Kanal

Berantas Judi Online Menyasar Kelas Teri, Bos Besar Sulit Dicari


“Menang ketagihan, kalah penasaran”. Kalimat tersebut menggambarkan sebuah permainan yang akan menjadi candu namun tak mudah dilepaskan. Ya, permainan itu bernama judi.

Sebelum diharamkan oleh agama Islam, praktik perjudian telah lebih dulu ada di masyarakat jahiliyah. Mereka melakukan permainan judi untuk bersenang-senang, bahkan ada pula yang menjadikannya sebagai mata pencaharian.

Dalam Alquran, judi diistilahkan dengan al-maysir, diambil dari kata yusrun memiliki arti sesuatu yang mudah. Alasan penamaan itu karena praktik judi diakui sebagai upaya mendapatkan kekayaan tanpa harus bekerja keras.

Seperti halnya 2,7 juta warga Indonesia yang kecanduan bermain judi online, sesuai yang disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi pada 21 April 2024.

Aktivitas ilegal itu didominasi oleh anak muda dengan kisaran usia 17 hingga 20 tahun. Mereka terjerat judi online lantaran tergiur betapa mudahnya mendapatkan uang banyak tanpa harus bekerja keras.

“Penjudi kami anggap sebagai korban yang harus diselamatkan, terutama anak-anak, ibu-ibu, kaum muda. Dari 2,7 juta penjudi, ternyata cukup banyak kaum muda terlibat,” ujarnya.

Menanggapi atas banyaknya generasi muda yang terjerat judi online, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mengatakan pentingnya pencegahan yang digagas pemerintah dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Terpadu Pemberantasan Judi Online.

“Jika tidak ditangani dengan serius, masalah judi online dapat menimbulkan berbagai kerugian baik secara sosial, ekonomi, maupun hukum,” ujarnya kepada Inilah.com.

Menurutnya dampak negatif dari kecanduan judi online di antaranya adalah masalah finansial, yakni pelaku terdorong untuk terus berjudi hingga berhutang atau menjual harta benda.

Kecanduan judi juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental, yang dapat menurunkan kualitas hidup karena stres dan kecemasan tinggi. Tak hanya itu, judi online juga berpotensi merusak hubungan sosial, termasuk dalam keluarga.

Maka tak jarang, kegiatan ini kerap mendorong pelaku terlibat dalam tindakan kriminal lain seperti pencurian atau penipuan.

“Kami mendesak pemerintah untuk terus menggencarkan upaya pencegahan judi online. Setiap usaha yang dilakukan untuk menghentikan praktik ini harus didukung, karena jika tidak, kerugian yang ditimbulkan akan sangat besar dan merugikan banyak pihak,” tambahnya.

Bos Besar Pelihara Beking

Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Josias Simon mengatakan hingga saat ini pihak kepolisian masih terus berupaya mengungkap kasus judi online. Bahkan yang terbaru, Polda Metro Jaya menangkap 11 orang tersangka judi online di sebuah rumah di Cluster Dallas, kawasan Teluk Naga, Tangerang, Banten.

Namun penangkapan itu dinilai hanya sebatas kelas teri, terlihat dari sejumlah peran yang dimaikan tersangka dalam menjalankan praktik judi online. Mulai dari customer service, broadcast iklan, hingga admin yang bertugas mempromosikan judi online.

“Judi online saat ini bukan sekadar judi dalam artian kejahatan kovensional, tapi masuk dalam kategori kejahatan transnasional dan dunia maya (siber),” ujarnya kepada Inilah.com

Dirinya mengakui adanya keterlibatan dari negara lain yang membuat pemerintah Indonesia sulit memburu bandar besar judi online. Ditambah lagi dengan keterlibatan pelaku dengan aparat, sehingga judi online diakui sulit untuk diberantas.

Meski tak menyebut secara langsung adanya oknum dari instansi yang terlibat, namun dirinya mengakui adanya keterlibatan aparat yang menjadi pelindung atau beking.

‘Ya (ada beking), tapi tidak saja domestik,” katanya.

Sementara itu Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengakui sejauh ini polisi lebih banyak menangkap tersangka kelas teri kasus judi online. Bagaimana dengan bandar atau bos besar dari judi online tersebut

“Pada dasarnya kepolisian memiliki perangkat siber yang mumpuni untuk bisa menangkap bandar. Logikanya kalau konsumen kelas teri bisa terdeteksi, bandarnya juga bisa terdeteksi. Jadi kalau bandar tak terungkap, memang layak dipertanyakan kinerja kepolisian,” ujarnya kepada Inilah.com.

Sejatinya Polri telah mengamankan sebanyak 1.158 tersangka judi online dari 792 kasus sepanjang 2024. Sementara tahun sebelumnya, Mabes Polri mengungkap 1.196 kasus judi online dengan tersangka sebanyak 1.967 orang.

Namun sayangnya penangkapan itu hanya menyasar kepada bos kecil di dalam negeri, sementara bandar besar terus melancarkan operasinya menggaet konsumen terjerat permainan judi online.

“Secara faktual, karena yang kelas teri sangat banyak dan mudah dijadikan ATM oknum-oknum aparat yang tak memiliki integritas dan susah terkontrol. Hanya logikanya, kalau penangkapan yang kelas teri itu menggunakan perangkat siber seharusnya bandar (besar) nya juga kena,” lanjutnya.

Bambang pun mengakui bahwa judi online tak menutup kemungkinan melibatkan oknum aparat. Meski tidak menyebutkan instansi secara spesifik namun hal ini mengingatkan kita kepada Konsorsium 303 yang marak diperbincangkan publik pada 2022 silam.

Konsorsium 303 menjadi sorotan seiring berkembangnya kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang terjadi di kediaman mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo pada 8 Juli 2022.

Ferdy Sambo disebut-sebut sebagai orang yang terlibat dalam konsorsium 303. Isu ini berhembus dari beredarnya sebuah bagan di media sosial yang menunjukkan nama dan peran orang-orang termasuk petinggi Polri yang terlibat dalam jaringan bisnis ilegal.

Namun belum ada yang dapat membuktikan keterlibatan petinggi Polri dalam lingkaran bisnis ilegal yang meliputi perjudian tersebut. Bahkan Ferdy Sambo juga sudah membantah dirinya membekingi sejumlah bandar judi online.

Jenderal polisi bintang dua itu justru menyatakan yang dilakukan adalah memberantas praktik judi online saat masih menjabat sebagai Kepala Satgassus Merah Putih.

Situs Judi Nyaris Tak Terkendali

Sejak 2018 hingga 2024, Kemenkominfo telah memblokir sebanyak 4,8 juta konten negatif yang tersebar di situs dan media sosial. Berdasarkan statistik, paling banyak adalah situs judi yakni 1,7 konten. Kedua adalah konten pornografi sebanyak 1,2 juta konten, kemudian dilanjutkan konten penipuan, terorisme, hoaks, hingga terkait suku agam ras dan aliran kepercayaan (sara).

Karena itu tidak salah pemerintah membentuk Satgas Terpadu Pemberantasan Judi Online. Mengingat, situs judi hingga kini sudah semakin tidak terkendali.

Masih menurut Bambang Rukminto, pemberantasan judi online kerap terkendala dengan sejumlah masalah. Karena itu dibutuhkan kerja sama antarinstansi serta peran serta masyarakat dalam memberantas praktik judi.

“Memang banyak problem terkait dengan kejahatan siber ini secara umum. Karena kejahatan siber itu tidak ada batasan wilayah, dia bisa dioperasikan dari luar negeri,” katanya.

Dirinya pun mengapresiasi atas pembentukan Satgas Pemberantasan Judi Online untuk mengendalikan pergerakan judi online di Indonesia. Dengan begitu kerja sama antarlembaga berwenang, baik polisi maupun Kemenkominfo tidak melakukan pembiaran terhadap maraknya judi online.

“Situs-situs judi itu berkembang nyaris tidak terkendali. Makanya kalau kemarin muncul wacana membuat satgas pemberantasan judi online itu layak diapresiasi. Memang sudah waktunya kalau negara ini niat untuk melakukan pemberantasan judi online,” harapnya.

Sementara itu Pengamat Keamanan Siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan dalam praktiknya memberantas judi online di Tanah Air tidaklah mudah. Salah satunya adalah batasan negara.

Jika di Indonesia melarang praktik judi, namun di negara lain judi justru diperbolehkan.

“Penyelenggara judi online ini bisa berpindah operasi dari satu negara ke negara lain, tapi sasarannya tetap orang Indonesia. Mereka memanfaatkan kanal digital, maka harus adu canggih antara pemerintah (Indonesia) dengan penyelenggara judi online,” ujarnya.

Hal itu juga yang diungkapkan oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi terkait sulinya menghilangkan judi online. Karena server bandar judi online berada di negara yang melegalkan perjudian.

“Judi online itu lintas negara, servernya bisa ada di mana-mana. Kalau judi offline lebih gampang mengaturnya. Kalau judi online kan susah, kita kayak menghadapi hantu,” ujar Budi Arie, Rabu (1/4/2024).

Upaya yang dilakukan adalah terus berkomunikasi dengan negara tetangga yang melegalkan perjudian supaya tidak masuk ke Indonesia. “Walau pun di sana legal, jangan imbasnya di sini dong,” tambahnya.

Batasi Diri

Jika praktik judi online memang tidak bisa dihilangkan 100 persen di Indonesia, namun sejatinya masyarakat dapat membatasi diri supaya tidak dikendalikan oleh judi online.

Yang harus diwaspadai adalah judi online menyasar generasi muda yang masih ingin coba-coba, ditambah lagi dengan tingginya gaya hidup. Karena itu pentingnya pembatasa diri.

Bambang Rukminto menjelaskan Kemenkominfo dapat berperan dalam memberikan sosialisasi bahaya judi online. Pemerintah bisa mengumumkan kriteria situs judi, sehingga masyarakat mendapat panduan agar terhindar dari jerat situs tersebut.

Begitu juga Polri berperan memberikan sosialisasi penegakan hukumnya bagi siapapun yang terlibat judi online.

“Kalau kemudian dia memasang taruhan di situs-situs itu ya artinya dia melakukan pelanggaran dan bisa sewaktu-waktu ditangkap oleh polisi. Kalau pasarnya itu bisa dibatasi, harapannya sih bandarnya tidak main lagi,” ujarnya.

Sementara itu Princeton Bridge Year On-Site Director Indonesia Sani Widowati mengatakan judi online dirancang sedemikian rupa sehingga berdaya jerat kuat secara psikologis dengan menstimulasi fungsi kognitif otak pemainnya.

Bahkan judi online kerap menyerupai permainan daring pada umumnya seperti tampilan visual yang menarik, efek audio, bahkan hingga efek getar, misalnya ketika pemain menang besar dapat memberikan dampak secara langsung ke kognisi individu.

“Dari efek tersebut mendorong bagian hipotalamus di otak memproduksi hormon dopamin yang memicu rasa menyenangkan, sehingga kita terus menerus mencari rasa kegembiraan itu lagi dan lagi,” jelasnya.

Meskipun memahami risikonya, namun masyarakat tetap bermain judi online dan akhirnya terjerat karena dipicu rasa penasaran, lingkungan yang memengaruhi, dan kondisi yang terpuruk.

“Mereka yang sudah terlanjur terjerat judi online akhirnya mengalami kerugian bertubi-tubi seperti kehilangan materi dan utang menumpuk, kehilangan orang-orang terkasih, dan kehilangan kontrol diri,” lanjutnya.

Menanggapi maraknya generasi muda terjerat judi online, Pemerhati Budaya Siber, Zahid Asmara mengaku miris. Karena itu dirinya menilai perlu membatasi akses platform digital agar terhindar dari judi online.

“Yang bisa dilakukan agar terhindar dari jeratan judi online adalah membatasi akses pada platform digital, mengubah cara pandang konsumtif menjadi investasi, membiasakan transaksi tunai dan menjauhi utang,” tandasnya.

(Harris Muda, Syahidan)

Back to top button