Kanal

Lula da Silva, Pelajaran Buat Anies Baswedan

Di sinilah mungkin Anies dan Lula bisa mempunyai kesamaan, menghentikan ketimpangan. Saat ini Lula sudah menang, tinggal menunggu Anies Baswedan. Anies harus belajar dari Lula, tidak berhutang budi pada oligarki dan hanya berhutang budi pada rakyat miskin yang mendukungnya saja

Oleh: Syahganda Nainggolan

Dunia hari ini digemparkan oleh kemenangan Lula da Silva, tokoh buruh, menjadi Presiden ke-39 Brasil, kemarin. Lula memang sudah pernah menjadi presiden sebelumnya, selama dua periode (satu periode empat tahun) yakni tahun 2002-2008.

Pada tahun 2019, Lula gagal mencalonkan diri, karena konspirasi politik orang-orang kaya yang memenjarakan dia 580 hari, atas tuduhan korupsi dari Petrogas, lalu distempel tidak pantas jadi calon presiden, yang kemudian dianulasi oleh Mahkamah Agung atas desakan komisi HAM PBB, tahun 2019 lalu.

Lula dibenci orang-orang kaya karena ketika dulu presiden berhasil membuat orang-orang miskin mempunyai mobil dan memacetkan kota-kota di Brasil. “Orang-orang kaya ingin hanya mereka yang punya mobil sehingga mereka nyaman berkendara”, kata Lula.

Begitu juga ketika Lula membuat UU Pembantu Rumah Tangga, sehingga membuat orang kaya membayar pembantu lebih mahal lagi.

Sejak kecil Lula memang bermimpi bagaimana membuat orang-orang miskin menjadi kaya. Hal ini terpatri di alam bawah sadarnya sejak kecil. Lula adalah tukang semir sepatu di kota Sao Paulo, Brasil, setelah beberapa tahun pindah dengan perjalanan dua minggu dari kampung asalnya. Berbagai sumber menyebutkan perjalanan itu, Lula dan keluarga, ditempuh dengan menumpang di bak belakang truk.

Hidup miskin membuat Lula tidak tamat sekolah SD. Kehidupannya yang kita kenal saat ini, dimulai ketika ia diterima bekerja di pergudangan, lalu pabrik metal tempat dia berkerja, Sao Bernardo Da Compo, Sao Paulo dalam usia belasan tahun. Pekerjaan itu mengantarkannya pada organisasi buruh otomotif dan kemudian menjadi ketua organisasi dengan anggota 100.000 pada usia 30 tahun, yakni tahun 1975.

Ideologi menolong orang miskin

Idiologi Lula adalah menolong orang miskin. Para pendukung Lula melakukan pembelaan ketika kelompok pro-Presiden Bolsorano mengolok-olok Lula koruptor. Pembelaannya adalah “Lula korupsi untuk memperkaya orang miskin, tapi Bolsorano korupsi untuk memperkaya orang kaya”.

Marc Morgan dari Paris School of Economics melaporkan bahwa penghasilan orang paling miskin di Brasil naik sebesar 35 persen selama partai Buruh (Lula dan penerusnya Dilma Roussef) berkuasa 2004-2010 (Bloomberg, 26/10/22).

Reuters, dalam “Factbox: Brazil under Lula, the working-class president” (10/6/2009), menyebutkan 19 juta orang keluar dari kemiskinan akibat pertumbuhan ekonomi yang baik dan kebijakan transfer kepada orang miskin (program Bosma Familia atau seperti Bansos yang dimulai era SBY di sini).

Lula sendiri dalam wawancara dengan  Brasil De Fato, dalam judul “Lula: It Is The Worker Who Drive The Real Economy” (29/4/2022), mengklaim selama 2002-2014, ketika Partai Buruh berkuasa, mereka telah menciptakan 22 juta lapangan kerja baru, tingkat pengangguran 4,3 persen, dan menaikkan upah buruh, khususnya di awal pmerintahan sebesar 74 persen.

Merujuk pada pikiran Jeffrey Sach dalam “The End of Poverty“, yang menyarankan kebijakan pengentasan kemiskinan dual track, yakni melalui kebijakan upah atau “generating income” dan juga subsidi langsung, atau menurut Sach, “Berilah ikan kepada orang miskin, lalu berikan pancing setelah mereka kenyang”, telah diadopsi oleh Lula.

Lula juga sejalan dengan landasan teoritis dari Professor Kreuger, penasehat ekonomi Obama, yang mengatakan bahwa kenaikan upah mendahului produktivitas, bukan sebaliknya, di mana Lula yakin ekonomi akan tumbuh jika stabilitas kerja formal dan upah tinggi tercapai. Karena, belanja buruh yang besar akan turut meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Lula juga mengatakan bahwa kesuksesan dia adalah membuat relasi yang kuat antara kebijakannya dengan buruh dan bekerja berdasarkan hati, bukan kepentingan

Dalam artikel Time, (4/5/2022), “Brazil’s Most Popular President Returns From Political Exile With a Promise to Save the Nation“, dia mengatakan:

“I feel proud to have proven that a metal-worker without a university diploma is more competent to govern this country than the elite of Brazil. Because the art of government is to use your heart, not only your head.”

Tantangan Lula ke depan

Lula menghadapi situasi ekonomi yang parah, akibat krisis dunia, utang yang besar dan geopolitik “perang dingin”. Lula berjanji untuk “Re-build Brazil”- that is restore public services battered by  years of underinvestment, use Brazil’s fossil fuel resources to lower domestic energy prices and battle inflation, and help million of the Brazilians struggling with food insecurity ” (Time, 31/10/2022).

Begitu juga janjinya menstop deforestasi Amazon yang ugal-ugalan oleh rezim Bolsonaro. Sementara, kemenangan Lula sendiri sangatlah tipis 50,9 persen vs 49,1 persen atau hanya menang tipis, 1,8 persen dari Bolsonaro.

Dari kelompok far-left (sangat kiri) sendiri, meskipun mereka mendukung Lula, tapi mereka was-was dengan wakil presiden Lula, Geraldo Alckmin, yang merupakan kelompok kanan (Center-rigth) dan juga saingan Lula pada pilpres 2006. Beberapa tokoh Sosialis mengungkapkan bahwa mendukung Lula adalah sebuah kondisi yang diperlukan untuk kemenangan buruh berikutnya. (Lihat: https://www.leftvoice.org/an-electoral-alternative-for-the-working-class-in-brazil/).

Dalam situasi kemenangan tipis ini, untung saja Amerika, Spanyol, Prancis, dan Kanada langsung memberikan selamat kepada Lula. Pengakuan internasional ini setidaknya mengurangi kemungkinan kecurangan militer ataupun rezim Bolsonaro.

Relevansinya bagi Indonesia

Brasil adalah negara terbesar di Amerika Latin, dengan 200 juta penduduk. GDP mereka US$1, 9 T di atas Indonesia yang US$1,29 T, tahun 2022. Pendapatan yang besar ini membuat Brasil masuk dalam kelompok BRICS (Brazil, Rusia, India, China dan South Africa) dan G-20.

Indonesia dan Brazil seringkali dianggap mewakili negara berkembang dengan ekonomi yang besar. Namun, pengelolaan ekonomi yang bergantung utang dan berbagai indikator ekonomi yang buruk selama ini, membuat Brasil dan Indonesia masuk dalam kelompok “fragile five“, setidaknya jika tidak oleh Morgan Stanley, seperti diawal pengkatagorian, maka oleh lembaga rating lainnya (lihat: What are the Fragile Five, thebalancemoney.com).

Secara struktur perekonomian, Brasil dan Indonesia mengalami ketimpangan yang sama, segelintir orang menguasai porsi perekonomian yang besar.

Lula, sebagaimana juga Anies, menjadi oposisi terhadap kaum kapitalis oligarki. Massa pendukungnya pun mengharapkan demikian.

Kemiskinan yang dialami mayoritas penduduknya, dengan identitas politik “working class” di Brazil dan  Islam di Indonesia, terus bertarung untuk merubah struktur sosial yang bersifat historis (melawan penjajah) dan jangka panjang.

Pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang diharapkan untuk menaungi semua rakyat seringkali dibajak oleh pemilik modal untuk terus menerus memperkaya diri, dengan penguasaan sektor ekstraktif dan perusakan lingkungan (hutan). Hal ini menjadi menarik untuk mencari pelajaran dari apa yang terjadi di Brazil saat ini.

Pelajaran buat Anies Baswedan

Kecintaan kaum buruh di Brasil terhadap Lula dan kecintaan umat Islam terhadap Anies Baswedan bersifat sebanding. Lula telah mentransfer dukungan kaum buruh untuk melawan kaum kapitalis oligark yang menguasai pemerintahan Brasil 6 tahun belakangan ini. Tentu saja kemenangan Lula ini dibantu oleh fakta kegagalan Bolsorano mengelola masa pandemi COVID-19, di mana terlalu banyak korban meninggal di sana.

Namun, perjuangan Lula dan kaum buruh di sana tidaklah mudah. Pemenjaraan selama 18 bulan (dari vonis 10 tahun) yang dialami Lula, akibat konspirasi rezim Bolsonaro, di masa usia tua Lula, membuat jalan terjal harus dipikul kaum buruh.

Namun, pengalaman kaum buruh Brasil dalam berkonflik dengan rezim militer mereka beberapa dekade lalu, membuat mereka menjadi berani. Bahkan, ketika Lula di penjara, berbagai demonstrasi buruh dilakukan di depan penjaranya dengan tuntutan pembebasan.

Lula menggandeng wapres yang relatif liberal. Anies dengan identitas Islam menggandeng Partai Nasdem yang sekuler dan liberal. Hal ini bisa menjadi model yang sama jika keduanya berkuasa. Pilihan Lula yang berkompromi dengan berbagai kebijakan liberal, termasuk nantinya privatisasi dan kebijakan perburuhan yang pro market, akan berbenturan dengan ideologinya yang cinta orang miskin. Jika Anies berkuasa dan melakukan yang sama, maka rakyat pendukung Anies akan mengawasi pilihan-pilihan kebijakan, agar dipastikan tidak mengorbankan rakyat miskin. Ini sebuah pertarungan berlanjut.

Sebuah kompromi seringkali dituntut oleh kondisi yang tidak ideal, seperti ekonomi yang sedang krisis. Namun, suatu hal yang pasti bahwa rakyat akan siap menderita jika derita yang sama dipikul oleh pemimpinnya. Rezim Indonesia saat ini terus menerus memperkaya orang kaya, sama dengan Bolsorano.

Di sinilah mungkin  Anies dan Lula bisa mempunyai kesamaan, menghentikan ketimpangan. Saat ini, Lula sudah menang, tinggal menunggu Anies Baswedan. Anies harus belajar dari Lula, tidak berhutang budi pada oligarki dan hanya berhutang budi pada rakyat miskin yang mendukungnya saja.

*Dr Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button