Market

Pengamat: 4 Masalah Pupuk Bersubsidi Gagal Diselesaikan Era Jokowi


Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori menyebut, tambahan subsidi pupuk Rp14 triliun pada tahun ini, bak obat pereda nyeri. Rasa sakitnya hilang, namun penyakitnya tetap saja nempel. 

“Iya betul, nyerinya hilang tapi penyakitnya tidak sembuh. Karena apa? Tidak menyentuh akar dan jantung masalah pupuk bersubsidi,” kata Khudori saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (6/1/2024).

Kata dia, ada 4 masalah krusial terkait masalah pupuk bersubsidi yang sulit didapatkan petani. Pertama, skema subsidi seharusnya berbentuk subsidi gas kepada produsen pupuk.

“Bukan seperti saat ini, subsidi langsung kepada petani. Jika ini disebut sebagai skema atau kebijakan untuk petani, sebenarnya tidak tepat alias kamuflase,” terang Khudori.

Kedua, lanjutnya, subsidi diberikan berbasikan anggaran. Bukan berdasarkan volume pupuk yang dihitung sesuai kebutuhan petani. Di sisi lain, biaya produksi pupuk amat tergantung pada harga gas dan nilai tukar (kurs) rupiah.

“Ketika harga gas tinggi dan nilai kurs rupiah tertekan, anggaran yang akan akan mendapatkan volume pupuk lebih kecil,” kata dia.

Jika perubahan dilakukan saat anggaran berjalan, dan perubahannya berlangsung beberapa kali, maka pelaksana di hilir yakni Kementerian Pertanian (Kementan) selaku penentu kebutuhan pupuk dan petani penerima subsidi, serta PT Pupuk Indonesia (Persero) selaku penyedia serta pendistribusi pupuk, bakal pusing tujuh keliling.

Ketiga, papar Khudori, ada banyak regulasi yang mengatur pupuk bersubsidi. Mulai dari UU, PP, Perpres hingga peraturan menteri. Yang satu sama lainnya tidak sinkron, bahkan saling tumpang tindih.

“Terutama dalam menentukan petani yang berhak mendapat pupuk bersubsidi. Perlu ada harmonisasi regulasi ini agar jelas siapa yang berhak menerima subsidi. Idealnya, semua petani berhak menerima subsidi. Tidak perlu dibatasi luas lahannya, tidak perlu dibatasi komoditasnya,” kata Khudori.

Keempat, kata dia, akses pupuk bersubsidi dipermudah, seperti akses BBM bersusbidi, atau LPG bersubsidi. Ketika warga mengakses BBM subsidi, tidak ditanya motor atau mobil, punya siapa? Siapa pengendara, berapa kapasitas mesin kendaraan dan seterusnya dan seterusnya. “Asal bayar, selesai. Mestinya, petani dilayani semudah itu,” pungkasnya.
 

Back to top button