News

Peran Besar Pengusaha Pribumi dalam Politik Indonesia

Kritik bahwa golongan pengusaha Indonesia tumbuh dalam asuhan pemerintah tidak sepenuhnya tepat. Golongan pengusaha di negara lain, di Jepang dan Korea misalnya, juga tumbuh dengan dorongan pemerintah yang punya kewajiban membangun perekonomian negara. Setelah reformasi 1998, bermunculan pengusaha daerah yang aktif melakukan filantropi sosial.

Andai saja faktor sejarah penindasan kolonial lebih dipertimbangkan, bisa jadi ‘kekecewaan’ Yoshihara Kunio dan alm. Yahya Muhaimin tentang sifat, watak, dan akhirnya keberadaan para pengusaha Indonesia, tidak akan sedalam yang bisa kita baca dari buku-buku mereka.

Bila Kunio dalam “The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia” menyebut para pengusaha di wilayah itu—dalam fokus kita tentu Indonesia—sebagai ‘kapitalis semu’, Yahya Muhaimin pun dalam “Indonesia Economic Policy, 1950-1980: The Politics of Client Businessmen”, yang diterjemahkan menjadi “Bisnis dan Politik”, mencap pengusaha kita tak lebih dari “pengusaha klien” (client business-men). Dalam terma yang lebih menusuk, sebuah majalah berita pernah mengistilahkannya dengan “pengusaha komprador”.

Sebenarnya, tidak fair juga bila faktor sejarah yang terbukti berdampak sangat signifikan itu tidak benar-benar dipertimbangkan. Pribumi, atau Bumiputra dalam undang-undang kolonial Belanda tahun 1854, hanya dihargai sebagai warga negara kelas tiga alias kelas kambing. Selama menjajah, Belanda membangun rezim segregasi (pemisahan) rasial tiga tingkat. Kelas pertama adalah “Europeanen” (“Eropa” kulit putih) dan pribumi Kristen/Katolik, misalnya tentara KNIL dari Ambon. Kelas dua adalah “Vreemde Oosterlingen” (“Timur Asing”) yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lain. Baru setelah itu kaum “Inlander”, yakni “pribumi”. Artinya, sebagai warga kelas tiga, pribumi tidak pernah mendapatkan prioritas. Di sisi ekonomi, tak pernah ada upaya pemerintah kolonial untuk mengentaskan kesejahteraan mereka.

Diskriminasi dan ketidakadilan itulah yang kemudian memicu perlawanan. Jauh sebelum Boedi Oetomo berdiri, para usahawan pribumi di bawah pimpinan Haji Samanhudi menyatukan kekuatan dengan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta, 16 Oktober 1905. Tujuannya jelas, menggalang kerja sama antara pedagang Islam demi memajukan kesejahteraan pedagang Islam-pribumi dan menghadirkan keadilan dalam perekonomian dari dominasi pedagang-pedagang etnik Tionghoa.

Pada kongres di Solo, setahun kemudian, nama organisasi Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam. Keanggotaan organisasi pun tidak lagi terbatas pada golongan pedagang, namun terbuka bagi seluruh umat Islam di Indonesia, hingga merambah bidang sosial, politik, dan pemerintahan.

Bukan sistem ‘asli’ Indonesia

Dengan memahami sejarah, kita mengerti mengapa para pengusaha Indonesia umumnya—memakai sinisme Kunio-Yahya Muhaimin—adalah pengusaha klien, golongan kapitalis semu, atau pengusaha komprador pemerintah. Itu juga tak bisa dilepaskan dari gelora nasionalisme yang membuncah, terutama di awal-awal era pasca-kemerdekaan. Dan itu, tidak hanya terjadi di Indonesia.

Menurut pengajar di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bakrie, Asmiati Malik, PhD, eratnya hubungan pengusaha dan penguasa itu bahkan tumbuh subur di negara-negara yang menganut paham demokrasi, baik itu di Amerika Serikat bahkan di Inggris. “Padahal, itu negara-negara yang notabene menganut konsep demokrasi, yang menjadi rujukan banyak negara,”kata Asmiati dalam artikel populernya di sebuah situs berita.

Itu pula yang terjadi di Jepang pasca-Restorasi Meiji 1868. Untuk mengejar ketertinggalan dari Barat, pemerintah berkepentingan membangun jajaran pengusaha pribumi yang tangguh melalui berbagai program bantuan dan kemitraan. Dari situlah kemudian lahir kalangan pengusaha yang disebut Zaibatsu, yang terbukti membawa Jepang sebagai negara maju. Empat puak terbesar dalam Zaibatsu Jepang yang sebagian masih bertahan hingga saa ini adalah Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo dan Yasuda yang perannya mulai pudar.

Begitu pula di Korea Selatan, yang saat ini menjadi negara maju. Bila di Jepang dikenal dengan Zaibatsu, di Korea muncul kaum Chaebol, yakni grup keluarga pengusaha yang mendominasi perekonomian Korea Selatan, seperti Samsung, Daewoo, POSCO, SK Group, Hyundai, Hanwa, LG Group, dan masih banyak lagi. Perusahaan-perusahaan itu menguasai hampir semua cabang usaha di Korea Selatan, mulai dari bisnis roti sampai bisnis air minum.

“Dominasi para Chaebol tidak lepas dari pola hubungan bisnis-politik yang sudah dibentuk di bawah pemerintahan presiden pertama Korea Selatan, Syngman Rhee,”tulis Asmiati. Presiden Rhee memberikan kesempatan pada Chung Ju-Yung untuk membangun Hyundai, yang belakangan menjadi tulang punggung kemajuan ekonomi Korea Selatan.

Karena itu apa yang dilakukan pemerintah Indonesia di awal 1950-an, dengan mengusung Program Benteng, bukanlah perbuatan anomali di dunia. Dengan kondisi perekonomian yang carut-marut pasca-kemerdekaan, defisit keuangan yang menggila, utang luar negeri yang tinggi (tercatat sekitar Rp 1,5 triliun dalam nilai saat itu), apalagi diperparah dengan tertinggalnya para pengusaha pribumi dibanding kaum non-pribumi seperti pengusaha Eropa, Arab, dan Cina, posisi pemerintah Indonesia berada di tubir jurang. Bagaimana mungkin pemerintah saat itu membiarkan pasar di segala bidang dan tingkatan dikuasai para pengusaha non-pribumi, sementara loyalitas mereka kepada negara yang baru merdeka itu belum terbukti?  Artinya, pemerintah perlu membangun sebuah kelas pengusaha pribumi baru, agar terjadi keseimbangan di pasar dan membuat gairah usaha di masyarakat tumbuh.

Inti Program Benteng adalah memprioritaskan agar kegiatan impor hanya dapat dilakukan khusus oleh pribumi, baik perorangan maupun perusahaan. Program tersebut lebih dikuatkan lewat Sistem Ekonomi Ali-Baba, yang merupakan fase ke-2 dari Program Benteng. Pada sistem ini, PM Ali Sastroamidjojo mengambil langkah lebih tegas. Jika pada awal tahun 1953 para importir pribumi hanya menerima 37,9 persen dari total ekspor-impor, pada bulan ke-14 kabinet Ali, mereka telah menerima 80-90 persen. “Jumlah importir pribumi juga meningkat pesat. Kelompok Benteng yang berjumlah 700 perusahaan pada awal Kabinet, hingga bulan November 1954 jumlahnya telah meningkat sampai  4000-5000 perusahaan,” tulis sejarawan Bondan Kanumoyoso, dalam “Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia”.  Istilah Ali Baba sendiri berasal dari kata Ali (untuk pengusaha pribumi) dan Baba (pengusaha non-pribumi), yang terikat dalam kerja sama.

Sayangnya, Sistem Ekonomi Ali Baba dianggap gagal. Pasalnya, kebijakan itu belakangan tak bisa menghindari sifat koruptif, yakni malah menciptakan kelompok makelar lisensi semata. Sistem ini secara resmi dihentikan tahun 1957.

Namun Program Benteng dan Sistem Ali Baba tidak sepenuhnya gagal. Sistem ini belakangan terbukti menghasilkan para pengusaha tangguh. Misalnya, William Soerjadjaja yang kemudian mendirikan Astra, Hasjim Ning, TD. Pardede, R. Rudjito, Sidi Tando, Agus Musin Dasaad, Soedarpo Sastrosatomo, Murdono, dan beberapa nama lainnya.

Anak Murdono adalah Soebronto Laras, yang kita kenal sebagai presiden komisaris PT Indomobil, mitra lokal Suzuki di Indonesia. “Saat itu semua mobil diimpor. Misalnya kalau bicara mobil asal Amerika Serikat, pastilah Pak Hasjim Ning yang membawa merek Cadillac, Ford, GM, Chevrolet, dan Chrysler. Nah, waktu itu ayah saya, Murdono, karena pendatang baru hanya kebagian mobil Prancis dan mengimpor Citroen,” kata Soebronto, pada 2021 lalu.

Kiprah pengusaha pribumi sejak Orde Baru

Ada pemeo bahwa setiap rejim akan punya money maker-nya sendiri. Setelah Orde Lama jatuh, pemerintahan Soeharto pun membangun jaringan pengusaha, termasuk jajaran pengusaha pribumi demi memajukan perekonomian negeri.

Langkah itu dilakukan secara sistematis dengan membuat aturan pengadaan barang dan  jasa. Satu aturan penting itu adalah Keppres No.14/1979 yang kemudian diperbarui dengan Keppres No.10/1980 dan Keppres No. 14A/1980. “Dengan kontrol atas pengadaan pemerintah, Presiden Soeharto berhasil menggalang dukungan yang  lebih besar, terutama dari pengusaha pribumi,” tulis peneliti Australian National University, Danang Widoyoko, dalam “Politik, Patronase dan Pengadaan”, yang dimuat dalam jurnal Integritas, volume 4 Nomor 2, Desember 2018.

Organ praksis Soeharto saat itu, menurut Prof. Vedi R. Hadiz dari University of Melbourne, Australia, adalah kelompok Sekretariat Negara (Setneg) yang terus mendorong partisipasi lebih besar dari pengusaha pribumi dalam perekonomian Indonesia. Kelompok ini berkeinginan mengurangi dominasi konglomerat Tionghoa dalam perekonomian Indonesia dengan memunculkan pengusaha-pengusaha besar pribumi. Karena Presiden Soeharto ingin memperluas basis sosial pendukungnya, tidak hanya tentara dan konglomerat Tionghoa, ia memberikan kewenangan besar kepada Setneg dalam pengadaan pemerintah.

Baik Prof Vedi, Robison maupun Prof Jeffrey A. Winters dari Northwestern University, AS, meyakini bahwa munculnya kelompok Setneg itu merupakan awal dari munculnya oligarki di Indonesia, yang tumbuh dan dibesarkan Orde Baru, dan bertahan hingga mendominasi ekonomi politik Indonesia pasca-Orde Baru.

Beberapa nama pengusaha besar pribumi Indonesia seperti Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Siswono Yudhohusodo, Tommy Soeharto (Humpuss), Arifin Panigoro (Medco), bahkan Chaerul Tanjung (CT), adalah para konglomerat yang mendapatkan dukungan dari Sekretariat Negara, yang kemudian bukan hanya mampu bertahan, tetapi menjadi oligarki yang dominan dalam politik Indonesia. Sukses mereka tergolong fenomenal, dengan tiga di antaranya, Aburizal, Arifin dan CT, bahkan masuk ke dalam 50 orang terkaya versi Majalah Forbes. Tahun 2023 ini CT bahkan berada di urutan ke-7, dengan kekayaan 4,9 miliar dollar AS.

Beberapa nama pengusaha itu bukan hanya dikenal karena kaya, tetapi karena mereka pun para filantropis, seperti misalnya Kalla, Arifin, CT, Aburizal, dan sebagainya, yang tak jarang merogoh dana pribadi mereka untuk kegiatan sosial, olahraga dan kemanusiaan. Di masa hidupnya, Arifin,  misalnya, dikenal seorang dermawan yang sering mendukung pergelaran seni budaya dan olahraga, termasuk sepakbola.

Tetapi tak jarang muncul pernyataan kritis. Dengan penduduk yang mayoritas Muslim, daftar 10 orang terkaya di Indonesia hanya diisi seorang pengusaha Muslim, Chairul Tanjung. Pada 2018 lalu pun, hanya ada empat pengusaha Muslim yang masuk dalam daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, yaitu Chairul Tanjung, Garilbaldi Thohir, Aksa Muhammad, dan Abdul Raysid.

Karena itu, dalam politik pun kiprah pengusaha Muslim kurang terasa dibandingkan pengusaha non-Muslim, meski mereka lebih memilih bermain di belakang layar. Nama pengusaha besar pengusaha Muslim yang terlibat aktif dalam politik boleh dibilang kurang dari jumlah jari di kedua tangan. Mereka adalah Chairul Tanjung, yang sempat menjadi Menko Perekonomian pada akhir kabinet SBY. Ada pula Sandiaga Uno yang kini berada di kabinet Jokowi, Politisi Partai Golkar Aksa Mahmud, Oesman Sapta Odang yang memimpin partai kecil, Hanura. Prestasi tertinggi pengusaha Muslim di pentas politik sampai saat ini dipegang Jusuf Kalla, yang pernah menjabat wakil presiden dalam dua periode berbeda.

Pengusaha berjiwa filantropis dari daerah

Desentralisasi yang dibawa Reformasi telah membuat wajah konglomerasi bisnis di Indonesia berubah. Kalangan pengusaha besar kini tak hanya didominasi wajah-wajah Jakarta. Menurut Edward Aspinall, professor dari Australian National University (ANU) dalam “A Nation in Fragments. Patronage and Neoliberalism in Contemporary Indonesia”, pasca-Orde Baru klientelisme masih saja terjadi. Namun setelah itu terjadi desentralisasi klientelisme tersebut.

Desentralisasi itulah yang membuat para pengusaha besar setelah reformasi tidak harus tumbuh dari pusat pertumbuhan, Jakarta, melainkan bisa juga dari daerah-daerah kaya sumber daya alam.

Kompas.com pernah menulis adanya tujuh orang terkaya Indonesia pemilik bisnis batu bara dan perkebunan.  Mereka muncul setelah bergulirnya Reformasi yang membawa keberkahan untuk warga dan pengusaha daerah. Nama-nama seperti Theodore Permadi Rachmat, Garibaldi (Boy) Thohir, Low Tuck Kwong—orang paling kaya di Indonesia saat ini–, Peter Sondakh, Kiki Barki, Edwin Soeryadjaya, juga Arini Saraswaty Subianto, yang semuanya tercatat dalam daftar orang terkaya Indonesia.

Banyak pula pengusaha daerah yang kekayaannya menyamai pengusaha besar nasional. Salah satu nama yang kerap terdengar adalah Andi Syamsuddin Arsyad yang lebih dikenal dengan nama Haji Isam. Figur ini terkenal low profile dan menghindari sorotan media. Buktikan saja sendiri dengan melakukan pencarian di dunia maya. Dijamin, tak akan ada satu pun tulisan yang muncul sebagai hasil wawancara dengannya. Tulisan tentang sang tokoh banyak. Tapi semuanya tanpa konfirmasi langsung Haji Isam.

Kedermawanan Haji Isam tak sedikit bikin orang geleng-geleng terkagum-kagum. Sebagai Muslim yang umumnya akan menyembunyikan rapat-rapat sedekah yang dilakukannya, tentunya hanya yang mustahil ia tutupilah yang keluar dan menjadi bahan tulisan di media massa.

Misalnya, melalui Johnlin Group, Haji Isam selama 2022-2023 telah memberangkatkan 870 warga Tanah Bumbu untuk melakukan umroh ke Tanah Suci. Itu di luar 250-an orang guru yang juga ia ‘’umrohkan” di tahun 2022. Sementara untuk sekolah yang pernah menjadi bagian kehidupannya, SMPN 1 Mentawe, sang taipan merogoh kocek dan memberikan bantuan Rp 1,5 miliar.

Kurang puas dengan itu, melalui yayasannya, Haji Isam Foundation, pada 2022 lalu sang dermawan mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqah wajibnya (ZIS) sebesar Rp 250 miliar.

Peduli dengan nasib para pekerja sektor informal, antara lain para nelayan, pedagang kaki lima, fakir miskin dan guru mengaji, melalui CSR grup usahanya, Johnlin, Haji Isam pun memberikan 1.400 paket program BPJS Ketenagakerjaan pada 2022 lalu.

Jelas bukan dermawan jenis medioker, Haji Isam pun membangun sebuah masjid megah di Jalan Kodeco, Kecamatan Simpang Empat, Tanah Bumbu. Masjid bernuansa arsitektur Timur Tengah, dipadu ornamen khas Kalimantan Selatan yang berdiri di tanah seluas 1,6 hektare  itu dinamakan Masjid Al-fallah. Saking luasnya, lahan parkir masjid ini mampu menampung ratusan mobil, dengan sebuah kolam ikan besar di halamannya.

Prihatin dengan kondisi kabupatennya yang butuh rumah sakit berkapasitas 400 pasien rawat inap namun belum juga terwujud, Haji Isam pun membangun Marina Permata Hospital di Tanah Bumbu. Rumah sakit besar berstandar internasional itu berdiri setinggi tiga lantai di area seluas 10.000 meter persegi, itu pun baru tahap awal.

Untuk menggembirakan sesama warga Batu Licin, pada 2022 lalu Haji Isam pun menggelar “Batu Licin Festival”, sebuah pesta rakyat super besar. Tercatat tak kurang dari 70-an ribu orang hadir bergembira Bersama. Untuk suksesnya acara, Haji Isam mengumpulkan 500 pedagang kaki lima dan UMKM. Mereka diberi tenda gratis untuk mendukung usaha.  [Tim INILAH]

Back to top button