya di Jakarta, Jumat (23/6/2023) lalu. Artinya, di Indonesia menjadi pengusaha itu identik dengan diperlakukan laiknya anak emas ‘Ibu Pertiwi’. Melahap tanah negara dengan semena-mena pun tak perlu takut dibui, karena akan segera dilupakan dan dimaklumi. Seperti biasa, alasan kedaruratanlah yang lagi-lagi menang.

Dan yang membantu mereka seolah jadi ‘The Untouchables’ itu tentu saja Undang-undang Cipta Kerja, terutama Pasal 110A dan 110B. Dalam wet yang kelahirannya disambut girang para pengusaha itu, dikatakan bahwa perusahaan yang kegiatan usahanya sudah terbangun di wilayah hutan produksi, bisa mengajukan pelepasan atau pemutihan. Korporasi bisa lenggang kangkung beroperasi setelah membayar denda administratif atau menyetor pajak sesuai aturan UU Cipta Kerja.

Soal data 3,3 juta hektare itu sendiri tampaknya juga mengagetkan pemerintah. Kepada wartawan Luhut mengakui Indonesia tidak memiliki data menyeluruh mengenai luas lahan kelapa sawit. Awalnya dia berasumsi luasnya hanya 14,4 juta hektare, namun setelah dilakukan audit, ditemukan ada sekitar 20,4 juta hektare lahan sawit.

“Setelah kita audit ternyata 20,4 juta hektare,” kata Luhut, saat memberikan sambutan peresmian perusahaan daur ulang sampah di Batam, bulan lalu. Tidak hanya itu, katanya, dari total luasan itu hanya 7,5 juta hektare yang membayar pajak.

Untuk itu Luhut meminta perusahaan kelapa sawit segera melapor ke pemerintah mengenai luas perkebunan hingga daftar perizinan, mulai 3 Juli hingga 3 Agustus 2023. “Sudah tahu dia maling, ya laporanlah! Gitu aja repot. Kita ingin menunjukkan pemerintah tegas soal ini,” kata Luhut.

Entah apa yang Luhut maksudkan dengan ‘tegas’ itu. Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, bagi Indonesia urusan sawit ini bukan masalah yang baru terjadi kemarin sore. Menurut Achmad, persoalan sawit dalam kawasan hutan merupakan problem yang sudah sejak lama mengakar di perkebunan.

Penyelesaiannya pun sudah dimulai sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah pun telah menghasilkan sejumlah kebijakan, misalnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2012, PP Nomor 104 Tahun 2015, Inpres Nomor 8 Tahun 2018, hingga terakhir melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja dan kebijakan turunannya.

Karena itu, bagi Achmad, pemutihan atau pengampunan yang akan dilakukan pemerintah justru bakal menimbulkan masalah baru. “Ini berpotensi membawa masalah,” kata Achmad kepada Inilah.com. “Karena undang-undang itu masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi, sehingga akan menyebabkan permasalahan baru,” imbuhnya.

Bagi dia, pengampunan bagi para pengusaha rakus tanah justru menjadi preseden buruk dalam upaya perbaikan tata kelola sawit. Hal tersebut, kata dia, jelas mengabaikan proses pidana, dengan hanya memberikan sanksi berupa denda administratif atas tindakan perambahan area hutan. “Artinya, rencana pemerintah melakukan shortcut itu menegaskan pemerintah sendiri tidak menghormati hukum yang berlaku.”

Padahal bukti selama ini, menurut Achmad, banyak penyelesaian kasus sawit dalam kawasan hutan melalui jalur hukum. Misalnya, kasus di Register 40, saat Mahkamah Agung memutuskan kebun sawit seluas 47.000 hektare hutan di Register 40 Padang Lawas, Sumatera Utara, disita oleh negara. Hal lain, pada kasus minyak goreng, Kejaksaan Agung telah menetapkan tiga grup besar sawit, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group, sebagai sebagai tersangka korporasi dalam kasus korupsi minyak goreng. “Itu menunjukkan bahwa jalur hukum masih sangat relevan untuk dilakukan dalam menangani kasus serupa,” ujar Achmad.

Sementara Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas mengaku tak terkejut dengan rencana dilakukannya kebijakan yang tidak bijak itu. Baginya, hal itu sudah sangat bisa diprediksi bahkan di saat UU Omnibus Law Cipta Kerja masih dalam proses rancangan undang-undang (RUU). “Maka sejak awal, kami menolak UU Cipta Kerja, karena sanksi pidana hilang, (dan pengusaha) cukup bayar denda. Transparansi pengelolaan denda juga tidak jelas, kebocoran dana denda itu juga sangat potensial,” kata Arie.

Tentang selesainya urusan hanya dengan bayar denda itu dikonfirmasi langsung Menko Marves Luhut Panjaitan. Kepada reporter Inilah.com yang mencegatnya usai menembakkan flare gun tanda dimulainya LPS Monas Half Marathon, Ahad (2/7/2023) pagi, Luhut menegaskan memang tak akan ada sanksi pidana pada para perampas tanah negara itu.

“Ndak! Ngapain pidana-pidana? Nanti ada kasusnya, nanti pengadilan (di)sogok-sogok lagi. Kalau kau tidak bayar pun sekarang diatur oleh pemerintah. Berapa per hektare, diambil pemerintah jadi PTP,” ucapnya. Luhut juga mengatakan, pengumuman dan pendaftaran perusahaan itu pun sekaligus sebuah self reporting. “Kalau Kau nggak report dalam waktu sebulan, (perusahaan sawit) kau itu (akan) kita ambil! Itu saja,” ujar Luhut.

Tanah Sawit
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan saat ditemui usai melepas LPS Monas Half Marathon, di Jakarta, Minggu (2/7/2023) pagi. [foto: Inilah.com/Rizki Aslendra]

Bagi Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Syahrul Fitra, pemutihan tersebut seolah menegaskan bahwa pemerintah tak lagi punya arti di hadapan pengusaha. “Sebelum adanya UU Cipta Kerja, (perambahan) itu sudah masuk kategori tindak pidana,” kata Syahrul.

Mengutip Undang-undang No 18 tahun 2013, menurut Syahrul, setiap orang yang dengan sengaja mengalihfungsikan hutan untuk kepentingan perkebunan, itu harus dipidana. Sayangnya, dengan bergantinya pemerintahan, Peraturan Pemerintah No 104 Tahun 2015, pemerintah memberikan waktu bagi perusahaan dalam waktu satu tahun untuk melengkapi dokumen perizinan mereka. Malangnya, UU Cipta Kerja, selain menambah waktu lagi mejadi tuga tahun dari 2020, juga hanya memberikan sanksi administrative bagi para pelaku perusakan dan penyerobotan tanah tersebut.

Senada dengan kerasnya pernyataan Syahrul, demikian pula Arie Rompas menilai pemerintah dalam hubungannya dengan para pengusaha besar di sektor sawit. “Itu menunjukkan tunduknya pemerintah pada kepentingan oligarki sawit,” kata Arie. “Kita lihat, upaya penegakan hukum tidak dilakukan.”

Tampaknya hanya Direktur Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara yang masih berbaik sangka dengan rencana pemerintah via Luhut tersebut. Bagi Marwan yang biasanya bersikap keras itu, dengan terdaftar berapa luas pasti dari kebun-kebun sawit pun, sudah bagus. “Kalau terdaftar jelas bisa dilacak. Dia (perusahaan sawit) bisa ketahuan produksinya berapa, dan ujungnya berpengaruh kepada penerimaan negara. Kalau dia produksi sekian, untung sekian, maka pajaknya harus sekian,” kata Marwan.

Namun, ia menegaskan transparansi sebagai harga mati. “Jangan ada lagi kongkalikong. Harus pula ada penegakan hukum, ketegasan dalam mendaftar. Harus ada sanksi yang tegas, kalau perlu sita lahan sawitnya, berikan kepada BUMN,” Marwan menjelaskan.

Minimalisnya harapan Marwan bisa dimengerti dari penjelasan Arie. Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace itu menyatakan, selama ini data perkebunan sawit memang tak jelas alias simpang siur. Data yang ada di Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, dan lain-lain, bisa tak sama meski menyoal data serupa. “Semua beda-beda, seharusnya difasilitasi one map policy, semua data ditarik dan dikumpulkan. Tetapi bagaimana mau dikumpulkan, tidak pernah terbuka, data ekspor saja pemerintah tidak punya, yang punya GPKI, justru yang punya korporasi,” kata Arie. Padahal, kata dia, “Ketika data salah, kebijakan juga ikut salah.”

Bagi Achmad Surambo, pemerintah tampaknya tak serius-serius amat memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia. Kebijakan memang banyak, tapi miskin implementasi. Contohnya, standar wajib sawit berkelanjutan Indonesia (ISPO) saja, menurut dia sampai sekarang tak sampai berjalan 50 persen. Ketidakseriusan pemerintah itu, kata dia, juga terlihat dari ketidakmampuan Indonesia menentukan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) padahal berada pada posisi produsen nomor satu dunia. Harga CPO justru ditentukan Malaysia dan Belanda. “Kalau saya menyimpulkan, seperti raja linglung, punya sawit luas, tidak punya pengaruh kuat,” kata Achmad.

Tanah Sawit
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. [foto: Mongabay]

Tanah untuk petani

Bisa jadi, murah hatinya pemerintah kepada para pengusaha sawot itu dilandasi kepercayaan bahwa (pengusaha) sawit telah memberi banyak pada bangsa ini. Paling tidak, asumsi itu sangat mungkin muncul mengingat Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mencatat bahwa Indonesia menempati urutan permana dengan jumlah produksi mencapai 45,5 juta ton pada 2022. Posisi itu berada di atas Malaysia dan Thailand yang memproduksi masing-masing sebesar 18,8 juta ton dan 3,26 juta ton pada 2022.

Meski sepanjang kuartal I 2023 ekspor sawit tercatat mengalami penurunan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor sawit tercatat sebesar US$5,92 miliar atau turun 11,34 persen dari kuartal I sebelumnya yang mencapai US$6,67 miliar. “Ini disebabkan menurunnya harga CPO di pasar global,” ujar Deputi Kemenko Perekonomian, Musdalifah, dalam diskusi CNBC Indonesia Special Dialogue, Senin (26/6/2023).

Tetapi sawit juga bukan tak membawa sejumlah masalah. Tidak hanya deforestasi yang massif, yang menurut Arie Rompas bahkan sampai menghancurkan wilayah konservasi yang ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage, banjir dan longsor, serta aneka masalah sosial yang dihadapi warga sekitar perkebunan, sekian banyak sisi muram pun dibawa perkebunan sawit.

“Dari 600 perusahaan antara 2001-2019, ada 25 besar grup perusahaan yang memiliki kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Mereka juga tercatat banyak terlibat konflik lahan dengan masyarakat,” cuit jurnalis Dandhy Dwi Laksono, yang saat ini tengah berkeliling Indonesia dalam sebuah ekspedisi, di Twitter, Sabtu (1/7/2023).

Tanah Sawit
Jurnalis Dandhy Dwi Laksono, yang saat ini tengah berkeliling Indonesia dalam sebuah ekspedisi. [foto: arsip]

Tidak hanya itu, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat pada periode 2015-2018, sedikitnya telah terjadi 1.771 letusan konflik agraria di Indonesia. Sebanyak 642 letusan konflik terjadi di sektor perkebunan yang melibatkan HGU-HGU perusahaan negara dan swasta.

Tidak hanya itu, laporan Transparancy International Indonesia (TII) belum lama ini juga memperlihatkan sektor sawit di Indonesia sebagai celah besar korupsi. Dalam kajian TII bertajuk ‘Transparency in Corporate Reporting (TRAC)’, yang menelisik sekitar 50 perusahaan sawit, skor rata-rata mereka hanya 3,5 dari angka maksimal 10. Artinya, perusahaan-perusahaan sawit tak cukup baik dalam mengungkapkan transparansi kegiatan perusahaan. Kasarnya, sawit identik dengan sarang korupsi.

Di sisi lain, kehidupan petani Indonesia senantiasa dicekik kemiskinan. Umumnya karena terbatasnya kepemilikan lahan, modal utama mereka mencari penghidupan. Menurut peneliti Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (INDEF), Imaduddin Abdullah, petani dengan kepemilikan lahan sekitar 0,5 hektare meningkat sejak 2003 hingga 2013. Secara rata-rata, kepemilikan lahan oleh petani di Indonesia hanya mencapai 0,8 hektare. Angka itu kalah jauh dibandingkan dengan Jepang , yang tercatat rata-rata 1,57 hektare, Korea Selatan 1,46 hektare, Filipina 2 hektare, dan Thailand 3,2 hektare. Wajar bila di Indonesia, para petani identik dengan kemiskinan.

Sementara, pada merekalah sesungguhnya kita berharap bisa berdaulat di sisi pangan. Bagaimanapun, tak layak sebuah negara merasa tenang di saat keperluan primernya, makanan, bergantung penuh kepada negara lain.

Namun bandingkan, manakala pemerintah gampang saja memutihkan 3,3 juta hectare lahan buat para pengusaha sawit, reforma agraria yang dijalankan pemerintah disebut-sebut ‘jalan di tempat’. Setidaknya, itulah penilaian anggota Ombudsman, Alamsyah Saragih, tiga tahun lalu. Pada Maret 2019, Alamsyah menilai kinerja reforma agraria pemerintah pada saat itu stagnan.

Satu-satunya pencapaian dalam periode itu, ujar Alamsyah, adalah soal sertifikasi lahan. Hanya saja, menurut dia, sertifikasi itu pun hingga kini masih mencakup wilayah yang sudah jelas menjadi hak warga negara. “Lahan yang clean and clear,” ujar dia.

Sejak 2014 sampai Desember 2021, Reforma Agraria hanya berhasil mendistribusikan kembali 1,4 juta hektare lahan. Jauh di bawah target sembilan juta hektare yang dicanangkan program tersebut. Sebagaimana diketahui, pada awal masa pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan komitmen reforma agraria sebagai program prioritas melalui reditribusi tanah 9 juta hektare. Luasan itu dibagi ke dalam 4,5 juta hektare redistribusi tanah, dan 4,5 juta hektare legalisasi tanah kepada petani dan rakyat kecil.

Jika bergulirnya waktu sejatinya untuk menyempurnakan masa lalu, seharusnya kita tak boleh kalah dengan Orde Baru. Di saat pemerintahan Presiden Soeharto itu, kita mengenal adanya Trilogi Pembangunan, sebagai koridor dan tujuan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.

Trilogi tersebut menegaskan keharusan untuk dicapainya 1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya; 2) pertumbuhan ekonomi yang tinggi; dan 3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Bila Orde Baru saja meletakkan pemerataan sebagai logos pertama dari Trilogi, pemerintahan saat ini dan ke depan pun seharusnya menjadikan pemerataan sebagai prioritas untuk mencapai tujuan nasional, yakni melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasar kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Itu dimulai dengan komitmen. Salah satunya dengan tidak memantik kecemburuan dengan begitu gampangnya memutihkan lahan yang diambil paksa, hanya karena mereka penuh kuasa. [Dsy/Vonita/Rizky]

Back to top button