Market

Membaca ‘Kegentingan yang Memaksa’ dalam Perppu Ciptaker

Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) pada Jumat (30/12/2022). Kekosongan hukum jadi alasan kondisi kegentingan yang memaksa. Perppu ini pun diterbitkan menggantikan UU Nomor 11 Tahun 2020.

Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, alasan diterbitkannya Perppu karena adanya kekosongan hukum yang mengganggu iklim investasi.

“Genting atau tidak, itu sangat subjektif sebenarnya. Jika ditanyakan ke ahli hukum dan pengamat ekonomi, jawabannya akan berbeda-beda karena ini subjectif dan masalah kegentingan itu multitafsir,” katanya kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (2/1/2023).

Kegentingan yang Memaksa dari Persepktif Resesi Global

Terlepas dari perbedaan tafsir soal keadaan genting yang memaksa, David melihatnya dari sudut pandang ekonomi di mana tahun ini semakin banyak negara yang masuk ke dalam resesi. “Untuk 2023 ini banyak pihak memperkirakan (kondisi perekonomian) cukup berat,” ujarnya.

Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan memperkirakan sepertiga negara-negara di dunia dari 150 negara akan mengalami resesi tahun ini.

Pertumbuhan ekonomi China, yang merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia, sudah diprediksi turun di bawah pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan 2,7% pada 2023.

“Ini belum pernah terjadi sebenarnya. Jadi, rendah sekali untuk pertumbuhan ekonomi China yang biasanya tumbuh double digit dalam 10-15 tahun lalu,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat juga mengalami perlambatan. Beberapa negara Eropa bahkan akan jatuh ke dalam resesi. “Pendapat saya pribadi, Perppu ini ada alasannya juga. Kita butuh (kepastian hukum) investasi. Sumber pertumbuhan tahun ini memang kita tidak bisa mengandalkan ekspor, perlu investasi yang lebih kuat,” ucapnya tandas.

Investor Lihat Kekosongan Hukum

Menurut David, banyak investor yang melihat adanya kekosongan peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan Undang-Undang Ciptaker yang sebelumnya masih mengantung.

“Sebenarnya, (UU Nomor 11 Tahun 2020) inkonstitusional bersyarat. Ini agak susah juga buat mereka (investor) karena dinyatakan inkonstitusional tapi masih berlaku,” timpal David.

Karena itu, ia menegaskan, kondisi kegentingan yang memaksa untuk Perppu Ciptaker memenuhi syarat. “Tapi, kalau yang lain ditanya bisa berbeda. Secara ekonomi kondisi global memang mengkhawatirkan untuk 2023,” ucapnya tandas.

Lebih jauh David menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia memang positif alias masih jauh dari kata resesi yang mengandaikan pertumbuhan negatif tiga kuartal beruntun. “Tapi, Indonesia butuh penyerapan tenaga kerja yang cukup besar,” timpalnya.

Opportunity Cost

Jika ekonomi turun drastis dari posisi di atas 5% ke 4,5%, Indonesia akan kehilangan kesempatan untuk menyerap tenaga kerja akan hilang. “Opportunity cost-nya cukup besar!” timpal David.

Dengan investasi masuk lebih kuat dari perkiraan dengan adanya kepastian hukum dari Perppu Ciptaker diharapkan dampak resesi global dapat dicegah. “Ini supaya pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap baik di 2023,” imbuhnya.

Perppu nantinya akan kembali dibahas oleh DPR di periode pembahasan berikutnya karena Perppu tidak bisa bertahan dengan statusnya itu dan pada akhirnya harus menjadi Undang-Undang.

“Tidak bisa lebih dari setahun berstatus Perppu. Ini bisa ditolak atau lanjut sesuai dengan keputusan DPR nantinya. Jika disetujui oleh DPR, Perppu akan menjadi Undang-Undang,” imbuh David.

Seperti diketahui berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVII/2020, MK menyatakan, pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai ‘tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan’.

Kegentingan yang Memaksa Menurut UUD 1945

Jurnal Legislasi Indonesia menjelaskan, Pasal 22 UUD 1945 merupakan dasar hukum bagi Presiden menetapkan suatu Perppu. Pasal 22 ini terdiri dari 3 ayat yang berbunyi ‘(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut”.

Pasal 22 ayat (1) tersebut itulah yang memperkenalkan istilah ‘kegentingan yang memaksa’. Sebelum adanya perubahan UUD Tahun 1945 terdapat penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, pasal ini mengenai noodverordeningsrecht (hak untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa) presiden.

Aturan ini memang perlu diadakan agar keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan DPR.

Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh DPR.

Pasal 22 UUD 1945 tersebut menggunakan istilah ‘kegentingan yang memaksa’ yang dapat ditafsirkan adanya suatu keadaan yang genting yang memaksa untuk menanggulangi kegentingan tersebut dengan cara-cara di luar prosedur yang biasanya. UUD 1945, tidak menentukan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan kegentingan yang memaksa.

MK melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan 3 (tiga) syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku. Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum.

Kalaupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.

Dalam pengertian yang praktis, ‘hal ikhwal kegentingan yang memaksa’ menunjuk kepada persoalan keadaan yang dikecualikan dari keadaan yang bersifat normal atau state of exeption. Keadaan state of exeption digambarkan oleh Profesor Sosiologi, Kim Lane Scheppele, sebagai keadaan di mana suatu negara dihadapkan pada ancaman hidup-mati yang memerlukan tindakan responsif yang dalam keadaan normal tidak mungkin dapat dibenarkan menurut prinsip-prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan.

Memperhatikan kalimat yang tertera di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”, maka di dalamnya terdapat unsur subjektivitas dari presiden dalam menafsirkan dan menentukan tingkatan makna dari ‘hal ihwal kegentingan yang memaksa’ yang menjadi dasar diterbitkannya Perppu.

Keadaan-keadaan seperti apa yang bisa disebut sebagai kegentingan yang memaksa presiden untuk mengeluarkan Perppu, ada di tangan presiden sendiri menurut subjektivitasnya. Subjektivitasnya di dalam mengeluarkan Perppu akan berubah menjadi objektif ketika Perppu tersebut disetujui di dalam persidangan DPR berikutnya yang selanjutnya akan merubah Perppu menjadi undang-undang.

Di dalam persidangan DPR, Perppu akan dinilai apakah hal ihwal kegentingan yang memaksa itu benar terjadi atau akan terjadi yang dimaknai dengan pemberian persetujuan atau penolakan terhadap Perppu tersebut.

Back to top button