Kanal

Oposisi Menang Besar di Thailand, Tapi Militer Masih Bisa Berkuasa

Pemilih Thailand menunjukkan keinginan untuk pemerintahan baru yang demokratis. Terlihat dari partai oposisi Pheu Thai dan Move Forward Party (MFP) berhasil mengalahkan Palang Pracharat yang didukung militer yang berkuasa. Namun meskipun menang masih banyak jalan terjal yang harus dilalui.

Dengan hampir semua suara dihitung pada Senin (15/3/2023), MFP yang progresif dan Partai Pheu Thai yang populis diproyeksikan memenangkan sekitar 286 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat yang beranggotakan 500 orang. MFP dipimpin pemuda bernama Pita Limjaroenrat. Sementara Pheu Thai digawangi putri mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, Paetongtarn yang dikenal dengan nama panggilannya Ung Ing.

Pemenang terbesar pemungutan suara pada Minggu (14/5/2023) adalah MFP, sebuah partai progresif dipimpin anak muda yang memperebutkan pemilihan umum untuk pertama kalinya dengan platform berani mereformasi monarki dan mengurangi kekuatan militer dengan menulis ulang konstitusi negara dan mengakhiri wajib militer.

Dengan 99 persen suara yang telah dihitung, MFP tampaknya akan mengambil bagian terbesar dari majelis rendah dengan total 147 kursi, hasil awal yang dipublikasikan di situs komisi pemilihan menunjukkan. Angka itu termasuk 112 dari 400 kursi yang dipilih langsung dan 35 dari 100 kursi yang dialokasikan ke partai secara proporsional.

Analis menggambarkan hasil untuk MFP sebagai ‘luar biasa’ karena survei pra-pemilihan telah memperkirakan bahwa Pheu Thai, akan mengambil bagian terbesar. Hasilnya menunjukkan Pheu Thai memiliki total 138 kursi — 112 dipilih langsung dan 27 dari daftar partai.

Sementara itu militer-royalis bernasib buruk. Partai Persatuan Bangsa Bangsa Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, yang merebut kekuasaan sebagai panglima militer dalam kudeta tahun 2014, berada di urutan kelima dengan 36 kursi. Mantan partainya, Palang Pracharath berada di urutan keempat dengan sekitar 40 kursi.

Berada di urutan ketiga adalah Bhumjaitai, yang mempelopori kampanye untuk melegalkan ganja di Thailand. Bagian dari koalisi yang berkuasa saat ini, Bhumjaithai diproyeksikan memenangkan sekitar 70 kursi.

“Ini menandai titik balik yang besar bagi Thailand karena menunjukkan sebagian besar orang di negara itu menginginkan perubahan,” kata Titipol Phakdeewanich, profesor ilmu politik di Universitas Ubon Ratchathani di timur Thailand kepada Al Jazeera. “Kami benar-benar melihat kekuatan pemilih, yang kali ini berjuang keras untuk perubahan.”

Masih diliputi ketidakpastian

Meskipun sudah terlihat partai oposisi memenangkan pemilu Minggu, tetapi nasib pemerintahan masih diliputi ketidakpastian. Yakni menyangkut apakah mereka akan dapat membentuk pemerintahan berikutnya karena aturan parlementer memungkinkan 250 anggota Senat yang ditunjuk militer masih dapat menentukan dengan memberikan suara pada perdana menteri. Artinya, MFP dan Pheu Thai masih membutuhkan dukungan dari partai-partai kecil untuk membentuk pemerintahan baru.

Thailand melaksanakan sistem pemungutan suara campuran yang mencakup pemungutan suara langsung serta daftar partai berdasarkan preferensi partai pemilih. Ini menimbulkan kemungkinan akan ada ketidakpastian mengenai bentuk pemerintahan berikutnya karena berbagai partai berebut untuk membentuk koalisi.

Ketua partai terbesar mungkin belum tentu memimpin Thailand, atau bahkan membentuk pemerintahan, karena sistem pemilu negara itu sangat mendukung pembentukan konservatif. Partai yang memenangkan lebih dari 25 kursi dapat mencalonkan calon perdana menteri mereka. Kandidat tersebut akan melakukan pemungutan suara, dengan seluruh 750 kursi legislatif bikameral memberikan suara.

Untuk menjadi perdana menteri, seorang kandidat harus memiliki mayoritas di kedua majelis – atau setidaknya 375 suara. Namun, Senat yang memiliki 250 kursi kemungkinan akan memainkan peran kunci dalam menentukan pemerintahan Thailand berikutnya dan, karena dipilih sepenuhnya oleh militer, kemungkinan akan memilih partai pro-militer. Itu berarti partai oposisi atau koalisi membutuhkan hampir tiga kali lebih banyak suara di majelis rendah daripada partai militer untuk dapat memilih pemimpin berikutnya.

Momok kudeta militer?

Selain sistem penentuan pemeritahan Thailand yang aneh, negara Gajah Putih ini seperti tak bisa lepas dari momok kudeta militer. Sehingga hasil pemilihan umum ini juga tak bisa lepas dari kekhawatiran seperti ini. Negara ini telah mengalami dua kudeta militer menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis dalam dua dekade terakhir.

Antonio Rappa, Associate Professor dan Kepala Studi Keamanan di Universitas Ilmu Sosial Singapura seta mantan Profesor Tamu Ilmu Politik di Departemen Ilmu Politik Universitas Johns Hopkins menilai, Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha mungkin belum mengesampingkan aksi militer, karena ada banyak tokoh militer yang masih terikat dengan Senat dan partainya sejak kudeta 2014.

“Tapi kudeta hanya berhasil jika didukung oleh monarki. Koalisi tiga arah – dengan Move Forward, Pheu Thai dan Palang Pracharat – akan lebih dapat diterima oleh Istana dan membuatnya lebih kecil kemungkinannya untuk menyetujui kudeta apa pun,” kata Antonio Rappa, mengutip Channel News Asia.

Bahkan jika ada peralihan kekuasaan yang mulus dari pemerintahan saat ini, mungkin ada pergolakan internal di pemerintahan oposisi. Pendukung oposisi mungkin perlu ditenangkan jika koalisi tersebut mencakup partai yang didukung militer. “Dengan Pheu Thai dan Move Forward yang relatif seimbang dalam jumlah kursi sejauh ini, perjuangan akan bergeser untuk memutuskan calon siapa yang akan menjadi perdana menteri dan bagaimana membagi posisi menteri dan senator lainnya,” katanya.

Siapa Pita Limjaroenrat?

Gelombang dukungan untuk Partai Move Forward menunjukkan pergeseran menuju individu karismatik yang paham media sosial, dan kritis terhadap para pemimpin militer yang kaku dan sarat korupsi. Ini tidak lepas dari sosok anak muda, Pita Limjaroenrat yang berusia 42 tahun.

Kredensialnya sebagai pengusaha berpendidikan membuatnya menarik bagi mantan pendukung Kaos Merah dan Kaos Kuning. Ia dididik di Selandia Baru dan Amerika Serikat, belajar di Harvard dengan beasiswa internasional, sebelum menjadi pengusaha. Sementara karisma dan ketampanan lakorn (sinetron TV) menarik bagi para pemilih baru perkotaan dan muda. Ayah satu anak ini dianggap sebagai heartthrob politik, menginspirasi tingkat histeria bintang pop dari para pendukungnya.

Setelah kematian ayahnya ketika dia berusia 25 tahun, Pita kembali ke rumah untuk menjalankan bisnis keluarganya yang terlilit hutang Agrifood, dan berhasil membalikkan keadaan. Dia kemudian menjadi direktur eksekutif aplikasi transportasi dan pengiriman Grab Thailand.

Pada 2012 ia menikah dengan aktris TV Thailand Chutima Teepanat, dan mereka memiliki seorang putri berusia tujuh tahun. Pernikahan itu kandas pada 2019. Putrinya tampil menonjol dalam kampanye dengan Pita membawanya ke atas panggung setelah pidato, yang sangat menyenangkan orang banyak.

Secara online, dia menggunakan akun ‘pribadi’ publik – diikuti oleh hampir satu juta pengguna – untuk berbagi foto dirinya dan putrinya mengenakan kaos yang serasi dan makan es krim bersama.

Namun meski sukses di kotak suara, tidak ada indikasi jalannya menuju perdana menteri akan mulus. Dia sekarang harus membuat koalisi bersama untuk melampaui senator yang ditunjuk pemerintah yang memilih PM Thailand di antara kandidat yang memenuhi syarat.

Artinya jalan partai oposisi maupun Pita Limjaroenrat untuk membangun pemerintahan baru dan menjadi Perdana Menteri masih harus menemui jalan terjal dan berliku. Sistem pemilihan dan masih kuatnya tangan-tangan militer untuk ikut campur dalam menentukan pemerintahan dan perdana menteri bakal menjadi tantangan baru yang mengadang. Belum lagi persetujuan dari monarki.

Back to top button