Market

Perkara Kartel Minyak Goreng di KPPU, Begini Pendapat Ahli

Ahli menilai kecil atau bahkan tidak mungkin bisa terjadi kesepakatan kartel di antara pelaku usaha crude palm oil (CPO). Sebab, model bisnis di industri sawit dan minyak goreng berbeda-beda. Di antara mereka, ada pula yang mengunakan pasokan minyak sawit mentahnya untuk biodiesel.

Ahli di bidang industri sawit, Rio Christiawan mengungkapkan hal saat memberi keterangan dalam sidang perkara dugaan kartel minyak goreng yang diselenggarakan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara daring, Kamis (23/2/2023).

“Di industri, model bisnis itu beda-beda. Ada yang bisnisnya hanya di upstream, artinya perkebunan dan pabrik kelapa sawit. Produknya adalah tandan buah segar yang diolah jadi CPO,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat (24/2/2023).

Ada yang hanya di downstream atau di hilir, sambung dia, yaitu refinery atau pengolahan CPO menjadi produk turunannya seperti minyak goreng, margarin, sabun, dan lain-lain. “Dia tidak punya kebun,” tukasnya.

Ada juga yang terintegrasi upstream dan downstream, refinery-nya dipasok oleh perkebunan milik grup sendiri. Namun, menurutnya, hal ini belum tentu bisa memenuhi seluruh kebutuhan downstream-nya.

“Terutama bila lini downstream (refinery) kapasitasnya lebih besar dibandingkan dengan kapasitas lini upstream atau kebunnya,” ungkap Rio yang juga ahli hukum bisnis.

Dengan model bisnis yang beda-beda seperti itu, kepentingan antara pelaku usaha juga  berbeda sehingga sangat kecil atau bahkan tidak mungkin bisa terjadi kartel. “Tujuan kartel itu kan kepentingan bersama, sedangkan ini kepentingannya beda-beda,” sambung Rio.

Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan minyak goreng kemasan (Terlapor) melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Antimonopoli).

Para Terlapor dituduh membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.

Menurut pengajar di Universitas 17 Agustus 1945 ini, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi pada 2021-2022 bukan atas kesepakatan antara pelaku usaha, tetapi merupakan respons bersama yang rasional menyikapi kenaikan harga CPO sebagai bahan baku utama minyak goreng.

Hal ini juga dapat dilihat pada produk turunan CPO selain minyak goreng yang juga mengalami kenaikan harga akibat kenaikan harga CPO, seperti mentega. Misalnya mentega putih dari harga Rp19 ribu di tahun 2020, naik menjadi Rp24 ribu di tahun 2021.

Begitu pula untuk mentega ekspor naik dari harga Rp20 ribu di tahun 2020 menjadi Rp36 ribu di tahun 2021.

“Perumpamaannya, di tempat olahraga orang pasti akan ramai-ramai berjualan air minum dan di pemakaman orang banyak berjualan kembang untuk ziarah. Itu adalah pilihan bersama yang rasional, bukan berarti mereka bersepakat,” jelas Rio.

Terkait dengan kelangkaan minyak goreng yang terjadi tahun lalu, Rio menyebut kebijakan pemerintah yang menjadi pemicunya. Peraturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) yang diikuti dengan domestic market obligation (DMO) atau domestic price obligation (DPO) justru tidak tepat dan menimbulkann kelangkaan.

Apalagi, dia menegaskan, kebijakan yang dikeluarkan berubah-ubah dalam waktu yang singkat. “Saya mencatat dalam dua bulan ada empat kebijakan yang diambil,” tuturnya.

Karena itu, jika dirata-rata tiap dua minggu ada peraturan baru. Pertama, soal subsidi menggunakan dana BPDPKS. Kemudian, soal penggantian selisih harga ke produsen atau rafaksi yang proses reimbursement-nya sampai sekarang belum jelas dan menimbulkan dispute.

“Selanjutnya, muncul kebijakan HET untuk tiga jenis minyak goreng. Belakangan, kebijakan ini dikoreksi dan hanya minyak curah yang diatur harganya,” beber Rio.

Dalam konsep economic analysis of law, sambung Rio, kebijakan pemerintah sangat penting karena menjadi basis untuk membuat pilihan-pilihan bisnis yang rasional dan legal bagi pelaku usaha. “Kalau tiap minggu ganti kebijakan, kapan melakukan analisanya,” timpal dia.

Lebih lanjut Rio menjelaskan, kebijakan HET saat itu tidak tepat karena tidak menggunakan harga acuan CPO di pasar domestik maupun internasional. HET yang ditetapkan pemerintah jauh di bawah harga acuan.

Sementara, di lain sisi, pasokan bahan baku untuk minyak goreng semakin sulit selain karena produksi yang turun akibat pandemi, juga karena meningkatnya pasokan CPO untuk  biodiesel.

“Kebijakan HET telah memberikan dampak yang berbeda kepada pelaku usaha sehingga mereka juga harus mengambil pilihan-pilihan rasional yang berbeda,” ucapnya.

Bagi pelaku usaha downstream dan tidak punya kebun, atau usaha upstream-downstream tapi pasokan kebunnya tidak mencukupi, mereka terpaksa membeli CPO dari pihak ketiga dengan harga tinggi. Namun, bagi pelaku usaha upstream atau perusahaan terintegrasi yang pasokan kebunnya berlebih, dia akan memilih ekspor atau menjual CPO-nya untuk kebutuhan biodiesel karena harganya lebih tinggi dibandingkan harga jual CPO untuk minyak goreng.

“Jadi, ketika dihadapkan kebijakan minyak goreng dan biodiesel, secara rasional pelaku usaha akan lebih memilih memasok CPO untuk biodiesel,” imbuh Rio.

Back to top button