News

Klaim 300 Perda Bermasalah, KPPOD: Partisipasi Publik Sebatas Formalitas

Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N. Suparman menyatakan bahwa jika melihat UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda), untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dikategorikan menjadi empat hal.

“Pertama itu adalah pelayanan, kedua sumber daya, ketiga adalah peran serta masyarakat, dan keempat adalah daya saing daerah,” jelas Herman dalam diskusi publik bertajuk ‘Pentingnya Partisipasi Kelompok Marjinal dan Media untuk Kebijakan Publik yang Inklusif’ di Jakarta Pusat, Selasa (8/8/2023).

Dalam kajian KPPOD, ia menyebut bahwa partisipasi publik tentu menjadi indikator penting yang akan berpengaruh pada kebijakan publik, yang diambil oleh Pemda.

Keterlibatan itu, tutur dia, mesti dimulai dari proses perencanaan, proses penganggaran, pengesahan APBD, hingga pada tahap penyusunan kebijakan publik. “Bahkan publik itu penting dalam proses monitoring, pengawasan terhadap seluruh dimensi tadi,” sambungnya.

Namun, sayangnya partisipasi publik seakan hanya menjadi formalitas, hitam di atas putih saja. Tak hanya itu, isu penting pun seperti yang dihadapi oleh kelompok marjinal kurang terakomodir dengan baik.

“Kalau kita bicara partisipasi terutama bagaimana akses kelompok masyarakat marjinal ini, sebenarnya kalau di dalam UU Pemda, perlakuan khusus terhadap kelompok rentan itu menjadi bagian dari akses pelayanan publik,” ujarnya.

Ia menegaskan kata partisipasi, hanya menjadi hiasan dalam Perda. Itu terbukti dari semua kajian Perda, terdapat sekitar 300 lebih Perda yang bermasalah dan kalau ditelisik lebih dalam, ternyata dalam proses penyusunan rancangan Perdanya melibatkan kelompok-kelompok yang mendukung kebijakan tersebut.

Oleh karena itu, ia menilai bahwa partisipasi publik belum sampai pada keterlibatan yang bermakna. Menurutnya, level partisipasi masih sebatas konsultasi. Belum sampai tahap kelompok masyarakat bisa memberi masukan.

“Jangankan di level daerah, ketika kita misalnya RDP (Rapat dengar pendapat) di parlemen, bagaimana proses masukan kita disampaikan kepada publik, itu juga menjadi problem kita terutama kelompok rentan di daerah,” tutup Herman.

Back to top button