Kanal

Legitimasi Pemilu di Negeri yang Masih Menjalankan Demokrasi Nasi


“Tak ada Sunni atau Shiah, tiada Republik atau Demokrat, yang ada hanyalah berkuasa atau tidak!”—dialog antara Senator Meachum dengan Bob Lee Swagger yang diperankan Mark Wahlberg, dalam film yang beredar sejak 2007, “Shooter”

Konsisten absen dari sidang-sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selama 10 tahun masa kepemimpinannya, boleh jadi hanya pada 12 Maret 2024 lalu nama Presiden Joko Widodo disebut-sebut dalam forum internasional di level itu. Sayangnya, pada sidang Komite HAM PBB atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) di Jenewa, Swiss, itu nama Jokowi berkumandang dengan nada sumbang. Ia dipertanyakan peserta sidang.  

Seperti pernyataan pakar manajemen Kenichi Ohmae yang kian klasik, dunia memang terasa kian sempit. Pada sidang ICCPR tersebut, anggota Komite asal Senegal, Bacre Waly Ndiaye, menuding Presiden Jokowi tidak ksatria dan bersikap curang dalam gelaran Pemilu 2024 yang baru saja diumumkan hasilnya itu. Bacre Waly Ndiaye, komisioner senior yang berpengalaman dalam beragam misi PBB, misalnya misi HAM di Yugoslavia (1992), investigasi kejahatan perang di Rwanda (1993-1994) dan Papua Nugini (1995), itu secara khusus menyoroti netralitas Presiden Jokowi dalam momen Pemilu Presiden.

Ia bahkan terlihat jeli saat menyinggung status Gibran Rakabuming Raka dalam proses pencalonannya sebagai cawapres. “Setelah putusan di menit akhir yang mengubah syarat pencalonan, memperbolehkan anak presiden untuk ikut dalam pencalonan,” kata Ndiaye. Seraya menyoal pula soal isu-isu ketidaknetralan pejabat pemerintah dalam proses Pemilu, Ndiaye mempertanyakan kondisi hak politik warga negara Indonesia. Ia mengaku khawatir dengan kondisi demokrasi di Indonesia.

Berdasarkan pemberitaan media, wakil-wakil Indonesia di forum tersebut sama sekali tak menjawab pertanyaan bernada gugatan dari Ndiaye itu. Menurut Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal, menyatakan pemerintah Indonesia tidak sempat memberikan jawaban. “Mengenai komentar salah satu anggota Komite HAM dari Senegal dan beberapa pertanyaan lain, memang tidak sempat ditanggapi karena pertanyaan cukup banyak dan waktu tidak memungkinkan,” kata Iqbal dalam sebuah keterangan pers yang beredar Senin (18/3) lalu.

Selain itu, wakil-wakil Indonesia pun tampaknya tak menganggap hal itu sebagai pertanyaan yang perlu mendapatkan prioritas. Menurut Iqbal, sidang tersebut dilaksanakan dalam rangka dialog interaktif membahas HAM. Jadi, pertanyaan itu tidak relevan dengan tema sidang tersebut. “Sidang Komite HAM PBB mengenai Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) adalah pertemuan rutin yang sifatnya dialog interaktif antara Komite HAM dengan negara pihak, antara lain guna mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas, bukan untuk mengadili pelaksanaan HAM di antara negara-negara pihak,” kata Iqbal.

Alhasil, bukan hanya di dalam negeri, hasil Pemilu 2024, terutama Pilpres, tampaknya juga menjadi catatan warga dunia.

 

post-cover
Pidato Pertama Prabowo Subianto di Rumah Kertanegara No. 4, Jakarta Selatan Usai ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2024  (Foto: Inilah.com/ Clara Anna Scholastica)

Meski pahit bagi pasangan AMIN dan sekian puluh juta warga pendukungnya, mungkin pernyataan Prabowo Subianto saat menyambangi Surya Paloh di NasDem Tower, Jumat (23/3), ada benarnya. Menurut bakal presiden ke depan itu, rakyat Indonesia menginginkan pemimpin-pemimpinnya rukun. Kompetisi, persaingan, pertandingan, kata dia, itu diperlukan. Namun, setelah itu harus ada kerukunan.

“Rakyat perlu pilihan, kompetisi, persaingan pertandingan. Tetapi sesudah pertandingan, sesudah persaingan, saatnya kita kerja sama, saatnya kita bahu membahu untuk bangun bangsa kita, itu saya kira paling penting,” kata Prabowo. Sikap yang berbeda manakala pada 2014 dan 2019 berturut-turut, ia pun ngotot membawa perselisihan hasil Pemilu itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kebanyakan pengamat politik pun tampaknya kini melihat persoalan Pilpres dengan kacamata pragmatis. Umumnya mereka melihat proses persidangan MK tak akan membawa hasil signifikan. Bukan hanya itu, guliran upaya menegakkan Hak Angket di Dewan Perwakilan Rakyat pun akan kempes sendiri.

Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, bahkan menyebut upaya Tim Hukum Pasangan AMIN membawa perselisihan itu ke MK hanya sebuah usaha propaganda.”Ini propaganda doang kok,” kata Margarito saat dihubungi INILAH.COM. Hasilnya, menurut dia sudah terang benderang. “Hasil akhirnya, putusannya, akan ditolak. Selisihnya sekitar 50 persen! Selisih 5 persen saja nggak bisa dibuktikan, kan? Apalagi selisih 50 persen gitu,” kata Margarito, mengingatkan putusan MK soal perselisihan Pemilu tahun-tahun sebelumnya.  

Tentang tuntutan mendiskualifikasi Gibran, Margarito malah mengatakan hal itu konyol.”Nggak, nggak. Itu konyol deh. Dengan segala hormat saya kepada mereka,  saya rasa itu permintaan yang sangat tidak masuk di akal.” Persoalannya, kata dia, seharusnya hal itu dibawa ke pengadilan, dan sudah kasip.”Forumnya bukan di situ. Masalah itu, meminta pasangan Pak Prabowo sama Mas Gibran didiskualifikasi, forumnya bukan di MK.”

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin, juga cenderung sependapat dengan Margarito. Dengan fakta bahwa Partai Nasdem, PKS dan PKB mulai meninggalkan Anies, serta memberikan sinyal meminta perhatian Koalisi Indonesia Maju (KIM), Ujang meminta berlapang dada.

Dalam kacamatanya, Anies hanya dimanfaatkan parpol-parpol. “Ketika Pilpres sudah beres, pemenang sudah diumumkan, ya selesai pula (mereka) menggunakan jasa Anies itu. Itulah politik. Itu risiko politik yang harus diterima Anies,” kata Ujang.

Dua pengamat politik lainnya yang dihubungi INILAH.Com hanya menguatkan sipongang yang membuat muram kubu AMIN. Kalimat yang dipilih pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago terkesan alpa tenaga. Ia terkesan kecewa dengan fakta keberadaan partai politik Indonesia saat ini.

Baginya, parpol-parpol yang ‘kalah’ tak pernah bisa kuat bertahan dalam posisi sebagai oposisi. “Partai memburu rente di eksekutif dengan terus berupaya bergabung ke koalisi pemerintah dalam rangka pemenuhan kebutuhan logistik demi keberlangsungan partai,” kata Pangi kepada INILAH. Com. Citra oposisi di negeri ini, kata Pangi, adalah dhuafa dan kere. “Parpol nggak kuasa menjadi partai yang puasa berkuasa.”

Sementara Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS), Agung Baskoro, saat dihubungi justru mengingatkan bahwa sejak awal dirinya berkali-kali menya-takan bahwa nasib Hak Angket tak lain kecuali seperti judul lagu lawas yang dipopulerkan penyanyi Rafika Duri,”Layu Sebelum Berkembang”. “Mengapa? Pertama, sampai hari ini seluruh partai yang (disebut-sebut akan) mengajukan Hak Angket itu masih berada dalam kabinet, kecuali PKS. Nggak ada arahan untuk menarik menteri keluar dari kabinet. Bahkan (untuk menarik diri) dari Pak Jokowi sendiri,” kata Agung. Semua itu, kata Agung, menjadikan kedua pihak—para pemrakarsa Hak Angket, dan Jokowi–terkunci satu sama lain.”Tapi yang terkunci dan tersandera itu, ya kubu yang memprakarsai Hak Angket itu sendiri.”

                                                

post-cover
Presiden terpilih Prabowo Subianto (kanan) berjabat tangan dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh (kiri) saat memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan tertutup di NasDem Tower, Jakarta, Jumat (22/3/2024). (Foto:Antara/Galih Pradipta). 

Tetapi apa yang terjadi di hari-hari ini belum tentu tak membawa konsekuensi ke depan. Paling tidak, sebagaimana telah diungkap banyak pihak, sejarah tetap akan mencatat Pemilu 2024 sebagai Pemilu paling bermasalah. Mungkin saja Pemilu 2024 pun akan dianggap anakronisme, karena terjadi di era Reformasi, bahkan di milenium ketiga saat peradaban manusia sudah melewati era informasi.    

Bagi Juru Bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Chico Hakim, paling tidak gambaran Pemilu ini menjadi cerminan citra Jokowi di mata dunia. Dia sendiri tak yakin akan adanya implikasi serius untuk waktu dekat. Namun di waktu ke depan, bila indeks demokrasi Indonesia semakin turun, daya tawar Indonesia terkait HAM dalam forum forum PBB atau forum internasional lainnya melemah, menurutnya itu tak lepas dari apa yang di hari-hari ini terjadi.

“Ini menjadi coreng hitam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia di mata internasional,” kata Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA) Fadhli Harahap. Bagi dia, demokrasi Indonesia di era Jokowi jatuh pada titik nadir, khususnya setelah Mahkamah Konstitusi meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024, Oktober 2023 lalu.

Sebenarnya, carut-marut Pemilu tampaknya hanya menguatkan persepsi dunia terhadap demokrasi Indonesia yang sejatinya sudah kian dianggap buruk. Pada hari H pencoblosan, Time Magazine, dalam artikel “What to Know About Prabowo Subianto as Uncertainty Looms for Indonesia’s Democracy”, menyebut kemungkinan Indonesia di era Prabowo sebagai pertanda ‘era ketidakpastian baru bagi demokrasi Indonesia’, selain menggarisbawahi beberapa hal kontroversial dari kemenangannya.

Sementara The Guardian, sehari kemudian, mengunggah editorial berjudul “The Guardian view on Indonesia’s elections: Prabowo’s win dismal news for democracy”. Di dalamnya The Guardian menulis, banyak yang meramalkan “musim dingin di Indonesia akan datang”. Presiden baru, kata media Inggris tersebut, mungkin akan menyimpulkan bahwa ia tidak membutuhkan otokrasi langsung, tetapi dapat mencapai apa yang ia inginkan dalam sistem yang ada saat ini.

The Economist, dalam artikel “What is worrying about Indonesia’s new president”, menulis bahwa Prabowo sepertinya tidak akan memperkuat demokrasi di Indonesia. “Pak Prabowo adalah mantan jenderal kontroversial dengan sejarah mengkhawatirkan yang telah mengubah citra dirinya menjadi sorang kakek menggemaskan,” tulis The Economist.

Media-media asing lainnya seperti BBC (“Prabowo Subianto: The tainted ex-military chief who will be Indonesia’s new leader”), The Washington Post, The Straits Times (“Prabowo on track to becoming Indonesia’s next president, with three-quarters of sample votes counted”), Channel News Asia (CNA), Australian Broadcasting Corporation/ABC (“Prabowo Subianto claims victory in Indonesia’s election, as counting continues in world’s largest single-day vote”), Nikkei ASIA, Al Jazeera, South China Morning Post (SCMP), yang selain mengangkat soal kemenangan Prabowo di kisaran 58 persen suara, juga menyoroti praktik lancung dalam upaya memenangkan Prabowo-Gibran. Tak ketinggalan The New York Times (NYT) yang menyoroti bahwa masuknya Gibran ke dalam pemerintahan ke depan merupakan upaya Presiden Jokowi untuk menjaga pengaruhnya di politik Indonesia pascamasa jabatannya usai. Artikel NYT itu juga menyoroti berbagai persoalan hukum dan konstitusi yang menjangkiti pemerintahan Jokowi pada periode kedua, seperti pelemahan KPK, pengesahan omnibus law yang ugal-ugalan, hingga kasus MKMK. Artinya, memang dunia pun telah mencatat.

Namun tak semua komentar para londo itu semuanya miring. Analis lulusan Lowy Institute-Australia, Ben Bland, menyatakan optimismenya. Menurut Bland, demokrasi di Indonesia lebih kuat dari siapa pun orang kuat. Bland mencatat, meski ada kekhawatiran tentang konsekuensi di balik kemenangan Prabowo, ia yakin hal itu tidak akan menimbulkan ancaman eksistensial bagi Indonesia.

Demokrasi Indonesia, kata Bland, tetap tangguh dan kokoh meskipun diterpa erosi dari beberapa checks and balances. Ia merujuk pada warga sipil yang dinamis, masih adanya media investigasi, dan sistem politik yang terdesentralisasi sebagai kendala bagi kekuasaan presiden.

“…Antusiasme pemilih Indonesia terhadap Prabowo tidak menunjukkan kekecewaan (mereka) terhadap demokrasi; sebaliknya, hal ini mencerminkan keyakinan mereka bahwa ia akan menjunjung tinggi warisan ekonomi Jokowi yang positif—dan keyakinan implisit mereka bahwa lembaga-lembaga demokrasi mereka dapat mengendalikan presiden yang berkemauan keras sekalipun.”  Wajar, Bland yang londo luput melihat guyuran hujan beras, dalam bentuk Bansos, besar kemungkinan memengaruhi para pemilih itu seiring Pemilu. Tak ada hubungannya sedikit pun dengan kepuasan atau kekecewaan akan demokrasi.  

Benar kata Iwan Fals dalam lagunya, barangkali demokrasi yang kita gulirkan masihlah Demokrasi Nasi.  [dsy/clara anna/ rizki putra aslendra/vonita betalia]

Back to top button