Market

Pinjol Ilegal Tak Pernah Mati, Pertanda Kemiskinan Masih Tinggi

Pinjol Ilegal Tak Pernah Mati, Pertanda Kemiskinan Masih Tinggi

Ilustrasi Jerat Pinjol. (Desain:Inilah.com)

Salah satu ciri negara didera masalah kemiskinan akut adalah maraknya aplikasi pinjaman online (pinjol) ilegal. Banyak orang miskin ‘terbantu’, karena mudah dan cepat mendapatkan utang. Tak peduli bunga selangit dan berbagai potongan.

Meski sudah banyak korban, pinjol ilegal tetap saja banyak peminatnya. Di Indonesia, sudah puluhan yang ‘dimatikan’ Kominfo, besoknya muncul ratusan yang baru.

Yang paling update, sebut saja K, seorang pegawai honorer yang bunuh diri karena tersangkut utang dari pinjol AdaKami. Utangnya Rp9,4 juta namun harus bayar Rp18 juta-Rp19 juta.

Karena tak mampu bayar, K diteror habis-habisan. diduga dilakukan debt collector AdaKami. Termasuk teror pesan makanan palsu yang membuatnya malu. Sampai akhirnya K memilih untuk bunuh diri. Setelah ditinggal pergi istri dan anaknya.

Asal tahu saja, platform pinjol AdaKami dioperasikan PT Pembiayaan Digital Indonesia, berbadan hukum dan mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Yang legal saja makan korban, apalagi yang ilegal.

Data Center for Financial and Digital Literacy (CFDL) menyebutkan, sedikitnya 4.000 pinjol ilegal telah ditutup, namun besoknya muncul puluhan bahkan ratusan pinjol tak berizin baru. Kalau dikalkulasikan sebulan, atau setahun, ya bisa ribuan juga. “Mau tahu jumlah pinjol yang berizin atau legal? Palingan tak lebih dari 100 perusahaan,” kata Rahman Mangusarra, Jakarta, Kamis (21/9/2023).

Lalu kenapa pertumbuhan pinjol ilegal lebih ‘satset’ ketimbang yang legal? Namanya ilegal, tentunya operasionalnya melawan aturan. Bahasa kerennya, pinjol ilegal leluasa menjalankan predatory lending. Misalnya, tidak ada aturan bunga, serta penetapan bea administrasi tinggi.

Ketika warga berpenghasilan rendah perlu dana cepat, kredit dari pinjol ilegal menjadi pilihan utama. Setelah mencari utangan ke-mana-mana tak ada hasil. Sesuai hukum ekonomi sederhanya yaitu supply and demand.

Intinya, pasar untuk pinjol ilegal tetap ada. Bahkan tak pernah sepi. Sehingga, agak sulit bagi Kemkominfo atau OJK, memberantas pinjol ilegal. Karena itu tadi, kuatnya kemiskinan di Indonesia.

Namun demikian, Daeng Rahman, sapaan akrab pendiri CFDL itu, mencoba mengurai secara teknikal. Begitu suburnya pinjol ilegal di Indonesia. “Pertama, teknologi digital yang ada, memungkin siapa saja bisa membuat aplikasi dengan gampang, lalu memasarkannya lewat media sosial dengan cepat dan menjangkau banyak orang seketika,” kata dia.

Kedua, lanjutnya, harus diakui, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih rendah. Di tengah inklusi keuangan yang sudah jauh di depan. Berdasarkan survei OJK pada 2022, tingkat literasi keuangan masyarakat belum genap 50 persen. “Sementara inklusi keuangannya sudah lebih dari 85 persen,” kata Rahman.

Ketiga, lanjut Rahman, jika dilakukan perbandingan antara pinjol legal dengan ilegal, maka yang terakhir punya keungulan. Di mana, masyarakat lebih mudah mengakses serta mendapatkan pinjaman dari pinjol ilegal.

Pola-pola pinjol ilegal ini, kata Rahman, tak beda dengan praktik rentenir yang begitu diminati masyarakat, ketimbng lembaga keuangan formal.

“Karena lintah darat mudah diketok pintunya. Banyak pengakuan masyarakat mengungkapkan bahwa ketika mereka terdesak kebutuhan, pinjol ilegal bisa mencairkan pinjaman dalam hitungan jam,” paparnya.

Topik

Komentar

BERITA TERKAIT

Back to top button