News

Kunjungan Xi Jinping ke Putin, Masih Jauh dari Misi Perdamaian

Awal pekan ini semua mata tertuju pada kunjungan berisiko tinggi Presiden China Xi Jinping ke Moskow. Peristiwa ini hanya beberapa saat setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi tersangka penjahat perang dengan surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda.

Pada Selasa (21/3/2023), Xi dan Putin menandatangani deklarasi bersama yang memperdalam kemitraan China-Rusia, lebih dari setahun setelah mereka menyatakan hubungan ‘tanpa batas’ di Beijing sebelum Putin meluncurkan ‘operasi militer khusus’ di Ukraina.

Xi memiliki ambisi untuk menjadi pemimpin yang lebih hebat dari para pendahulunya: Mao Zedong yang disebut bapak pendiri Republik Rakyat China, Deng Xiaoping mengamankan kembalinya Hong Kong, dan Jiang Zemin mengawasi kembalinya Makao.

Ada kekhawatiran Barat bahwa China mungkin mendukung Rusia secara militer. Namun, China menegaskan telah berjalan di atas tali politik dengan prinsipnya yang telah lama dipegang untuk menghormati kedaulatan nasional.

Pertemuan tersebut tidak menghasilkan terobosan untuk menyelesaikan konflik di Ukraina. Menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri China, kedua pemimpin menyerukan penghentian tindakan yang ‘meningkatkan ketegangan’ dan ‘memperpanjang’ perang di Ukraina. Namun, pernyataan itu tidak mengakui invasi dan serangan militer Rusia adalah penyebab kekerasan dan krisis kemanusiaan yang berkelanjutan di Ukraina.

Dalam pertemuan itu, hubungan ekonomi antara China dan Rusia akan diperkuat, dengan pernyataan bersama tentang rencana pengembangan kerja sama ekonomi hingga 2030. Putin juga mengatakan bahwa kesepakatan tentang pipa Power of Siberia 2 yang baru untuk mengalirkan gas Rusia ke China secara praktis telah diselesaikan.

Ini akan memberi Putin pelanggan utama untuk menggantikan Eropa sekaligus membantu Xi memenuhi kebutuhan energi China yang terus meningkat untuk menggerakkan ekonominya. Kedua negara juga akan memperluas perdagangan bilateral mereka ke rekor US$190 miliar pada tahun 2022, meskipun ini hanya 3 persen dari total perdagangan China tahun itu.

Kedua negara telah melanjutkan kerja sama keamanan mereka. Militer China selama ini berpartisipasi dalam latihan ‘Vostok’ (Timur) Rusia pada September 2022. China juga bergabung dengan Rusia dan Iran untuk latihan angkatan laut di Teluk Oman dalam latihan ‘Security Bond-2023’.

Berharap jadi teman tanpa batas

Pendiri dan presiden Bo Zhiyue China Institute, Prof. Bo Zhiyue mengungkapkan, Xi tidak secara terbuka mendukung perang Putin. China mengambil posisi yang lebih netral daripada yang mungkin diharapkan Putin dari seorang teman ‘tanpa batas’. “Tetapi China juga tidak mengutuk perang tersebut, setelah abstain dari beberapa putaran pemungutan suara di Perserikatan Bangsa-Bangsa,” kata Prof. Zhiyue, mengutip Channel News Asia.

Xi telah telah menyampaikan keprihatinannya tentang perang kepada Putin ketika mereka bertemu pada September 2022 di Uzbekistan, pada saat suara Kremlin membicarakan kemungkinan penggunaan senjata nuklir oleh Rusia. Pada peringatan pertama invasi, China merilis rencana perdamaian 12 poin dan memperingatkan agar tidak menggunakan senjata nuklir dan menyerukan pembicaraan mendesak.

Putin sendiri mengatakan bahwa rencana perdamaian yang diusulkan China, dapat diambil sebagai dasar penyelesaian damai. Meskipun Xi lebih suka melihat Putin memenangkan konflik, ancaman eskalasi nuklir begitu menakutkan sehingga Beijing telah berulang kali memberi isyarat kepada Moskow untuk menghindari ancaman nuklir.

Bisakah Xi membawa Rusia dan Ukraina kembali ke meja perundingan? Xi mungkin mencoba, tetapi baik Ukraina maupun Barat tidak akan menerima mediasi oleh pihak yang telah menegaskan dukungan untuk Rusia selama ini.

Kemitraan ‘tanpa batas’ China dan Rusia yang dideklarasikan hanya beberapa minggu sebelum invasi, diperkirakan telah memberi Putin kepercayaan diri untuk melancarkan perangnya. Dukungan China yang lebih terbuka juga dapat meyakinkan Barat bahwa perang Ukraina meningkat menjadi konflik besar Eurasia, dengan Rusia dan China di satu sisi dan Barat di sisi lain.

Bisa seperti Afghanistan

Sementara itu Profesor Hubungan Internasional di Departemen Ilmu Politik di Universitas Nasional Pusan, Robert Kelly mengungkapkan, risiko perang Ukraina bisa menjadi pengulangan invasi Soviet ke Afghanistan pada tahun 1979 – sebuah blitzkrieg yang berubah menjadi rawa yang panjang dan tidak dapat dimenangkan. “Soviet akhirnya lelah dan mundur. Rusia kemungkinan akan menemui nasib yang sama di Ukraina jika tidak bisa menang tahun ini,” kata Prof. Kelly.

Putin tentu saja tidak akan membicarakan hal ini kepada Xi. Namun, kemungkinan bantuan China akan menjadi subteks dari pertemuan tersebut. Perekonomian China besar dan beragam. Itu dapat menghasilkan banyak hal yang dibutuhkan Putin untuk menang, yang paling jelas adalah amunisi dan microchip.

Semua orang ingin menghindari skenario menakutkan itu. Organisasi Perjanjian Atlantik Utara (NATO) mungkin menekan Ukraina untuk membuat konsesi guna mengakhiri perang. Ini sudah lama menjadi harapan Putin.

Masih menurut Robert Kelly, meskipun bantuan China akan sangat bagus untuk Putin, sulit untuk melihat sisi positifnya bagi China. Amerika Serikat telah memperingatkan China bahwa dukungan militer langsung untuk Rusia akan membawa respons ekonomi dan keuangan AS.

China masih membutuhkan akses ke pasar Barat, teknologi, dan modal untuk memacu pertumbuhannya. “Ini sangat sensitif terhadap pertumbuhan rendah, karena janji pertumbuhan yang kuat telah lama menjadi sumber legitimasi Partai Komunis China. Dan aspirasi negara adidaya China masih membutuhkan hubungan dagang yang kuat dengan negara-negara demokrasi yang kaya,” katanya.

Putin sekarang dalam masalah, terjebak dalam perang gesekan melawan Ukraina dan pendukung Baratnya dengan sumber daya yang jauh melebihi Rusia. Sementara berharap besar kepada China juga masih belum ada kepastian.

Akankah prediksi bahwa Rusia akan meninggalkan gelanggang perang mengulang apa yang terjadi di Afghanistan? Kita lihat saja.

Back to top button