News

Pakar Psikologi Forensik: Ancaman Pembunuhan Jangan Dipandang Sebelah Mata

Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan aparat penegak hukum dan juga masyarakat untuk tidak memandang sebelah mata adanya ancaman pembunuhan seperti yang dilontarkan oleh peneliti BRIN kepada warga Muhammadiyah.

“Ketika ancaman pembunuhan saja sudah tidak patut dipandang sebelah mata, apalagi jika ancaman itu diekspresikan dalam bentuk hate crime (kejahatan berlatar kebencian),” ujar Reza dalam keterangannya yang diterima di Jakarta, Jumat (28/4/2023).

Menurut dia, sudah banyak contoh yang dapat dijadikan pelajaran dari kasus ancaman yang disampaikan lewat media sosial. Seperti situasi-situasi yang terjadi di mancengara.

Salah satu contoh, Salvador Ramos, sebelum menembak 19 murid dan dua guru pada Mei 2022, ia mengirim pesan di akun Facebook-nya yang berbunyi “Saya akan melakukan penembakan di sebuah SD”.

Kemudian, Travis McMichael juga meninggalkan jejak digital berupa pesan kebencian tentang kalangan tertentu, sebelum menembak orang dari kelompok sosial yang dia benci.

“Travis tidak sebatas dikenai pasal pembunuhan, juga dikenai pasal kejahatan dengan latar kebencian (hate crime),” ungkap Reza.

Anggota Pusat Kajian Assessment Pemasyarakatan, POLTEKIP itu menerangkan, jika informasi tentang pesan maut Salvador dan Travis sampai di kantor polisi, dan polisi merespon secara efektif, tragedi hilangnya nyawa manusia akibat pembunuhan akan bisa dicegah.

Kedua contoh tadi, dan banyak contoh lainnya, kata Reza, menunjukkan fakta bagaimana media sosial memainkan pengaruh penting dalam mendorong terjadinya pembunuhan. Yakni, lewat stigma buruk terhadap individu maupun kelompok target, melegitimasi kekerasan, serta merekrut calon-calon pelaku.

Demikian halnya, kasus viral seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang mengancam bunuh warga Muhammadiyah, karena mengomentari postingan terkait perbedaan penetapan Idul Fitri 1444 Hijriah antara pemerintah dan Muhammadiyah.

Untuk itu, menurut Reza, Polri perlu mengambil langkah tegas guna menginterupsi kekerasan di media sosial yang dapat bereskalasi menjadi kekerasan di dunia nyata.

“Apalagi, dari redaksionalnya, kebencian dan ancaman pembunuhan itu tertuju tidak sebatas pada individu per individu, melainkan menyasar kelompok dengan latar identitas tertentu,” ujarnya.

Menurut Reza, kasus peneliti BRIN itu terindikasi sebagai hate crime, yakni kejahatan yang dilakukan dengan menyeleksi para calon korban berdasarkan ciri atau identitas termasuk kelompok tertentu. Oleh karena itu, kata dia, ancaman pembunuhan tidak patut dipandang sebelah mata.

Lebih lanjut Reza menjelaskan, dalam situasi hate crime, para korban tidak sebatas direct victim, tapi bahkan mencakup vicarious victims alias masyarakat. Kendati ‘sebatas’ vicarious, namun reaksi psikis mereka serupa dengan direct victim: takut, marah, terguncang.

Dengan skala korban sedemikian luas, kata dia, 46 negara bagian, Distrik Columbia, dan dua teritori Amerika Serikat mengadakan hukuman yang diperberat bagi pelaku hate crime.

Namun, pada kenyataannya, sekitar setengah dari seluruh korban hate crime tidak melaporkan peristiwa dimaksud ke kepolisian. Dari total yang dilaporkan pun tidak banyak yang berlanjut ke proses litigasi.

Hal ini, kata dia, memperlihatkan betapa mereka yang merasa telah menjadi korban hate crime justru diperlakukan kurang sebagaimana mestinya. Akibatnya, kian hari jumlah laporan pun kian menurun.

“Inilah yang mendorong sekian banyak institusi kepolisian berupaya menyemangati masyarakat untuk melaporkan hate crime yang terjadi di tengah-tengah mereka,” ujarnya.

Terkait pelaku pengancaman telah menyatakan permohonan maaf, Reza mengingatkan polisi tetap perlu turun tangan agar masyarakat dan warga-net, terlebih kalangan yang menjadi sasaran ancaman pembunuhan, dapat menyaksikan bagaimana orang yang telah berbuat buruk itu dituntut bertanggung jawab oleh negara.

Begitu pula, meski sejauh ini ancaman pembunuhan itu belum terwujud sebagai aksi pembunuhan, namun perbuatan menebar ancaman itu tetap mesti tercatat dalam rekam kriminalitas yang bersangkutan.

Sehingga, lanjut dia, sekiranya pelaku nantinya mengulangi perbuatan tersebut, ia sudah dapat dikategori sebagai pelaku residivisme.

“Residivisme di sini tidak dihitung berdasarkan frekuensi masuknya pelaku ke dalam penjara, melainkan berdasarkan pemeriksaan (re-contact) atau bahkan penahanan (re-arrest) oleh kepolisian,” kata Reza.

Reza menambahkan, keseriusan nyata oleh otoritas penegakan hukum seperti itulah yang diharapkan akan memunculkan efek jera pada diri yang bersangkutan atau pelaku hate crime.

“Tentu tidak cukup terhadap pelaku. Para korban juga harus diberikan jaminan keamanan oleh otoritas terkait agar terhindar dari eskalasi ancaman pembunuhan tadi,” tutur Reza menambahkan.

Back to top button