News

Pesan Tunarungu ke Risma: Bicara Oke Tapi Memaksa No

Juru Bahasa Isyarat Surya Sahetapy menyesalkan sikap pemaksaan yang dilakukan oleh Menteri Sosial Tri Rismaharini kepada seorang penyadang tuli untuk berbicara. Baginya menginginkan penyadang tuli untuk berbicara bisa dimaklumi namun memaksa untuk berbicara sangat tidak relevan.

“Bahasa isyarat oke, bicara oke tapi memaksa sih no,” kata Surya kepada Inilah.com, Jumat (3/12/2021).

Menurutnya memang banyak ragam komunikasi namun bukan berarti penyadang tuli harus dipaksa untuk menyesuaikan seperti orang normal non pengguna bahasa isyarat.

“Percuma kalau bisa bicara tapi sulit menyimak percakapan orang dengar. Jadi kenapa bahasa isyarat penting bagi kita semua. Jadi disabilitas bukan karena saya tidak mendengar tetapi pola pikir sempit seseorang yang menyebabkan kami disabilitas,” tutupnya.

Sebelumnya Mensos Risma memaksa penyandang disabilitas tunarunggu untuk bicara. Aksinya mengundang kontroversi. Berawal saat peringatan Hari Diasabilitas International 2021 yang digelar pada Rabu (1/12/2021) di gedung Aneka Bhakti Kemensos.

Dikutip dari kanal YouTube Kemensos RI, Menteri Risma berada di panggung bersama penyandang disabilitas rungu-wicara dan autisme, bernama Anfield Wibowo.

Anfield yang memiliki bakat melukis membawa lukisannya ke atas panggung. Anfield lantas memegang mikrofon dan mencoba berbicara. “Apa? Yang mau disampaikan ke Ibu apa?” tanya Risma.

Kemudian, Anfield memegang kertas dan mencoba berbicara. Seorang juru bicara bahasa isyarat membantu Anfield menyampaikan isi hatinya. “Selamat siang, Ibu dan Bapak, hadirin sekalian di sini. Semoga Ibu Menteri suka dengan lukisan Anfield. Terima kasih.”

Risma lalu mengajak seorang penyandang disabilitas tunarungu wicara bernama Aldi naik ke panggung. Risma lalu memaksa Aldi bicara dengan terus menyorongkan mikrofon.

“Aldi, ini Ibu. Kamu sekarang harus bicara, kamu bisa bicara. Ibu paksa kamu untuk bicara. Ibu nanam… eh melukis, tadi melukis pohon, ini pohon kehidupan. Nah, Aldi, Ibu ingin sampaikan, kamu punya di dalam, apa namanya, pikiranmu, kamu harus sampaikan ke Ibu, apa pikiranmu. Kamu sekarang, Ibu minta bicara, nggak pakai alat. Kamu bisa bicara,” ucap Risma.

Aldi sempat mengaluarkan suara namun sangat lirih. Risma pun terus membujuk Aldi. Bahkan memegang mikrofon mendekati Aldi. Sambil mengeja apa yang diucapkan Aldi dengan terbata-bata.

Lalu seorang pemuda berbaju hitam dengan tas selempang, bernama Stefanus, perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) naik ke panggung. Stefanus berbicara menggunakan bahasa isyarat yang diterjemahkan langsung oleh juru bicara bahasa isyarat.
“Ibu, mohon maaf, saya mau berbicara dengan Ibu sebelumnya,” ucap Stefanus.

“Bahwasanya anak tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar tapi tidak untuk kemudian dipaksa bicara. Tadi saya sangat kaget ketika Ibu memberikan pernyataan. Mohon maaf, Bu, apa saya salah?” imbuhnya.

“Nggak, nggak,” jawab Risma.

“Saya ingin menyampaikan bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami, bahasa isyarat itu adalah seperti mata bagi kami, mungkin seperti alat bantu dengar. Kalau alat bantu dengar itu bisa mendengarkan suara, tapi kalau suaranya tidak jelas itu tidak akan bisa terdengar juga,” kata Stefanus.

“Stefan, Ibu tidak… Ibu tidak mengurangi bahasa isyarat, tapi kamu tahu, Tuhan itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita. Yang ingin Ibu ajarkan kepada kalian, terutama anak-anak yang dia menggunakan alat bantu dengar sebetulnya tidak mesti dia bisa, sebetulnya tidak mesti bisu. Jadi karena itu kenapa Ibu paksa kalian untuk bicara? Ibu paksa memang, supaya kita bisa memaksimalkan pemberian Tuhan kepada kita, mulut, mata, telinga. Jadi Ibu tidak melarang menggunakan bahasa isyarat, tapi kalau kamu bisa bicara, maka itu akan lebih baik lagi,” kata Risma.

Willi Nafie

Jurnalis, setia melakukan perkara yang kecil untuk temukan hal yang besar
Back to top button