Market

Potensi Kerugian Negara dari Penjualan Kondensat Tanpa Tender Seret SKK Migas, Pakar: Usut Tuntas


Terkait temuan Center of Energy and Resources Indonesia (CERI)  tentang dugaan penjualan tanpa tender kondensat bagian negara oleh Medco Energi Bengkanai Limited (MEBL), perlu ditelusuri sampai tuntas. Untuk membongkar dugaan kerugian negara. 

“Oh iya, setuju. Medco (MEBL) selaku produsen kondensat milik negara perlu diperiksa. Apakah benar menjual tanpa lewat tender. Syukur kalau ada datanya. Berapa volumenya yang dijual, berapa harga acuannya. Saya kira harus dibongkar,” kata Pakar Migas, Kurtubi. Jakarta, Selasa (27/2/2024).

Potensi adanya permainan di bisnis migas yang berujung kepada kerugian negara, kata Kurtubi, cukup besar. Pemicunya adalah UU No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas). Di mana, Menteri ESDM atau SKK Migas ditunjuk sebagai pemegang kuasa pertambangan.

“Asal tahu saja, UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas adalah endorced IMF. di sinilah awal kerusakannya. Setahun setelah diberlakukan, saya menolak dan mengusulkan agar UU Migas dicabut. Karena berpotensi merugikan negara. Sekarang betul terjadi kan,” papar alumni Institut Perminyakan Prancis (IFP).

Misalnya, ketika investor migas tertarik untuk berinvestasi di Indonesia, mereka harus meneken kontrak kerja sama dengan menteri ESDM atau SKK Migas. Di sinilah muncul potensi kerugian negara.

Dalam hal ini, lanjut mantan Anggota Komisi VII DPR asal Partai NasDem itu, pemerintah yang diwakili menteri ESDM maupun SKK Migas yang sebelumnya bernama BP Migas, tidak eligible untuk berbisnis. Ketika minyak dihasilkan, bisa langsung dijual. Setelah dikurangi cost recovery, hasil penjualan minyak itu dibagi kepada pemerintah dan investor. Biasanya 85 persen pemerintah, sisanya investor. Sedangkan bagi hasil untuk gas: 70 persen pemerintah, 30 persen investor. 

“Namun beda jika muncul gas atau kondensat, kan tidak bisa langsung dijual. Tapi diproses dulu. Karena pemerintah atau SKK migas tidak boleh berbisnis, maka ditunjuklah investor untuk menjualnya.  Nah, di sinilah rawan permainan. Termasuk temuan CERI, saya kira bagus sekali datanya itu,” papar alumni Sekolah Pertambangan Colorado (CSM) Amerika Serikat.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman mengungkapkan adanya potensi kerugian negara dari penjualan kondensat yang menjadi bagian negara, oleh PT Medco E&P Indonesia di KKKS Medco Energi Bengkanai Limited (MEBL), Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah.

“Medco E&P tidak tegas dalam menjawab konfirmasi CERI. Namun setelah CERI melalukan konfirmasi resmi ke staf bagian komersial SKK Migas, ternyata kondensat bagian negara tidak ditenderkan Medco Energy Bengkanai sejak 2018 hingga 2024. Pembelinya PT Yasa Karya dengan harga patokan kondensat Senipah dikurangi 37,57 dolar AS per barel,” kata Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, Jakarta, Senin (26/2/2024).

Padahal;, kata Yusri, ada perusahaan migas yang berani membeli dengan harga yang lebih bagus, yakni harga patokan kondensat Senipah dikurangi US$35/barel.

Misalnya, harga patokan kondensat Senipah sebesar US$50/barel, maka harga jual ke PT Yasa Karya sebesar US$12,43. “Tapi ada perusahaan yang berani faktor pengurangnya (minus) lebih rendah yakni sebesar US$35 per barel. Jadi, kondensat negara bisa dijual 15 dolar AS. Selisihnya lebih dari  2 dolar AS per barel. Nah ini kan potensi kerugian negara,” terang Yusri.

Adanya perusahaan migas yang berani mengajukan harga yang lebih menguntungkan negara ini, kata Yusri, diketahuinya pada awal Oktober 2023. Perusahaan tersebut telah mengajukan penawaran kepada Deputi Keuangan dan Komersial SKK Migas, namun tidak ditanggapi.

“Artinya penjualan kondensat bagian negara tanpa tender, diduga merugikan negara 2,57 dolar per barel. Totalnya tinggal dikalikan saja volume kondensat bagian negara yang telah dijual MEBL kepada PT Kimia Yasa. Tugas BPK lakukan audit. Dan tugas KPK serta Kejaksaan Agung untuk menelisiknya,” ungkap Yusri.

Masalah ini, kata Yusri, pernah ditanyakan kepada pihak PT Medco E&P Indonesia, melalui Manager Communication Medco, Leony Lervyn Saragi melalui surat Nomor EXT-010/RNS/INA/MEDC/II/2024 tertanggal 15 Februari 2024. Pihak Medco mengeklaim seluruh prosesnya telah memenuhi dan sesuai peraturan dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku.

Back to top button