News

Isu Tiongkok Masih Penting di Pilpres Kali Ini?


Pada pemilu 2019, isu ‘karpet merah’ bagi Tiongkok mengemuka dan membangkitkan persepsi negatif mengenai platform kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo yang saat itu maju menjadi kandidat di Pilpres periode kedua. Apakah isu yang sama akan kembali mengemuka di Pilpres kali ini?

Mungkin anda suka

Kecelakaan di pabrik peleburan Stainless Steel PT Indonesia Tsingshan di Kawasan Industri Indonesia Morowali, Sulawesi Selatan, baru-baru ini yang menewaskan 21 pekerja Indonesia dan Tiongkok serta melukai banyak pekerja, telah membuat kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi kembali menjadi sorotan.

Kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Terdapat laporan buruknya standar kesehatan dan keselamatan di beberapa lokasi smelter yang dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan Tiongkok di Indonesia, bahkan menimbulkan beberapa kecelakaan. 

“Namun, pihak berwenang Indonesia tampaknya mengabaikan praktik yang aman demi mendapatkan lebih banyak investasi Tiongkok. Pemerintah nampaknya lebih mengutamakan pencapaian target ekonomi dibandingkan keselamatan pekerja,” ungkap analisa Leo Suryadinata dan Siwage Dharma Negara, keduanya dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, mengutip di Channel News Asia (CNA).

Leo Suryadinata adalah Visiting Senior Fellow, ISEAS – Yusof Ishak Institute dan Adjunct Professor di S Rajaratnam School of International Studies di NTU. Sementara Siwage Dharma Negara merupakan Senior Fellow dan Koordinator Program Studi Indonesia, dan Koordinator Pusat Studi APEC, ISEAS – Yusof Ishak Institute. 

Menurut analisa mereka, dengan satu bulan tersisa sebelum pemilihan presiden dan pemilihan umum pada 14 Februari, faktor Tiongkok mungkin berpotensi menjadi masalah pemilu. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Jusuf Kalla, mantan wakil presiden yang mendukung kandidat Anies Baswedan pada pemilu mendatang, mengatakan bahwa 90 persen industri nikel di Indonesia dikendalikan oleh Tiongkok.

Sebagian besar, atau bahkan seluruh, produk nikel dari smelter Indonesia diekspor ke Tiongkok untuk kebutuhan dalam negeri Tiongkok, sehingga hanya memberikan sedikit manfaat bagi Indonesia. Kalla juga mengkritisi kebijakan pemerintah yang menciptakan ketergantungan terhadap teknologi dari China, khususnya industri nikel.

Memang benar, meningkatnya pengaruh ekonomi Tiongkok telah menimbulkan persepsi beragam di Indonesia. Menjelang pemilu, topik dominasi Tiongkok dalam perekonomian bisa menjadi isu yang provokatif.

Pada pemilu tahun 2019, para penentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan isu yang sama untuk membangkitkan persepsi negatif mengenai platform kebijakan ekonominya, yang menurut mereka memberikan ‘karpet merah’ bagi Tiongkok. Apakah pola yang sama akan terjadi pada pemilu mendatang?

Indonesia Membutuhkan Investasi China

Para penulis ini berpendapat bahwa pemilu kali ini mungkin berbeda. Pertama, pemerintah Indonesia dan pemerintahan berikutnya memerlukan lebih banyak investasi Tiongkok untuk mendukung kebijakan hilirisasi, yang secara retoris didukung oleh ketiga calon presiden, meskipun dalam tingkat yang berbeda.

“Pemerintah saat ini secara terbuka mengundang negara asing untuk berinvestasi di industri pengolahan nikel mengingat Indonesia membutuhkan modal dan teknologi di bidang tersebut. Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Tiongkok meresponsnya, namun Tiongkok, yang menawarkan harga lebih kompetitif dan teknologi unggul, akhirnya menang. Keputusan ini terbukti penting bagi Indonesia untuk mempercepat kebijakan hilirisasi industri nikel,” ungkap Leo.

Kedua, siapa pun yang memenangkan pemilihan presiden harus menjaga hubungan baik dengan Tiongkok. Dalam tingkat yang berbeda-beda, ketiga calon presiden memandang Tiongkok sebagai mitra pembangunan yang terpercaya.

Misalnya, Anies Baswedan, saat menjabat Gubernur Jakarta, bertemu dengan Duta Besar Tiongkok saat itu Xiao Qian, untuk membahas potensi kota kembar. Ganjar Pranowo, sebagai mantan gubernur Jawa Tengah, memiliki hubungan baik dengan para pejabat Tiongkok dan provinsinya telah menerima investasi besar dari Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir.

Menteri Pertahanan yang juga kandidat Capres, Prabowo Subianto, juga tidak menolak peran investasi Tiongkok yang semakin meningkat di industri Indonesia. Ia bertemu beberapa kali dengan mantan rekan sejawatnya di tingkat menteri, Jenderal Wei Fenghe, untuk mendorong kemungkinan kerja sama industri antara militer Indonesia dan mitranya dari Tiongkok.

Dari segi kampanye, tidak ada calon presiden yang meremehkan peran Tiongkok yang semakin besar dalam perekonomian Indonesia. Namun, baik Anies maupun Ganjar baru-baru ini menyatakan bahwa mereka lebih memilih untuk mendiversifikasi kemitraan ekonomi Indonesia dengan negara lain, untuk mengurangi ketergantungan pada Tiongkok.

Ambisi Industri Indonesia

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi tetap memiliki pandangan positif mengenai hubungan bilateral masa depan dengan Beijing. Pada Desember 2023, Erick Thohir, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi sementara (saat Menteri Luhut Panjaitan sakit), menyatakan pada pertemuan Kemitraan Bisnis Indonesia-Tiongkok yang keempat di Nusa Tenggara Timur bahwa pemerintah mengapresiasi peran orang Tiongkok sebagai investor yang telah menjadi pionir industri, meletakkan fondasi industri hilir dan membantu mengembangkan daerah-daerah terpencil di Indonesia.

Erick menunjukkan bahwa melalui kemitraan strategis bilateral yang dimulai pada tahun 2013, beberapa pencapaian penting telah dicapai, termasuk Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung dan upaya transisi energi ramah lingkungan di Indonesia. Ia menambahkan, kerja sama Indonesia-Tiongkok akan langgeng karena dibangun berdasarkan rasa saling percaya dan saling menguntungkan.

Pada masa pemerintahan Jokowi, tidak diragukan lagi bahwa investasi dan peran ekonomi Tiongkok di Indonesia telah meningkat, sejalan dengan ambisi Indonesia untuk mendorong industrialisasi melalui infrastruktur dan hilirisasi industri.

Meski demikian, dominasi Tiongkok pada industri nikel di Indonesia masih memprihatinkan. Salah satu dampak dari iklim pemisahan ini adalah akses terhadap pasar Barat. Faktanya, produk nikel Indonesia tidak memiliki akses ke pasar AS, salah satunya disebabkan oleh “faktor Tiongkok” ini.

Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah berusaha untuk mengundang investasi yang lebih besar dari negara-negara Barat. Namun perhatian negara-negara Barat saat ini terganggu oleh permasalahan dalam negeri, perang Ukraina, dan krisis Gaza. Keinginan mereka terhadap perdagangan dan investasi internasional yang terbuka telah melemah.

Sebaliknya dan secara oportunis, Tiongkok telah mendapatkan mitra dan memperluas pengaruh ekonominya, khususnya di Afrika dan Asia Tenggara. Berdasarkan data resmi, hingga kuartal ketiga tahun 2023, Tiongkok dan Hong Kong menjadi investor terbesar kedua dan ketiga di Indonesia setelah Singapura, dengan total investasi mencapai US$3,5 miliar.

Meskipun faktor Tiongkok kemungkinan besar tidak akan menjadi isu kontroversial pada pemilu tahun 2024, Indonesia masih perlu secara hati-hati mengelola kekhawatiran masyarakat mengenai meningkatnya peran ekonomi Tiongkok, terutama ketika nyawa orang Indonesia menjadi taruhannya. Pemerintahan baru yang menggantikan Jokowi perlu terus mendiversifikasi kerja sama ekonomi Indonesia, termasuk dengan Australia, Kanada, dan Selandia Baru, Timur Tengah, dan Afrika.

Back to top button