News

Mobilisasi Petani dan Kades Rugikan Paslon 01 dan 03, Pakar Singgung Harus Ada UU Kepresidenan


Pakar Komunikasi Politik UGM dan Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad menilai setelah terbitnya surat edaran mobilisasi petani melalui kepala desa dalam kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Banyumas, Jateng pada Selasa (2/1/2024), akan merugikan pasangan calon presiden dan wakil presiden kubu 01, yaitu Anies-Muhaimin (AMIN) dan 03 Ganjar-Mahfud.

Nyarwi menyatakan selama ini penafsiran penggunaan fasilitas negara begitu melekat pada peserta kampanye, termasuk capres-cawapres, parpol, dan tim sukses (timses). “(Tetapi dalam konteks ini), apakah hanya sesempit itu? Nah bagaimana dengan penggunaan fasilitas negara atau kekuasaan negara, bukan hanya fasilitas bahkan kekuasaan negara oleh elite-elite itu yang di dalamnya ada conflict of interest?” ucap Nyarwi kepada inilah.com saat dihubungi di Jakarta, dikutip Rabu (3/1/2024).

Begitu juga, sambung Nyarwi, dengan tokoh-tokoh yang sedang maju dalam persaingan capres-cawapres pada Pemilu 2024.

Ia pun menilai bahwa tentunya pasangan 02, yaitu Prabowo-Gibran akan merasa apa yang dilakukan Jokowi adalah hal yang wajar, mengingat posisinya sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan.

“Tapi bagi 01 dan 03, tentu itu dianggap tidak fair. Bisa jadi tidak fair. Nah ini balik lagi soal bagaimana konsensus yang dibangun dalam menafsirkan aturan itu,” jelas Nyarwi.

Bahkan ia menyinggung UU Pemilu ke depannya tentu harus diperbaiki, mengingat adanya kondisi seperti hari ini, yaitu ketika anak presiden menjadi cawapres, di sisi yang lain presiden tersebut sedang berkuasa.

“Atau bisa juga ketika presiden sedang mencalonkan diri lagi misalnya, apakah dia menggunakan berbagai fasilitas itu. Nah itu juga kondisi-kondisi itu perlu diatur secara rinci,” terang Nyarwi.

“Khususnya, bukan hanya aparat atau birokrasi apapun yang powerful, sebenarnya adalah presiden karena presiden di Indonesia luar biasa powerful,” lanjut dia.

Terlebih lagi, ungkap Nyarwi, Indonesia belum memiliki UU khusus yang mengatur tentang kepresidenan. Walau memang pada 2009 lalu sempat akan dibahas, namun muncul kekhawatirkan mengenai kesulitan yang dihadapi oleh presiden ketika menjalankan pemerintahan.

“Tapi bagaimana jika kondisinya itu terbalik, di mana parpol di parlemen itu tunduk di bawah ketiak presiden, kasarnya begitu. Atau presiden menjadi ‘ketua’ dari ketum-ketum partai, bagaimana jika itu terjadi,” ujar Nyarwi.

“Nah itu belum ada UU kepresidenan yang mengatur akuntabilitas penggunaan kekuasaan politik dan yang lain-lain oleh presiden, baik kepala negara maupun kepala pemerintahan. Termasuk ketika dalam kondisi pemilu hari ini,” tambah dia.
 

Back to top button