News

PDIP dan Riuh Gugatan Sistem Pemilu di MK

Riuh mengiringi langkah Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan gugatan uji materi terkait  Pasal 168 ayat (2)  mengenai sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Jika MK mengabulkan gugatan ini, sistem pemungutan suara dalam Pemilu 2024 diubah menjadi sistem proporsional tertutup sehingga pemilih mencoblos logo partai, bukan lagi nama calon legislatif (caleg).

Salah satu penggugat mengenai ketentuan sistem proporsional terbuka disebut-sebut merupakan pengurus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Demas Brian Wicaksono. Selain Demas, tercatat lima lainnya sebagai penggugat yaitu Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.

Demas Brian Wicaksono selaku kader PDIP tampak paling menonjol di antara nama penggugat lainnya. Sebab, PDIP saat ini merupakan partai penguasa pemerintahan yang notebene pemenang Pemilu 2019. Terlebih, pemilu dengan sistem proporsional tertutup merupakan keputusan Kongres V PDIP pada 2019 dan rekomendasi  Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDIP 2020.

Anggota DPR Fraksi PDIP Deddy Sitorus membeberkan alasan partainya dalam beberapa tahun terakhir ingin sistem pemilu di Tanah Air kembali ke proporsional tertutup atau mencoblos gambar partai. Menurut dia, hal ini menyangkut kualitas dari calon anggota legislatif (caleg) itu sendiri yang nantinya duduk di kursi legislatif.

“Kalau tertutup itu, bagusnya partai bisa melakukan kaderisasi, mendistribusikan calegnya di setiap dapil, sambil memikirkan konfigurasi caleg terpilih untuk mengisi komisi-komisi yang terkait sehingga caleg yang dihasilkan itu bisa berperan maksimal di komisi sesuai bidang-bidangnya,” kata Deddy kepada Inilah.com, dikutip Mingggu (4/6/2023).

Dia mengakui partai tempatnya bernaung memang mendukung apabila MK dalam putusannya mengabulkan gugatan uji materi mengenai ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, ia mengeklaim, PDIP bukan yang menginisiasi uji materi tersebut. Dengan kata lain, Deddy menampik, Demas Brian Wicaksono mewakili PDIP saat mewakili gugatan.

“Dia tidak mewakili institusi PDIP, individu itu. Itu kan hak warga negara, masa kita larang-larang,” kata Deddy.

Deddy pun mengakui PDIP kini dipandang sebagai salah satu pihak yang memicu terjadinya polemik mengenai sistem pemilu. Otomatis, hal ini menyudutkan partai berlambang banteng moncong putih ini.

Sekretaris Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres PDIP ini kembali mengeklaim partainya tidak memiliki niat membawa hasil konsolidasi partainya pada Kongres V 2019 dan Rakernas tahun 2020 mengenai  sistem pemilu proporsional tertutup ke MK.

“Enggak ada niat kita, ngapain cari-cari masalah kita mau siap-siap pileg, pilpres. Kita juga dirugikan dengan keributan ini, banyak caleg kita milih gak maju yang potensial, kekacauan itu terjadi. Jadi ngapain repot-repot,” sambung Deddy.

Bila dikaitkan dengan situasi terkini, proses sidang uji materi ketentuan sistem pemilu proporsional terbuka yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memasuki babak akhir. Pasalnya, MK tak lama lagi bakal menjatuhkan putusan. Suara imbauan maupun dorongan agar MK tak mengabulkan gugatan uji materi yang terlontar dari masyarakat sipil maupun sejumlah partai politik (parpol) pun kian kencang. Setidaknya ada delapan partai yang menolak sistem proporsional tertutup, yaitu, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP.

Namun, dalam pandangan Deddy, sikap delapan parpol itu diduga hanya lips service semata demi mendapatkan dukungan dari publik yang menolak pemilu proporsional tertutup.

“Partai-partai itu sebenarnya banyak yang mau, saya tahu partai-partai besar itu juga mau tertutup. Tapi mereka enggak mau bersuara sesuai hati nurani, maunya mendapat persepsi sebagai partai yang populis, tapi nanti kalau tertutup, mereka juga hore-hore di belakang, kan munafik,” ujar Deddy

Terlepas dari berbagai polemik yang terjadi dan penolakan dari banyak pihak, PDIP tetap teguh mereka akan mendukung bila MK akhirnya memutuskan pemilihan anggota legislatif di Pemilu 2024 menggunakan sistem proporsional tertutup.

Deddy melanjutkan, hal itu tidak terlepas dari realita yang ada di DPR saat ini. PDIP, menurut dia, sudah lelah melihat anggota dewan yang terpilih memiliki rutinitas hanya datang ke rapat tanpa memberikan pandangan, tidak pernah berkomunikasi dengan rakyat, bahkan tidak pernah berbicara dengan media. Hal ini dinilai imbas negatif penerapan sistem proporsional terbuka.

“Kita mau maksimal, kan tugas legislator membuat undang-undang, budgeting, pengawasan dan di dalam pekejaan itu dibagi dalam bidang-bidang komisi dengan mitra masing-masing. Kan enggak lucu, kalau misalnya tiba-tiba kita taruh orang yang berpengalaman pemerintahan masuk komisi terkait BUMN kan enggak nyambung atau terkait komisi keuangan. Atau dia latar belakangnya sarjana agama, tapi masuk ke komisi keuangan, komisi XI, belajarnya butuh berapa tahun,” sambung Deddy.

Sebaliknya, Deddy menyebut, partainya akan legawa jika, MK memutuskan pemilihan anggota legislatif di Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka atau mencoblos nama caleg.

Sementara, politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno mengungkapkan, partainya tidak memberi instruksi menyangkut polemik gugatan ketentuan sistem pemilu yang bergulir di MK.

“Tidak ada istruksi, itu spontanitas. Iya masa kita mengatur pihak-pihak yang punya kepentingan,” kata Hendrawan.

MK Tuai Sorotan

Sejatinya, sorotan terkait gugatan uji materi mengenai ketentutan sistem pemilu proporsional terbuka yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tak hanya kepada pihak penggugat. Namun, sorotan tajam juga diarahkan kepada MK. Pasalnya, evaluasi mengenai sistem pemilu dinilai seharusnya tidak ditangani MK, tetapi oleh DPR.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafiz mengatakan, jika MK memutuskan hal itu artinya menutup peluang diskusi untuk mengevaluasi sistem pemilu yang sudah diterapkan di Indonesia.

“Misalnya ada satu sistem pemilu yang dianggap konstitusional. Ini bisa ditafsirkan juga bahwa sistem-sistem pemilu lainnya tidak konstitusional. Dan akhirnya tidak memiliki peluang untuk dibahas juga di dalam diskursus-diskursus sistem pemilu yang ada di Indonesia. Padahal kita sendiri sebetulnya kan ingin agar tentu kita mendukung bahwa harus ada evaluasi sistem Pemilu yang sudah kita terapkan,” ujar Kahfi belum lama ini di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Dengan begitu, kata Kahfi menegaskan, evaluasi menyangkut sistem pemilu sepatutnya dilakukan oleh DPR, bukan MK.

“Pembahasannya di forum legislasi, pembahasannya antara para pembentuk undang-undang. Karena kita tidak melihat isu konstitusionalitas di sini, di pilihan sistem pemilu. Karena di UUD 1945 misalnya tidak di-mention sistem pemilu mana yang harus kita pilih untuk memilih anggota DPR maupun DPRD kita,” ujar dia menambahkan.

Back to top button