News

Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu Berpotensi Ciptakan Kekacauan

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menghentikan pelaksanaan tahapan Pemilu 2024 dan memulainya dari awal dinilai melebihi kekuasaan atau kewenangan yang diizinkan oleh hukum (ultra vires) dan berpotensi menciptakan kekacauan ketatanegaraan.

Hal tersebut disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (3/3/2023).

“Sehingga konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat ‘null and void’ atau bersifat ‘van rechtswege nietig/null end void’, sehingga tidak dapat dieksekusi,” ujar Fahri Bachmid.

Menurut Fahri Bachmid, hal tersebut menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini, yang mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi dua jenis, yaitu Pelanggaran dan Sengketa.

Lebih lanjut Fahri mengungkapkan, pelanggaran di dalam UU Pemilu sendiri terbagi menjadi tiga jenis, yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik, dan Pelanggaran Pidana. Sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi dua, yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.

“Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa ‘dispute’ baik pelanggaran maupun sengketa,” ungkapnya.

Secara spesifik, lanjut dia, UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepada Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkmah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Lebih jauh Fahri Bachmid berpendapat bahwa penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.

Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik caton Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU lhbupaten/Kota.

Ketentuan ayat (2) mengatur: Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.

“Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh PN Jakpus ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan PN Jakpus, sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai ‘never existed’ oleh karena hakim mengokupasi kewenagan kekuasaan lembaga peradilan lain,” terangnya.

Fahri Bachmid kembali menekankan bahwa putusan pengadilan ini jika diterapkan maka konsekuensinya sangat serius, yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan, yang mana kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya, sebab Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional.

“Sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilanksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan, ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional, ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal, itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini,” bebernya menjelaskan.

Selanjutnya menurut Fahri Bachmid, idealnya putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa perdata oleh pengadilan negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan, sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter ‘contentiosa’.

Artinya, sambung Fahri Bachmid, putusan PMH itu tidak bersifat ‘ergo omnes’ yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umumnya melaksanakan kewenagan publik.

“Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik,” tutup Fahri Bachmid menegaskan.

Back to top button