News

Keruk Laut, Demi Cuan Atau Lingkungan?

Selain dianggap tumpang-tindih dengan aturan yang ada, PP 26/2023 dianggap hanya selimut dari niat pemerintah mengekspor pasir laut. Konon, borosnya biaya pemilu membuat banyak pihak gelap mata demi masuknya dana.

Sebagai tetangga, jasa Indonesia kepada Singapura tak terbilang banyaknya. Tidak hanya menjamin pasokan gas sekitar 700 juta standar kaki kubik (MMSCFD) per hari atau 60 persen kebutuhan negeri itu. Tidak juga cuma menjamin tetap menyalanya penerangan rumah, hotel, lampu jalan dan segala perangkat elektronika, karena jaminan pasokan listrik kita. Indonesia malah telah ikut memperlebar wilayah negara itu, dari 581,5 kilometer persegi menjadi 687,1 kilometer persegi di tahun 2002, itu menurut data Singapore Land Authority (SLA).

Semua karena sumbangan tak kurang dari 53 juta ton pasir laut per tahun yang kita ekspor selama 1997-2002, sebelum dihentikan pada 2003. Lha, bagaimana bisa? Bukankah dengan bertambahnya daratan, bergeser pula Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negeri yang berhadapan dengan wilayah Indonesia itu? Entahlah, namun itulah yang telah terjadi.

Tetapi yang lebih aneh bin ajaib, setelah 20 tahun dihentikan karena dampak negatifnya yang besar, pertengahan bulan lalu tiba-tiba Presiden Joko Widodo memperbolehkan kembali ekspor pasir laut itu. Itu dilakukan Presiden dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Aturan tersebut ditandatangani Presiden Jokowi pada 15 Mei 2023.

Stop di era Megawati

Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, sebenarnya sejak lama pemerintah Jokowi bernafsu untuk kembali mempraktikkan perdagangan komoditas era kuno yang tak memiliki value added apapun itu. Apa sih nilai yang ditambahkan pada pasir laut yang dikeruk lantas dijual itu? Yusri mengatakan, sebelumnya telah terbit Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia, yang memper-memper pada usaha untuk memberlakukan kembali perdagangan pasir secara internasional tersebut. “Namun dalam pelaksanaan di lapangan mendapat penolakan keras dari banyak organisasi nelayan di Kepulauan Riau,” kata Yusri. “Demonya pun berjilid jilid.”

Merekalah memang yang selama berlangsungnya ekspor pasir laut, 1997-2002, banyak mendapatkan mudharat praktik cari uang dengan gampang tersebut. Dengan sekian banyak keberatan saat itu, Presiden Megawati Soekarnoputri pun menghentikan kegiatan tersebut melalui SKB Tiga Menteri, yakni Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan serta Menteri Negara Lingkungan Hidup. SKB tersebut bernomor 89/MPP/Kep/2002, SKB.07/MEN/2002, 01/MENLH/2/2002, tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.

Alasan mendasar pelarangan itu disebutkan karena pemerintah menemukan kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut, berlangsung tidak terkendali. Kegiatan itu pun telah menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut. Terjadi keterpurukan nelayan dan pembudidaya ikan, bahkan lenyapnya pulau-pulau.

Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pelarangan itu tidak mengalami kaji ulang. SBY tampaknya banyak mendengarkan masukan dari para cendikia dan ahli lingkungan. Larangan itu bahkan dikuatkan SK Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Pada beleid itu disebutkan, dampak kerusakan lingkungan akibat kegiatan itu telah menyebabkan tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia, akibat penambangan pasir.

Pasir Laut
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman. [foto: arsip]

Catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dampak pengerukan pasir laut yang dimanfaatkan untuk diekspor ke Singapura itu telah menenggelamkan sedikitnya 20 pulau-pulau kecil di sekitar Riau, Maluku, dan kepulauan lainnya. Sementara terdapat 115 pulau kecil terancam tenggelam di perairan Indonesia. “Kalau yang di perbatasan, ada 83 pulau-pulau terluar atau terdepan yang terancam tenggelam,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional Parid Ridwanuddin, dalam diskusi virtual di Jakarta, Rabu (31/5) lalu.

Mungkin karena dampaknya yang dahsyat, hingga potensial menghilangkan pulau-pulau, yang berarti mengurangi luas daratan Indonesia, menurut Yusri ada sedikit upaya ala manuver Abu Nuwas dalam pemberlakukan kembali kegiatan ekspor tersebut dengan keluarnya PP 26 tersebut.

Misalnya, Yusri menyoal penjelasan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono pada konferensi pers di hadapan media massa, Rabu (31/5) lalu, yang menurut dia terkesan menyesatkan publik. Menurut dia, sukar dibantah kalau tujuan utama munculnya PP 26/2023 itu untuk ekspor pasir laut. “Urutan prioritas terakhir pemanfaatan pasir laut untuk tujuan ekspor yang ada di Pasal 9 ayat 2 PP 26/ 2023 itu terkesan hanya untuk mengecoh. Agar publik mengurangi tekanan terhadap kebijakan ekspor pasir laut itu,” ucap Yusri.

Apalagi, kata Yusri, saat ditanya wartawan apa yang menjadi pertimbangan utama penerbitan PP tersebut, Menteri Trenggono pernah menjawab bahwa pertimbangannya karena banyaknya permintaan pasir laut untuk kebutuhan infrastruktur proyek pemerintah, termasuk untuk reklamasi IKN dan lain-lain. “Ini adalah pernyataan yang menyesatkan publik, hanya untuk menutupi tujuan utamanya (yakni) untuk ekspor pasir laut ke Singapura,” kata Yusri dalam keterangan resminya, akhir Mei lalu.

Kalaupun Menteri KKP menyatakan ekspor baru dilakukan bila kebutuhan pasir laut dalam negeri sudah tercukupi, Yusri menilai hal itu enteng diucapkan namun sulit dipraktikkan di lapangan. “Tanpa pengawasan super ketat di lapangan, akan sulit dikontrol. Dilarang saja yang ilegal banyak terjadi, apalagi (saat) dibolehkan,” kata dia kepada Inilah.com.

Nilai rupiah dan pemilu

Hal lain yang banyak dipertanyakan publik seiring keluarnya PP 26 tersebut adalah alasan sejati keluarnya PP itu. Itu pun sebenarnya bukan tidak dijawab pemerintah. Hanya saja, nuansa skeptisisme atas jawaban tersebut masih terasa kental di ruang publik.

Menteri Trenggono, misalnya, mengatakan bahwa peraturan tersebut terbit didorong oleh tingginya permintaan reklamasi di dalam negeri. Dengan adanya beleid tersebut, diharapkan bisa mengantisipasi pengerukan pasir laut yang bisa berdampak terhadap kerusakan lingkungan. “Salah satu hal yang akan saya sampaikan bahwa kebutuhan reklamasi dalam negeri begitu besar. Kalau ini kita diamkan, tidak diatur dengan baik, maka bisa jadi pulau-pulau diambil untuk reklamasi, atau sedimen di laut malah diambil, akibatnya kerusakan lingkungan ini yang kita jaga dan hadapi. Makanya terbit PP ini,” ujar Menteri KKP, saat jumpa pers di Jakarta, Rabu di hari terakhir bulan lalu.

Pasir Laut
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono. [foto: dok.KKP]

Sementara alasan lain dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Menurut Arifin, alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut adalah untuk menjaga alur pelayaran serta mendatangkan nilai ekonomi. “Yang dimaksud dan dibolehkan itu sedimen, kan chanel itu banyakan terjadi pendangkalan, karena pengikisan dan segala macam. Nah untuk jaga alur pelayaran, maka didalami lagi. Sedimen itu lebih bagus dilempar ke luar daripada ditaruh di tempat kita juga,” kata Arifin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, di hari yang sama dengan konferensi pers yang digelar Menteri KKP.

Perbedaan alasan utama keluarnya PP tersebut dari wakil-wakil pemerintah itu wajar menimbulkan wacana liar tentang raison détre keluarnya PP 26 itu.

CERI, melalui Yusri, yakin keluarnya PP tersebut sejatinya karena dorongan untuk menggiatkan kembali ekspor pasir laut ke Singapura. Bagaimanapun ‘Negeri Singa’ itu memang sangat lapar pasir untuk melakukan reklamasi pantai demi memperluas lahan mereka. Menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2019 lalu, Singapura adalah importir pasir laut terbesar di dunia, yang selama dua dekade telah menampung 517 juta ton pasir dari negara-negara tetangganya.

Yakin akan besarnya peredaran uang di bisnis tersebut, Yusri mengatakan tak heran banyak pejabat berlomba pasang badan menyatakan ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan, malah berguna untuk menyehatkan laut dan mengamankan alur pelayaran.

Urusan ‘cuan’ juga diyakini peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda. Pasalnya, menurut dia, nilai ekspor komoditas itu di seluruh dunia memang menggiurkan, sekitar 1,71 miliar dollar AS atau tak kurang Rp24,6 triliun pada kurs Rp14.500. “Bila mengambil porsi lima persen saja, Indonesia bisa meraup sekitar 85,5 juta dollar AS atau Rp1,273 triliun,” kata dia. Potensi Indonesia besar mengingat penyuplai komoditas itu di dunia pun terbatas.

Demikian pula pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Kaltim, Herdiansyah ‘Castro’ Hamzah. Ia melihat lahirnya PP 26/2023 tersebut kental dengan orientasi bisnis. “Penanganan sedimentasi laut pada dasarnya hanya kedok. Tujuan sesungguhkan adalah ekspor pasir laut. Dan ini hanya untuk lapak bisnis para pemodal,” kata Herdiansyah.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim percaya pemberlakuan kebijakan ini hanya mengutamakan kepentingan politik jangka pendek oknum di pemerintahan. “Mereka ingin mendapatkan rente tanpa memikirkan Nasib nelayan yang akan terkena dampak langsung,” kata Halim kepada Inilah.com. “Target utamanya hanya bagaimana pemerintah mendapatkan printilan dengan menerbitkan izin pemanfaatan pasir laut tadi.”

Halim bahkan menduga waktu pemberlakuan kebijakan kontroversial yang berdekatan dengan pelaksanaan pemilu ini pun berkaitan dengan ‘pesta demokrasi’ tersebut. Apalagi, telah menjadi rahasia umum bahwa pemilu kita boros biaya. “Ini cara mudah untuk mendapatkan dana,” kata dia.

Soal indikasi hubungan keluarnya PP tersebut dengan Pemilu, juga diungkap Direktur Eksekutif Centre for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi. “Jadi kelihatannya memang migas kita, batu bara, nikel, semua itu (masih saja) kurang kenyang. Maka pasir juga dijual. Biar tambah kenyang untuk Pemilu,” kata Uchok pada Inilah.com.

Bangsa ini sepertinya memang senang terjatuh di lubang yang sama. Sesuatu yang menurut peribahasa bahkan enggan dilakukan seekor –maaf– keledai. [dsy/vonita/rizki/reza]

Back to top button