News

Komersialisasi Ruang Didik, Sudah Merdeka-kah Pendidikan Kita?

Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat)

-Ki Hajar Dewantara-

Mungkin anda suka

“Pak menteri tolong di perhatikan ke sekolah. Ini baju (seragam) buat apa banyak-banyak,” ujar seorang ibu

Video ini sempet viral pada tahun 2021. Ketika itu seorang seorang ibu-ibu curhat ke Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek), Nadiem Makarim, minta agar seragam sekolah anaknya tidak terlalu banyak jenisnya.

Dua tahun berlalu keadaan tidak berubah. Sebuah SMA negeri di Tulungung, Jawa Timur pertengahan Juli kemarin mendadak viral lantaran terdapat orang tua murid yang mengunggah kwitansi biaya yang harus dia tanggung untuk menebus seragam sekolah anaknya. Totalnya mencapai Rp2.360.000.

Dalam rincian kwitansi itu, tertera pembayaran untuk 10 jenis seragam mulai putih abu-abu, pramuka, batik, khas, jas almamater, kaus olahraga, ikat pinggang, tas, atribut dan jilbab bagi siswi muslimah yang berjilbab.

“Sekolah memang  gratis tapi seragam dan buku bayar” begitulah kiranya tiap tahun keluhan itu hadir saat hari pertama masuk sekolah.

Memang ragam pungutan liar ini kerap bermunculan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bukan cuma seragam, ia (pungutan liar) juga menyasar ke buku sekolah maupun agenda-agenda yang sering kali diselipkan para pengurus sekolah, entah itu saat wisuda maupun kegiataan ekstrakulikuler.

Images 2023 07 26t152750.693 - inilah.com
Ilustrasi. Pedagang melayani calon pembeli saat berbelanja seragam sekolah untuk anaknya di Pasar Manis, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Kamis (7/7/2022).(Foto: ANTARA/Adeng Bustomi)

Pengamat pendidikan dari UIN Jakarta, Jejen Musfah, ketika berbincang dengan Inilah.com menilai, semestinya urusan seragam sekolah ini masuk dalam komponen biaya pendidikan yang ditanggung oleh Negara. Pun juga soal buku yang kadang jumlahnya tidak sedikit.

“Jadi harusnya gratis,” ujar Jejen.

Dunia pendidikan, menurut Jejen, janganlah dijadikan ajang komersial demi terwujudnya pembelajaran yang baik sesuai dengan amanat Undang-undang (UU). Persoalan seragam dan buku menurut Jejen, menjadi komersialisasi paling dasar yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia.

Lainnya, komersialisasi pendidikan bisa berbentuk mahalnya SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) namun tidak dibarengi dengan kemajuan fasilitas pendukung pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini, dikatakan Jejen, dapat ditemukan pada setiap jenjang di Indonesia, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Dalam perguruan tinggi hal ini bisa dilihat dari tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT) serta Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang harus dibayarkan khususnya oleh mereka yang diterima melalui seleksi mandiri, hal ini menunjukan semakin tinggi pendidikan maka semakin tinggi juga biaya yang harus dikeluarkan.

“Perguruan Tinggi Badan Hukum) secara subtansi tujuannya agar perguruan tinggi itu lebih punya keleluasaan di dalam peningkatan mutu. Kata kuncinya pada kata peningkatan mutu. Jadi mereka agar punya otonomi di dalam pengelolaan keuangan yang pada akhirnya pada dampak mutu, tetapi di dalam faktanya, PTN BH itu cenderung menjadikan orang tua  sebagai sumber pendapatan dana kampus,” ujar Jejen menyikapi soal komersialisasi pendidikan di dunia kampus.

Aksi Tolak Mahalnya Biaya Sekolah Di Jawa Barat Rilngd Prv - inilah.com
Aksi Tolak Mahalnya Biaya Sekolah Di Jawa Barat. (Foto:Antara)

Fenomena komersialisasi ini, menurut Kabid Litbang Pendidikan Perhimpunan Persatuan Guru (P2G), Feriansyah, bukanlah persoalan baru. Meskipun sudah tersedia BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk meringankan beban siswa pada sekolah dasar dan menengah, serta Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang disediakan untuk seluruh jenjang pendidikan, pada kenyataannya hal ini belum efektif dan bayang bayang biaya mahal yang harus dihadapi oleh siswa dan orang tua siswa.

Komersialisasi mengarahkan pendidikan menjadi seperti badan layanan umum, dimana seolah masyarakat berbisnis dengan negara. Artinya, memaksa masyarakat jika ingin mendapat pendidikan yang layak dan berkualitas maka harus menanggung biaya yang mahal.

“Seperti UKT itu kan fenomena-fenomena yang muncul bahwa negara menyediakan ke dalam mekanisme pasar. Kalau kamu mau kuliah bermutu kamu harus bayar yang mahal atau kalau mau dapat sekolah yang berkualitas harus bayar mahal, dan negara cenderung melepaskan tanggung jawabnya. Jadi dia (komersialisasi) lebih kepada pendidikan itu sebagai sebuah unit bisnis dari negara dan warga negara seakan-akan menjadi konsumen dari pendidikan,” kata Feriansyah kepada Inilah.com.

Dari sini, menurut Feriansyah, bisa dibayangkan bagaimana program wajib belajar 12 tahun akan berjalan jika untuk mendapatkan akses pendidikan diperlukan perhitungan finansial yang matang agar anak bisa menyelesaikan pendidikan. akibat dari komersialisasi pendidikan, sambung dia, salah satunya adalah putus sekolah.

Pertanyaannya, setelah 78 tahun Republik ini berdiri sudahkah merdeka pendidikan kita?, mengingat, kata Feriansyah “Filosofi negara kita mencerdaskan kehidupan bangsa”.

PTM, Didik Setiawan, SD, Sekolah Dasar, - inilah.com
Suasana Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 Persen di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kapuk 02 Pagi, Cengkareng, Jakarta, Rabu (13/7/2022). Foto: Inilah.com/Didik Setiawan.

Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengamini belum tuntasnya persoalan pendidikan di Republik ini. Dalam kondisi keuangan negara yang berat, menurut Dede Yusuf, pendidikan haruslah menjadi prioritas bagi negara.

“Pendidikan memang bukan murah, tapi juga jangan komersial,” ujar Dede Yusuf kepada Inilah.com.

Kader partai Demokrat itu mengatakan, komersialisasi di ruang didik ini berkaitan dengan delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang belum terpenuhi. Delapan standar ini mencakup, kompetensi lulusan, isi, proses, penilaian pendidikan, tenaga kependidikan; sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan.

Delapan standar ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2022.

“Jika ini sudah bisa dipenuhi. Maka biaya tambahan lainnya mestinya lebih kepada fasilitas tambahan,” kata Dede Yusuf. (Nebby/Clara/Rizky).

Back to top button