Market

Pilihlah Aset-Aset Bersifat ‘Safe Haven’ Saat Menyongsong Resesi

Selasa, 01 Nov 2022 – 21:37 WIB

Pilihlah Aset-Aset Bersifat ‘Safe Haven’ Saat Menyongsong Resesi - inilah.com

(Foto: Humas Didimax)

Analis menyarankan para investor untuk memilih aset-aset bersifat ‘safe haven’ saat menyongsong resesi. Instrumen safe haven adalah aset yang risiko fluktuasi nilainya rendah jika dihadapkan dengan situasi ekonomi yang tidak stabil.

“Ada baiknya pilih aset trading yang bersifat safe haven seperti, logam mulia dan forex. Emas dan perak dikenal memiliki nilai yang lebih aman di tengah kondisi pasar global yang dinamis,” kata Reza Aswin, Senior Fundamental Analyst Didimax dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (1/11/2022).

Logam mulia dinilai sangat menguntungkan karena tahan terhadap inflasi, memiliki likuiditas tinggi, dan memiliki nilai yang universal. Sementara dolar AS masih menjadi patokan untuk mengukur valuasi di pasar finansial dan mata uang cadangan di banyak negara.

“Meski perekonomian global dihantui resesi dan melonjaknya inflasi seiring dengan berlangsungnya perang Rusia dan Ukraina, Trading Forex online Didimax nyatanya masih menjadi pilihan terbaik untuk tetap cuan,” papar dia.

Walaupun kondisi pasar di tengah ketidakpastian, penting bagi trader untuk memiliki portofolio trading yang terdiversifikasi agar meminimalisir risiko tak terduga. “Di Didimax, terdapat berbagai pilihan aset safe haven yang dapat Anda perdagangkan,” ucapnya.

Sebagai pelopor perdagangan pasar berjangka di Indonesia, Didimax sudah terjamin legalitasnya di bawah pengawasan Bappebti dan Kementerian Perdagangan Republik Indonesia.

Pilihlah Aset-Aset Bersifat ‘Safe Haven’ Saat Menyongsong Resesi - inilah.com
Reza Aswin, Senior Fundamental Analyst Didimax (Foto: Humas Didimax)

 Temukan Peluang di Tengah Resesi

Lebih jauh ia menjelaskan terkait apa yang terjadi di pasar. Berawal dari pandemic COVID-19 di tahun 2020 membuat terjadinya penguncian di seluruh negara di dunia. Dampak dari penguncian yang terjadi tentunya adalah perlambatan ekonomi global yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Permintaan pun turun dan pertumbuhan ekonomi di banyak negara maju berada di daerah negatif, termasuk Amerika Serikat.

Untuk mengatasi hal tersebut, bank sentral di seluruh dunia mulai melakukan intervensi besar-besaran dengan cara menurunkan suku bunga dan melakukan program stimulus ultra longgar, untuk memulihkan ekonomi di negaranya.

Keadaan ini tentunya mempunya efek terhadap angka inflasi global ditambah lagi adanya perang di Eropa Timur yang melibatkan salah satu negara penghasil minyak dunia terbesar, yaitu Rusia. Gangguan rantai pasokan, harga minyak dunia yang tinggi serta banyaknya uang beredar menyebabkan ekonomi global mengalami tekanan angka inflasi yang berlebih atau hyperinflation.

Dalam teori ekonomi di mana saat angka inflasi meningkat, pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Tetapi, saat ini yang terjadi adalah angka inflasi meningkat tetapi pertumbuhan ekonomi terlihat melambat atau yang dikenal dengan stagflasi.

Keberadaan ini tentunya membuat data ekonomi setiap negara maju termasuk Amerika Serikat mengalami pelemahan yang signifikan. Pada saat yang sama, indikator ekonomi mulai menunjukan akan terjadinya resesi dalam beberapa waktu ke depan.

Signal akan terjadinya resesi global terlihat dari adanya kurva imbal hasil terbalik atau inverted curve yields negara Amerika Serikat. Imbal hasil obligasi jangka pendek Amerika Serikat lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan imbal hasil obligasi jangka panjangnya.

Walaupun tidak selalu kurva ini menunjukan terjadinya resesi tetapi banyak pengamat ekonomi mempercayai bahwa kurva imbal hasil terbalik obligasi Amerika Serikat ini akan membawa negara tersebut ke dalam resesi. Setidaknya, dalam 14-17 bulan ke depan dari awal terjadinya inverted curve yields.

Setidaknya juga pada pertengahan sampai akhir tahun 2023 Amerika Serikat akan mengalami resesi atau perlambatan ekonomi alias pertumbuhan ekonomi negatif. Paling tidak, dalam 2 kuartal ke depan.

Sedangkan untuk Indonesia, sampai saat ini masih menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih berada pada area positif yaitu 3,72% pada kuartal kedua dari sebelumnya yang sempat -0,95%.

Data pengangguran menurun dari 6,49% menjadi 5,83% pada bulan lalu serta cadangan devisa Indonesia naik menjadi US$407 juta dari US$385 juta dan Penjualan retail meningkat dari -3,1% menjadi 0,8%.

Sejumlah data itu menunjukan bahwa Indonesia sampai saat ini masih mampu bertahan dari keadaan ekonomi global yang mulai melemah. “Untuk ke depannya keadaan ini tentunya akan terpengaruh sangat signifikan apabila di tahun depan terjadi resesi global,” tuturnya.

Pasalnya, itu akan sangat mempengaruhi angka export dan import Indonesia. “Karena itu, kebijakan moneter dan fiskal Indonesia ke depannya akan sangat menentukan apakah Indonesia akan terseret ke dalam resesi atau justru menjadi negara paling aman bagi para investor di dunia, karena pertumbuhan ekonomi yang sangat stabil,” imbuhnya.

Back to top button