News

KPU Revisi Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023, Harus Dimaknai Adanya Pelanggaran Hukum

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) di legislatif menyoroti kebijakan KPU yang akan melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 harus dimaknai sebagai pengakuan adanya pelanggaran hukum dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Adapun Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang ditetapkan oleh pengurus partai politik peserta pemilu tingkat kabupaten/kota memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.

MPKP mencakup Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), dan Puskapol UI.

“Peristiwa pelanggaran hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD tidak seharusnya terjadi apabila KPU mempunyai komitmen yang tinggi melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai kewajiban hukumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 14 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2017 yang menyebutkan KPU memperlakukan peserta pemilu secara adil dan setara,” kata MPKP dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (10/5/2023).

Menurutnya, KPU dalam menggunakan kewenangan menerbitkan peraturan juga harus senantiasa mematuhi sumpah jabatan sebagaimana diatur Pasal 36 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi “memenuhi tugas dan kewajiban sebagai anggota KPU sesuai Peraturan Perundang-undangan dan UUD NRI 1945 serta melaksanakan tugas dengan bersungguh-sungguh demi tegaknya demokrasi dan keadilan”.

Tidak hanya itu, sebagai Negara Peserta Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan (the Convention of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 1984, Indonesia, dalam hal ini DPR dan Pemerintah berkomitmen mendorong keterwakilan perempuan dalam berbagai sektor kehidupan, termasuk dalam parlemen.

Komitmen ini sejalan dengan komitmen jaminan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan dalam UU Pemilu. Untuk memberi kepastian hukum pelaksanaan hak politik perempuan sebagai bakal calon anggota DPR dan DPRD, maka yang pertama adalah MPKP menuntut KPU memiliki sence of urgency, segera menetapkan revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dengan menyampaikan pemberitahuan kepada DPR dan Pemerintah.

Pernyataan KPU tentang akan merevisi PKPU 10/2023 harus segera diwujudkan dengan cepat dan mendesak. Hal ini mengingat ketentuan yang direvisi pada Pasal 8 ayat (2) merupakan ketentuan yang jelas bertentangan dengan UU Pemilu dan UUD NRI 1945.

“Jelas bahwa revisi PKPU 10/2023 seharusnya bersifat cepat dan mendesak. Karenanya, KPU harus segera melakukan pemberitahuan revisi kepada DPR dan Pemerintah, serta menetapkan revisi tersebut,” tambahnya.

Kedua, MPKP menuntut Penyelenggara Pemilu, seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP agar melaksanakan tugas dan fungsinya secara mandiri, profesional, transparan dan akuntabel.

Ia menilai lembaga Penyelenggara Pemilu harus menunjukkan performa dan etos kerja yang tunduk pada konstitusi dan UU, tidak terkecuali hanya pada komitmen merevisi PKPU Nomor 10 Pasal 8 ayat 2 dalam menegakkan prinsip affirmative action, tetapi pada keseluruhan proses dan tahapan Pemilu untuk memastikan Pemilu yang berkeadilan, berintegritas, dan inklusif.

“Bawaslu melaksanakan fungsi quality control untuk memastikan KPU bekerja sesuai peraturan-perundang-undangan untuk menjamin pelaksanaan dan perlindungan hak politik perempuan pada seluruh tahapan Pemilu,” terangnya.

Back to top button