News

Nasib Rancangan KUHP Masih Gantung, DPR Belum Mau Mengesahkan

Nasib Rancangan KUHP (RKUHP) masih menggantung. DPR dipastikan tidak segera mengesahkan rancangan hukum pidana yang sudah lebih dari 50 tahun disusun.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, agenda paripurna DPR yang digelar pada Kamis (30/6/2022), tidak mengambil keputusan tingkat II RKUHP. Malahan Dasco menyebut perlu mendapat jawaban dari pimpinan Komisi III DPR untuk memastikan perkembangan pembahasan RKUHP.

“Sampai dengan saat ini dan jadwal paripurna besok kami belum ada (agenda) pengesahan RUU KUHP,” kata Dasco, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/6/2022).

Dasco mengaku tidak mengetahui perkembangan pembahasan RKUHP. “Prosesnya sampai di mana, nanti akan dicek di Komisi III DPR maupun Kesekjenan DPR,” ungkapnya.

Secara terpisah, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengatakan, RKUHP kemungkinan disetujui DPR menjadi undang-undang pada masa sidang kelima. Namun masih terbuka pula terjadi kemunduran.

“Intinya tidak boleh melanggar prosedur karena di DPR, prosedur yang paling utama. Biasanya kalau tidak mencapai target karena tata beracaranya, maka tidak bisa di-by pass,” kata Pacul.

Dia mengatakan semua fraksi di Komisi III DPR sudah sepakat terkait poin-poin yang ada di RKUHP. Sementara Wamenkumham Eddy OS Hiariej menilai RKUHP belum bisa disahkan DPR dalam waktu dekat.

Eddy mengungkapkan, DPR sudah memasuk masa reses pada pekan depan, sementara pemerintah masih harus merevisi poin-poin dalam draf RKUHP. Sedikitnya ada lima hal yang perlu diperbaiki.

Eddy mengungkapkan masih ada beberapa pasal yang harus diperbaiki berdasarkan masukan dari masyarakat. Namun dia tidak membeberkan pasal-pasal yang dimaksud.

Kemudian, pemerintah perlu memerhatikan rujukan pasal karena ada dua pasal yang dihapus sehingga terdapat nomor-nomor pasal yang berubah. Eddy juga menyebut draf RKUHP masih banyak salah ketik sehingga harus diperbaiki, dan perlu adanya sinkronisasi antara batang tubuh dan penjelasan.

Sedangkan hal lain yang perlu diperhatikan yakni soal sanksi pidana. “Jadi sanksi pidana ini kita harus mensinkronkan supaya tidak ada disparitas,” kata Eddy.

Pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva berharap Pemerintah dan DPR dapat memuat penjelasan dan batasan terkait pasal penghinaan presiden dalam RKUHP untuk mencegah munculnya pasal karet. Hamdan juga berharap agar penyusun undang-undang memberikan penjelasan lengkap di dalam RKUHP sehingga ruang multitafsir untuk pasal penghinaan presiden bisa hilang.

Hamdan berpandangan bahwa masyarakat di negara demokrasi memang memiliki hak untuk mengkritik pemerintah, serta menyampaikan atau mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pemerintah. Namun perlu diperhatikan pula cara penyampaian kritik yang tidak berkaitan dengan personal.

“Bagi saya, itu (pasal tentang penghinaan) termasuk bagian penting dalam membangun bangsa ini, tetapi batasan-batasan menjadi sangat penting untuk diperjelas agar tidak menjadi pasal karet,” ujarnya.

Back to top button