News

Negara Gagal, Kriteria dan Risikonya

Negara lembek (soft state) adalah negara dengan ciri korupsi merajalela, pegawai negeri sipil (aparatur sipil negara)-nya pemalas, dan banyak membuat peraturan perundang-undangan (over legislation), tetapi cacat dan tidak berjalan.

Publik Indonesia dihebohkan oleh pernyataan Sekjen PBB, Antonio Guterres, yang menggolongkan negara yang menghabiskan dana pinjaman lebih besar daripada anggaran kesehatan atau pendidikan sebagai negara gagal sistemik. Tak pelak, istilah ini menjadi pembahasan yang menarik dan membuka mata banyak orang. Namun, apa sebenarnya indikator dari negara gagal itu sendiri?

Pembicaraan tentang negara gagal memang seringkali merujuk pada negara yang tidak mampu memenuhi sejumlah fungsi-fungsi esensial, mulai dari pemberian layanan publik, pengadaan keadilan, hingga pemenuhan hak-hak dasar warganya. Konsep ini telah banyak dibahas oleh berbagai pemikir dan institusi, termasuk Gunnar Myrdal dan Noam Chomsky.

Ekonom Swedia dan penerima Hadiah Nobel, Gunnar Myrdal, adalah salah satu pemikir yang pertama kali memperkenalkan konsep negara gagal. Menurut Myrdal, negara gagal adalah negara yang tidak mampu memenuhi fungsi dasarnya dalam memberikan layanan publik, mempertahankan hukum dan ketertiban, dan memastikan keadilan sosial dan ekonomi. Dalam pandangan Myrdal, negara yang tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup, memberikan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, atau menjamin keadilan sosial dan ekonomi, bisa dikategorikan sebagai negara gagal.

Filsuf dan ahli linguistik terkemuka, Noam Chomsky, memberikan definisi yang lebih spesifik tentang negara gagal. Menurut Chomsky, negara gagal adalah negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Ini meliputi kebutuhan-kebutuhan seperti makanan, air bersih, tempat tinggal yang layak, pendidikan, dan kesehatan. Negara yang gagal memenuhi kebutuhan dasar ini, menurut Chomsky, adalah negara yang gagal menjalankan fungsinya dengan baik.

Namun, pandangan Myrdal dan Chomsky tentu saja tidak cukup untuk memahami sepenuhnya konsep negara gagal. Ada banyak pandangan lain yang juga perlu kita pertimbangkan. Misalnya, Paul Collier, seorang ekonom dari Universitas Oxford, menekankan pada pentingnya keberadaan institusi dalam menentukan apakah sebuah negara bisa dikategorikan sebagai negara gagal atau tidak. Menurut Collier, negara gagal adalah negara yang tidak mampu membangun dan mempertahankan institusi yang efektif dan efisien. Institusi di sini bisa berarti lembaga-lembaga pemerintah, sistem hukum, sistem pendidikan, sistem kesehatan, dan lainnya.

Lembaga lain yang sering merujuk kepada negara gagal adalah Fund for Peace, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. Melalui Fragile States Index (FSI), Fund for Peace mencoba mendefinisikan negara gagal dengan mempertimbangkan dua belas indikator.

Indikator-indikator ini meliputi faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan militer. Beberapa indikator yang digunakan dalam FSI adalah tingkat korupsi, kemiskinan dan ketidaksetaraan ekonomi, efektivitas pemerintah, tingkat pengangguran, pengungsi dan pengungsi internal, serta stabilitas politik dan militer.

Tidak ketinggalan, Robert I. Rotberg, seorang pakar hubungan internasional, juga memberikan pandangan yang menarik tentang negara gagal. Menurut Rotberg, negara gagal adalah negara yang telah kehilangan kendali atas wilayahnya, tidak mampu memberikan layanan publik, dan yang pemerintahnya tidak lagi dianggap sah oleh rakyatnya. Pemerintah yang tidak dianggap sah oleh rakyatnya sering kali terjadi karena korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan ketidakmampuan untuk memberikan layanan publik yang memadai.

Contoh-contoh berkenaan dengan negara gagal, khususnya merujuk pada negara-negara miskin seperti di Afrika. Afrika, dibandingkan dengan benua lainnya, memiliki suku bunga utang tertinggi, yaitu 11,6%. Sementara itu, di kawasan Asia dan Oceania suku bunga utangnya berada di angka 6,5%, di Amerika Latin dan Karibia mencapai 7,7%. Suku bunga utang di Amerika Serikat berada di 3,1% dan di Jerman hanya 1,5%.

Jadi, bagaimana posisi Indonesia berdasarkan sejumlah pandangan tersebut?

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2022, anggaran kesehatan Indonesia hanya mencapai Rp85 triliun, sementara pembayaran bunga utang mencapai Rp441 triliun, lebih dari lima kali lipat anggaran kesehatan. Apakah ini cukup menjadi bukti bahwa Indonesia telah gagal dalam memberikan layanan publik, seperti definisi Myrdal?

Pendidikan di Indonesia juga mendapatkan kritik tajam. Data PISA 2018 menunjukkan Indonesia berada di peringkat 73 dari 77 negara yang diuji. Apakah ini menjadi bukti bahwa Indonesia telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar pendidikan, seperti yang ditegaskan oleh Chomsky?

Namun, pemerintah Indonesia membantah klaim tersebut. Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, menyatakan bahwa total anggaran pendidikan dan kesehatan tahun 2022 mencapai Rp649,3 triliun, masih lebih besar dibanding belanja bunga Rp386,3 triliun. Prastowo menekankan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh stabil di atas 5% dalam 6 kuartal berturut-turut, serta fakta bahwa Standard and Poor’s mempertahankan Sovereign Credit Rating Indonesia pada BBB dengan outlook stabil pada 4 Juli 2023.

Namun, skeptisisme masih ada dan ada pula yang menyerukan pemerintah untuk lebih meningkatkan alokasi anggaran kesehatan dan pendidikan.

Pada tahun 2023, Indonesia mendapatkan skor 65,6 dalam FSI, termasuk dalam kategori ‘Warning’, yang menunjukkan tantangan yang perlu dihadapi.

FSI-2023-Report_final

Berdasarkan indikator ini, Indonesia, seperti banyak negara lain, menghadapi beberapa tantangan, seperti korupsi, efektivitas pemerintah, kemiskinan dan ketidaksetaraan, pengangguran, serta pengungsi dan pengungsi internal.

Namun, pemerintah Indonesia telah berusaha menghadapi tantangan ini, misalnya meluncurkan inisiatif untuk mengurangi korupsi dan program untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan.

Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah upaya ini cukup untuk mencegah Indonesia menjadi negara gagal sistemik?

Menjadi negara gagal bukanlah takdir yang harus diterima oleh negara manapun. Dengan pemahaman, persiapan, dan aksi yang tepat, setiap negara memiliki potensi untuk menghindari kegagalan dan mencapai sukses. Bagi Indonesia, tantangannya adalah menerjemahkan pemahaman ini menjadi tindakan nyata yang dapat membangun fondasi yang kuat untuk masa depan yang sukses dan berkelanjutan.

Back to top button