News

KSAU Kaji Soal Pertahanan Udara di IKN Nusantara

Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo mengatakan pihaknya ikut mengkaji pertahanan udara di Ibu Kota Nusantara (IKN) sekaligus mempelajari hasil kajian yang dibuat oleh lembaga lain.

Dari kajian itu, TNI AU mengusulkan kepada pemerintah mengenai alutsista dan teknologi yang memadai untuk pertahanan udara di IKN.

“Ke depannya, kami juga membuat kajian, dan kami juga mempelajari kajian-kajian yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain, dan kami juga terus berkomunikasi dengan Kementerian Pertahanan, memberi masukan seperti apa yang kira-kira suitable (cocok) untuk pertahanan udara di IKN, karena itu juga menyangkut anggaran, teknologi (apa yang cocok) 20 tahun, 30 tahun ke depan, kira-kira seperti apa,” kata Marsekal TNI Fadjar mengutip dari ANTARA di Jakarta, Rabu (31/5/2023).

Dia mengatakan pihaknya mengusulkan beberapa kebutuhan TNI AU ke Kementerian Pertahanan (Kemenhan) terkait hal ini. Salah satu usulannya adalah penggunaan alutsista dan teknologi buatan dalam negeri.

“Tentunya, masukan kami juga melibatkan produk dalam negeri, karena kita harus semakin mandiri di situ ya,” kata Kasau.

Sementara itu, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim pada minggu lalu (25/5/2023) menyoroti kerawanan wilayah IKN Nusantara terutama dari sisi perairan dan ruang udara.

Chappy menjelaskan wilayah IKN Nusantara di Kalimantan Timur berada di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II yang merupakan perairan terbuka sebagaimana diatur dan dilindungi dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982.

Pertahanan Udara IKN Masih Rawan

Namun, Chappy saat memberi paparan dalam seminar yang digelar Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI menjelaskan masih ada perdebatan (dispute) dalam memahami keterbukaan wilayah perairan yang diatur UNCLOS dengan kedaulatan ruang udara suatu negara yang disepakati oleh negara-negara dalam Konvensi Chicago 1944.

“IKN berdekatan dengan ALKI alur laut kepulauan Indonesia, dan kalau bicara ALKI kita bicara hukum udara internasional, hukum laut internasional, dan masih ada dispute di situ. UNCLOS memberi pengakuan kita sebagai negara kepulauan dengan satu imbalan-nya, persyaratan-nya, kita harus memberikan innocent passage. Kita harus memberi jalur bebas melintas. Itu hukum laut,” tutur Chappy Hakim.

Namun, hukum udara internasional, sebagaimana disepakati dalam Konvensi Chicago 1944, tidak mengenal ruang udara yang bebas.

Dia menjelaskan persoalan muncul karena innocent passage (perairan bebas dan terbuka) yang diatur oleh UNCLOS juga memfasilitasi pesawat-pesawat yang diangkut kapal-kapal untuk terbang dan melintas.

“Hukum udara internasional tidak mengenal itu. Hukum udara internasional tidak mengenal innocent passage, tidak mengenal jalur bebas. Itu sebabnya kerawanan IKN akan bertambah dengan adanya alur laut kepulauan Indonesia, yang ALKI II,” ujar Chappy Hakim.

Dia lanjut menilai kerawanan ruang udara IKN bertambah ketika ada ancaman penerbangan liar/penerbangan tanpa izin, misalnya, yang melintas dari kawasan Selat Malaka.

“Kita sulit mendeteksi karena di wilayah Selat Malaka wilayah kedaulatan kita pengelolaannya didelegasikan ke negara lain untuk 25 tahun, dan (dapat) diperpanjang,” kata dia.

Back to top button