News

Putusan Tunda Pemilu PN Jakpus Disorot, Motif Hakim Harus Diselidiki

Politikus Partai Gerindra Fadli Zon mempertanyakan hasil putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintah Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tunda gelaran Pemilu 2024.

Menurutnya, sanksi perdata umumnya cukup dilakukan dengan ganti rugi pihak tergugat, KPU kepada pihak penggugat, Partai Prima. Fadli menyatakan, PN Jakpus seharusnya hanya memerintahkan KPU untuk mengulang kembali proses verifikasi terhadap Partai Prima, bukan memerintahkan penundaan pemilu secara keseluruhan.

Ia juga mengingatkan bahwa tuntutan pihak Partai Prima yang menginginkan penundaan pemilu, sejatinya bukan ranah atau wewenang PN. Karenanya, Fadli mendesak motif putusan itu untuk diselidiki lebih lanjut.

“Sehingga harus diselidiki apa motif mereka membuat putusan hukum soal penundaan pemilu tersebut. Putusan itu bukan hanya telah mengacaukan jangkauan hukum perdata, tapi juga bisa mengacaukan hukum tata negara,” ujar Fadli melalui keterangan tertulisnya, dikutip Minggu (5/3/2023).

Fadli menegaskan putusan tersebut telah menodai integritas hakim, utamanya majelis hakim PN Jakpus. Karena sudah berani melawan konstitusi. “Khususnya Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegasnya.

Sebelumnya, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Noory Okhtariza meyakini ada kelompok terorganisir dan sistematis yang menggunakan pengadilan untuk membawa isu penundaan Pemilu 2024.

Ia menegaskan, semakin mendekati tahun politik, kelompok ini akan semakin gencar memunculkan sejumlah isu sebagai komoditas. Yang nantinya, sambung dia akan menjadi dinamika yang berujung jadi nilai tawar oleh pihak yang memainkan isu ini. “Untuk apa? Untuk political bargain. Dan itu sepertinya terjadi. Sekali disetop munculin isu baru, sekali disetop munculin isu baru,” tuturnya.

Diketahui, dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, majelis hakim mengabulkan gugatan Partai Prima terhadap KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 dan melaksanakan tahapan pemilu dari awal selama kurang lebih 2 tahun 4 bulan 7 hari.

“Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal selama lebih kurang 2 tahun 4 bulan 7 hari,” demikian bunyi putusan Nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai oleh Hakim Oyong memerintahkan KPU untuk tidak melanjutkan sisa tahapan Pemilu 2024 guna memulihkan dan menciptakan keadaan adil serta melindungi agar sedini mungkin tidak terjadi lagi kejadian-kejadian lain akibat kesalahan, ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakprofesionalan, dan ketidakadilan KPU sebagai pihak tergugat.

Back to top button