Market

Kuota Impor Daging Sapi Disunat 37 Persen, DPR Pertanyakan Data Bapanas


Anggota Komisi VI DPR, Amin AK mengkritisi rencana importasi daging pemerintah. Alasannya untuk memenuhi permintaan di dalam negeri. Benarkah?

Untuk itu, dirinya mementingkan penghitungan neraca daging. Khususnya, berapa kebutuhan dalam negeri serta kapasitas produksinya. Angkanya harus dihitung dengan cermat alias tidak main-main.

“Keputusan berapa banyak volume impor pangan, termasuk daging, itu didasarkan neraca antara kebutuhan di dalam negeri dan kapasitas produksi di dalam negeri. Karena itu, saya meminta pemerintah mampu menghitung neraca daging secara nasional dengan tepat,” kata Amin di Jakarta, dikutip Senin (25/3/2024).

Tujuan impor tersebut agar harga daging di pasaran stabil dan terjangkau di masyarakat. Namun, keterlambatan pemberian Surat Perizinan Impor (SPI) dari pemerintah ke importir daging turut menghambat pasokan daging di masyarakat. “Jangan sampai gara-gara data yang tidak akurat, baik peternak rakyat maupun konsumen dirugikan. Akibat kesalahan data ini,” kata Amir.

Merujuk data Badan Pangan Dunia (FAO), angka konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia sebesar 2,57 kilogram per kapita per tahun. Sehingga, kebutuhan konsumsi daging sapi nasional 2024, diperkirakan 720.375 ton.

Kemudian merujuk prognosa neraca pangan nasional 2024 yang disusun Badan Pangan Nasional (Bapanas) per 27 Januari 2024, rencana impor daging sapi bakalan dan kerbau pada 2024 mencapai 389.024 ton. Sementara produksi dalam negeri diperkirakan hanya 422.649 ton.

Peran Bapanas dalam menentukan volume impor daging mendapat sorotan Amin. Menurut dia, perlu ada sinkronisasi dengan data produksi dalam negeri.

“Kalau kemudian, Bapanas mengoreksi volume impor daging dari 389.024 ton menjadi 145.251 ton, atau sekitar 37,33 persen dari rencana semula, maka bisa dipastikan ada masalah dengan data produksi dalam negeri kita. Kementerian Pertanian sebagai penyedia data, seharusnya bisa memberi penjelasan, berapa sebetulnya populasi sapi dan kerbau di dalam negeri dan berapa produksi daging setiap tahunnya,” jelas Anggota DPR Dapil Jatim IV tersebut.

“Perbedaan atau koreksinya sangat besar. Sehingga sangat mungkin berdampak pada neraca antara kebutuhan dan pasokan. Jangan sampai gara-gara data yang tidak akurat, baik peternak rakyat maupun konsumen dirugikan akibat kesalahan data ini,” kata Amin.

Selain itu, sambung dia, Kementerian Perdagangan (Kemendag) juga harus mempertimbangkan waktu (timing) yang tepat dalam menerbitkan izin impor sapi bakalan maupun impor daging beku. Kemendag juga perlu mengutamakan nasib para peternak sapi lokal.

“Dengan manajemen impor yang tepat, di satu sisi stabilitas pasokan dan harga akan terjaga dengan baik. Di sisi lain, peternak sapi rakyat juga tidak merugi akibat harga yang tiba-tiba anjlok,” pungkasnya.

Kesemrawutan data di lapangan turut mempengaruhi volume impor. Disatukannya data jumlah sapi bakalan dan sapi siap potong di dalam negeri berdampak pada jumlah pasokan dalam negeri.

Berdasarkan data yang dihimpun importir, ketetapan pemerintah dalam menaikan angka konsumsi daging menjadi 2,9 kilogram per kapita seharusnya juga dibarengi dengan penambahan volume impor.

 

Back to top button