News

PPATK Temukan 53 Transaksi Hasil Kejahatan Lingkungan, Bagaimana Rinciannya?

Aliran dana hasil kejahatan bidang lingkungan terendus Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan mencatat 53 laporan dalam periode 2022-2023.

Untuk rinciannya, aksi kejahatan di sektor Green Financial Crime (GFC) yang memiliki unsur tindak pidana asalnya mencakup perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar (TSL), pertambangan, kehutanan, kelautan dan perikanan, lingkungan hidup, dan perpajakan.

Kejahatan di sektor perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa liar tercatat 11 hasil analisis tahun 2022, dan 5 hasil analisis tahun 2023 per 31 Mei.

Kemudian di bidang pertambangan terdapat 7 hasil analisis dan 1 hasil pemeriksaan 1 tahun 2022, dan 3 hasil analisis tahun 2023. Selanjutnya, bidang kehutanan terdapat 7 hasil analisis dan 1 hasil pemeriksaan tahun 2022, dan 1 hasil analisis tahun 2023.

Untuk bidang lingkungan hidup tercatat 6 hasil analisis tahun 2022, dan 1 hasil analisis tahun 2023. Lalu, bidang perpajakan terdapat 5 hasil analisis dan 1 hasil pemeriksaan tahun 2023. Bidang kelautan dan perikanan sebanyak 1 hasil analisis tahun 2022, dan 2 hasil analisis tahun 2023.

Direktur Analisis dan Pemeriksaan 1 PPATK, Beren Rukur Ginting, mengungkapkan dari 53 laporan tersebut nilai transaksinya sangat fantastis yakni sekitar Rp20 triliun.

“Ini kalau sebanyak 53 itu, nah ini kan sekarang kalau kita dari analisa transaksi keseluruhan yang kita lihat-lihat tidak kurang dari Rp20 triliun, tetapi angka itu kalau di kita belum tentu tindak pidana,” kata Beren seperti dikutip dari hasil diskusi media PPATK di Bogor, Selasa (27/6/2023).

Adapun dari 53 laporan berkaitan dengan perizinan, penguasaan lahan secara melawan hukum, dan penambangan ilegal.

“Ini garis besar isinya bisa terkait dengan perizinan, pertambangan tanpa izin, penguasaan lahan secara melawan hukum, penambangan ilegal,” katanya.

Namun di samping itu, PPATK menduga dalam kasus kejahatan di sektor pertambangan terdapat pihak yang memanfaatkan warga lokal untuk terlibat secara tidak langsung, sehingga pemerintah pun terpaksa memberikan kelonggaran bagi masyarakat lokal karena berkaitan dengan keperluan ekonomi.

“Jadi penambangan ilegal ini ada semacam pemanfaatan massa. Itu kadang pemerintah itu ketika dia warga lokal, menambang-nambang begitu karena kepentingan ekonomi ya dibiarkan untuk tetap jalan, tapi untuk kebutuhan hidup,” jelasnya.

Back to top button