Kanal

Nusantara Sedang tidak Baik-Baik Saja 

Dalam kehidupan sosial, politik, hingga ekonomi, Nuswantara terasa seperti perahu retak yang oleng, tidak seimbang dan cemas. Prinsip tri hita karana yang menjadi pegangan keseimbangan kosmologis pun semakin diabaikan. Manusia dalam hubungannya dengan alam semakin eksploitatif, destruktif dan kehilangan kebijaksanaan. Dalam hubungan dengan sesama manusia semakin hipokrit, manipulatif, koruptif dan individualistik. Lalu dalam hubungan dengan Tuhan, kita semakin asing, berjarak, bahkan cenderung menentang hukum-hukum-Nya

Oleh Fahd Pahdepie*

Mungkin anda suka

Kamis pagi, 8 Desember 2022, sekitar pukul 07.50 WIB, Sukabumi diguncang gempa 5,8 magnitudo. Sampai artikel ini ditulis, belum ada laporan kerusakan signifikan maupun korban yang jatuh. Tetapi, gempa pagi itu cukup mengejutkan untuk membuat kita merenungkan apa sebenarnya yang sedang terjadi.

Belakangan ini kabar mengenai bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah di Nusantara, khususnya Jawa, terasa bertubi-tubi. Setelah gempa 5,6 magnitudo yang menimpa Cianjur, 21 November 2022 lalu, rentetan peristiwa lain datang silih berganti. 3 Desember 2022, Garut Selatan diguncang gempa 6,4 magnitudo, kemudian disusul gempa Jember 6,2 magnitudo pada 6 Desember 2022.

Ditambah gempa Sukabumi yang baru saja terjadi, artinya sekurangnya sudah 4 kali gempa terjadi dalam satu bulan terakhir. Itu di luar ratusan gempa susulan berskala kecil, terutama yang terjadi di Cianjur hingga mencapai 378 kali dengan kekuatan yang terus melemah. Beruntung baik gempa Garut, Jember, maupun Sukabumi dampaknya tidak separah Cianjur yang menewaskan 334 jiwa, 8 hilang, ribuan luka-luka dan kerusakan bangunan yang luar biasa, konon kerugiannya ditaksir mencapai Rp38,4 triliun.

Selain gempa, bencana lain juga mengintai bumi Nusantara. 4 Desember 2022 lalu, pukul 02.46, Gunung Semeru memuntahkan awan panas hingga 15 km. Pemerintah langsung menetapkan status awas, lebih dari 2.000 warga Kabupaten Lumajang dan Malang diungsikan. Terpaut jarak 1.448 km, Gunung Kerinci di Jambi pun bergejolak dan memuntahkan awan panas pada 6 Desember 2022, membubung hingga 3 km, pesawat dilarang melintas di atasnya.

Grafis Gunung Api - inilah.com
Grafis: Peta sebaran gunung api di Indonesia

Apakah satu bencana dengan bencana lainnya berhubungan? Entahlah. Kita tidak punya kapasitas keilmuan atau pengetahuan yang memadai untuk membuat justifikasi. Yang jelas, kabar bencana ini terasa bertubi-tubi dalam satu bulan terakhir. Belum lagi jika kita menghitung bencana lain yang skalanya lebih kecil. Termasuk banjir bandang di Pati pada 30 November 2022 lalu, diakibatkan parahnya kerusakan Gunung Kendeng, Jawa Tengah.

“Jawa sedang bergejolak.” Tulis seorang teman melalui pesan WhatsApp. “Nusantara sedang tidak baik-baik saja.” Tulis teman yang lain di akun media sosialnya. Keduanya saya kenal memiliki kepekaan batin dan analisis sosial-antropologi yang kuat. Di tengah kecemasan dan kekerdilan akal kita tentang semua bencana yang terjadi, rasanya kita memang perlu lebih mawas diri. Kesadaran bahwa bumi, alam, negeri yang sedang kita pijak sedang tidak baik-baik saja adalah sesuatu yang penting agar kita bisa memperbaiki sikap, akhlak, laku-lampah dalam bermasyarakat dan bernegara.

Daerah Cugenang yang aksesnya tertutup longsor imbas gempa Cianjur yang terjadi Senin (21/11/2022). (Foto: Inilah.com/ Agus Priatna)
Dok: Wilayah Cugenang menjadi kawasan yang terdampak paling parah saat gempa mengguncang Cianjur, Jawa Barat Senin (21/11/2022) lalu. (Foto: Inilah.com/ Agus Priatna)

Manusia Nusantara adalah manusia yang religius dan spiritual. Kepekaan batin orang Nusantara harus senantiasa terasah dan menjadi kompas untuk terus mawas diri dan memperbaiki diri. Setiap bencana yang datang, belum tentu merupakan kemarahan alam atau hukuman Tuhan, tetapi sudah pasti merupakan “teguran” yang membawa satu pesan yang hikmahnya harus kita gali. Hikmah itulah yang akan membuat kita menjadi lebih bijaksana dalam menjalani kehidupan.

Konon, Nusantara bukanlah semata negeri kepulauan yang dipisahkan oleh perairan (nusa-antara). Secara morfologi, kata Nusantara berasal dari kata Nuswantara yang tersusun dari empat kata Sanskerta yang berarti negeri yang terdiri dari sejumlah daratan atau pulau-pulau (nuswa) yang mandiri atau merdeka (swa), tempat yang ditinggali orang-orang suci (anta) yang berdampingan bersama para ksatria kebenaran (tara). Jika Nusantara sedang tidak baik-baik saja, paling tidak kita harus memeriksa keadaan struktur-struktur yang membentuk Nusantara ini.

Apa kabar pulau-pulaunya? Tanah dan airnya? Daratan dan lautannya? Bagaimana sejauh ini perlakuan dan sikap kita terhadap nuswa-nya Nusantara ini. Apakah kita sudah cukup baik menjaga sumber daya alamnya, memelihara lingkungan hidupnya, memperlakukan seluruh makhluk yang hidup di atas dan bawah permukaannya? Jangan-jangan sikap kita yang abai pada lingkungan, yang eksploitatif pada kekayaan di perut bumi negeri ini, yang tidak peduli pada keadaan dan keberagaman makhluk hidupnya membuat alam Nusantara semakin rusak.

Bagaimana keadaan kemandirian atau swa dari Nusantara ini? Apakah kita masih memegang teguh kemandirian itu? Kemana rasa bangga dan optimisme yang kuat khas orang-orang Nusantara? Ataukah kita sudah semakin bergantung dan disetir negara-negara lain? Baik dalam aspek sosial, politik, hingga ekonomi? Kekayaan alam yang kita miliki gagal dimanfaatkan untuk mensejahterakan rakyat. Bahkan untuk bahan pangan pokok pun kita bergantung pada impor dari negara lain.

Kemudian para ksatria yang memangku negeri Nusantara ini. Harus kita periksa sikap dan perilakunya, cara dan pertimbangan-pertimbangannya dalam membuat keputusan. Masihkah para ksatria (umara) ini menempatkan nasib dan kepentingan rakyat di atas segalanya? Atau sudah terkalahkan oleh ambisi dan kepentingan-kepentingan pribadi atau golongan? Para ksatria Nuswantara semestinya adalah mereka yang memiliki karakter setia, penuh keteladanan, dan terpuji.

Salah satu sudut wilayah Cianjur yang diguncang Gempa. Sejauh ini Gempa Cianjur menewaskan 334 jiwa, 8 hilang, ribuan lainnya luka-luka dan kerusakan bangunan yang kerugiannya ditaksir mencapai Rp38,4 triliun. (Foto: inilah.com/Agus Supriatna)

Terakhir, bagaimana negeri ini memperlakukan orang-orang suci, para ulama, para pandita? Di saat bersamaan, bagaimana pula mereka bersikap dan bertindak di negeri Nusantara ini? Peran mereka sangat penting untuk menjaga dan merawat batin Nusantara. Mereka perlu berdampingan dengan para ksatria, tidak direndahkan dan juga tidak merendahkan dirinya dengan memperjualbelikan kebenaran untuk kepentingan-kepentingan semu duniawi.

Harus diakui, belakangan ini kita melihat dan merasakan ketidakseimbangan antara unit-unit yang membangun struktur Nuswantara ini. Dalam kehidupan sosial, politik, hingga ekonomi, Nuswantara terasa seperti perahu retak yang oleng, tidak seimbang dan cemas. Prinsip tri hita karana yang menjadi pegangan keseimbangan kosmologis pun semakin diabaikan. Manusia dalam hubungannya dengan alam semakin eksploitatif, destruktif dan kehilangan kebijaksanaan. Dalam hubungan dengan sesama manusia semakin hipokrit, manipulatif, koruptif dan individualistik. Lalu dalam hubungan dengan Tuhan, kita semakin asing, berjarak, bahkan cenderung menentang hukum-hukumNya.

Semestinya kita tidak membutuhkan bencana yang lain untuk segera mengoreksi diri kita. Seharusnya kita tidak perlu menunggu bala atau malapetaka berikutnya untuk bisa mawas diri dan menjadi manusia Nusantara yang lebih baik. Jika kita berhasil menemukan dan mengambil hikmah dari rentetan bencana yang terjadi akhir-akhir ini, dari kondisi alam Nusantara yang tidak baik-baik saja saat ini, mudah-mudahan kita bisa menjadi bangsa dan masyarakat yang lebih baik lagi, jadi pemimpin yang lebih baik, jadi ksatria dan ulama yang lebih baik.

Setelah gempa Sukabumi, Cianjur, Garut, dan lainnya akhir-akhir ini, barangkali kita mesti menengok lagi nasihat Prabu Siliwangi. Mari kita menjadi bangsa yang bisa saling berbagi ilmu pengetahuan, bukan berbagi kebencian dan kabar buruk. Mari saling berbagi kecakapan dan keahlian, bukan saling merendahkan dan meniadakan. Mari saling menjaga harkat dan martabat satu sama lain. Mari saling menjaga perasaan dan menjunjung tinggi harga diri. Mari saling bersumpah setia satu sama lain. Mari saling mengisi hati dengan ketulusan.

Sikap saling (silih dalam Bahasa Sunda) ini rasanya yang belakangan asing bagi kita. Silih asih, silih asah, silih asuh. Saling mengasihi, saling mengasah-mengisi dan saling menjaga-merawat. Seharusnya kita silih wangi atau silih wangikeun, saling mewangikan nama baik, bukan saling menjatuhkan, saling menghinakan, dan saling menghancurkan. Atau memang kita inginnya hina, jatuh dan hancur sebagai negeri? Na’udzubillahi min dzalik!

FAHD PAHDEPIE, Penulis, CEO Inilahcom

Back to top button