News

Peneliti Inggris: Kelaparan Jadi Senjata Senyap Israel di Jalur Gaza


Peneliti Inggris, Alexander William Lowndes de Waal, menyebut bahwa krisis pangan dan bencana kelaparan yang diciptakan Israel saat ini di Jalur Gaza adalah sesuatu yang belum pernah ia temui sebelumnya. 

Pria yang menjabat sebagai Direktur Eksekutif World Peace Foundation di Universitas Tufts, AS, ini diketahui sudah bertahun-tahun meneliti dan menulis tentang krisis pangan dan bencana kelaparan di seluruh dunia.

Pada Senin (18/3/2024), Inisiatif Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu, atau Integrated Food Security Phase Classification (IPC), mengeluarkan laporan baru yang memperingatkan bahwa kelaparan kini ‘sedang terjadi’ di Gaza, dengan 1,1 juta –atau setengah populasinya– menghadapi tingkat kelaparan yang sangat parah.

Laporan tersebut menunjukkan bahwa situasinya telah memburuk secara signifikan sejak penilaian terakhir pada Desember 2023. Dan, jika Israel melanjutkan strategi mematikannya, jumlah orang yang mengalami kondisi tersebut akan meningkat dua kali lipat pada Juli mendatang.

“Saya tidak bisa membayangkan kejadian yang bisa secepat ini,” kata De Waal dalam wawancara dengan Anadolu Agency terkait situasi di Gaza, di mana Israel telah membunuh lebih dari 31.600 warga Palestina sejak 7 Oktober 2023 dan menyebabkan jutaan lainnya ke jurang kelaparan.

Dalam enam bulan terakhir, serangan Israel telah menyebabkan 85 persen penduduk Gaza mengungsi dan kekurangan makanan, air, obat-obatan, serta kebutuhan hidup lainnya.

Angka terbaru menunjukkan hampir 30 warga Palestina, termasuk anak-anak, meninggal dunia karena kekurangan gizi dan dehidrasi.

Menurut De Waal, kelaparan massal biasanya merupakan ‘proses yang lambat’ dan membutuhkan ‘waktu lama’, terutama di wilayah di mana terdapat produksi pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Di Gaza, Israel telah menerapkan taktik kelaparan massal di (wilayah) yang sangat terkonsentrasi secara geografis… dan dengan cara yang sangat cepat, luar biasa cepatnya,” dia menjelaskan.

Menurut data pada akhir November atau awal Desember 2023, kurang dari satu persen anak-anak di Gaza menderita gizi buruk akut yang parah.

“Tapi, hanya dalam kurun dua bulan, lebih dari separuh populasi Gaza diturunkan ke status darurat atau lebih buruk lagi, dan sepengetahuan saya, hal ini belum pernah terjadi pada kecepatan seperti itu,” kata De Waal.

Israel melancarkan serangan militer mematikan di Gaza sejak serangan lintas batas yang dilakukan kelompok Hamas Palestina pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan hampir 1.200 orang.

Lebih dari 31.600 warga Palestina –sebagian besar perempuan dan anak-anak– sejak saat itu telah tewas di daerah kantong tersebut, dan hampir 73.700 orang lainnya luka-luka di tengah kehancuran massal dan kelangkaan kebutuhan bahan pokok.

Perang Israel telah memaksa 85 persen penduduk Gaza menjadi pengungsi di tengah blokade yang melumpuhkan terhadap sebagian besar makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur daerah itu telah rusak atau hancur, menurut PBB.

Badan PBB yang mengurusi anak-anak, UNICEF, mengatakan 13.000 anak terbunuh akibat serangan Israel di Gaza. Adapun banyak anak yang bertahan hidup mengalami malnutrisi akut dan ‘bahkan tidak memiliki tenaga untuk menangis’.

Kelaparan sebagai senjata

Menyatakan suatu daerah dilanda kelaparan adalah proses teknis dan bisa terhambat oleh akses terhadap data dan kendala politik, kata De Waal.

Di negara-negara seperti Ethiopia, Nigeria, dan Yaman, terlihat bahwa pihak berwenang tidak ingin mendeklarasikan kelaparan terjadi di sana dan menghalangi akses terhadap data, kata dia.

“Saya yakin, Israel akan sangat mirip… Mereka (Israel) tidak menginginkan deklarasi kelaparan,” ujar De Waal.

Pihak berwenang Israel mungkin mengeluarkan argumen dengan menyatakan ‘metode analisisnya tidak benar-benar teliti’, dan itu mungkin ada benarnya, kata dia.

“Akan tetapi hal ini tidak boleh mengaburkan fakta bahwa meskipun tidak ada cukup data untuk menyatakan kelaparan, terdapat bukti yang sangat besar mengenai bencana yang sedang terjadi,” ujarnya.

Poin kuncinya, menurut De Waal, adalah ‘tindakan mempergunakan kelaparan bukan berarti orang-orang harus mati’.

“Yang perlu Anda lakukan untuk bertanggung jawab adalah dengan mencabut hak mereka.
Jadi, meski tidak ada kelaparan, bukan berarti kelaparan tidak digunakan sebagai senjata,” katanya.

Tindakan Netanyahu dan Al-Assad mirip

De Waal mengatakan ada beberapa contoh konflik di masa lalu di mana kelaparan digunakan sebagai senjata, salah satunya adalah di Suriah.

“Tindakan Pemerintahan (Benjamin) Netanyahu dan tindakan Pemerintahan (Bashar) Al-Assad sangat mirip,” kata dia.

Perbedaannya adalah Israel melakukannya dalam skala yang lebih besar dan cepat.

Di tempat-tempat lain seperti Yamah dan wilayah Tigray di Ethiopia, De Waal menunjukkan bahwa ‘keduanya sangat berbeda karena populasinya jauh lebih besar dan juga perdesaan, tersebar di wilayah yang jauh lebih luas’.

Ia juga menekankan bencana kelaparan di Gaza akan berdampak generasi ke generasi bagi warga Palestina.

“Saat populasi –khususnya anak-anak– berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan, Anda tidak bisa membalikkan begitu saja. Jadi, pembunuhan mungkin berhenti, tetapi kematian akan terus berlanjut,” katanya.

Belum lagi, rekonstruksi agar Gaza dapat dihuni kembali akan membutuhkan upaya yang besar dan waktu yang lama.

“Anak dalam kandungan atau anak kecil yang terpapar secara fisik akan tumbuh tanpa kemampuan fisik yang utuh. Mereka akan menjadi lebih pendek, tidak akan mempunyai kemampuan mental, mereka tidak akan berkembang sepenuhnya.

“Jadi akan ada dampaknya pada generasi berikutnya, bahkan mungkin dua generasi,” kata De Waal.

Contohnya, ada penelitian yang dilakukan terhadap penyintas bencana kelaparan musim dingin di Belanda pada 1944 dan 1945 yang menunjukkan betapa anak-anak yang masih sangat kecil saat ini lebih pendek dibandingkan kakak dan adiknya.

“Mereka tidak memiliki kualitas pendidikan yang sama,” kata De Waal.

Trauma psikologis juga tentunya akan terus berlanjut dari generasi ke generasi, tambahnya.

“Itu karena, kekerasan yang terjadi jelas sangat traumatis, namun kelaparan juga merupakan hal psikologis yang sangat traumatis,” lanjut De Waal. [Anadolu Agency]

 

.

 

 

 

Back to top button