Kanal

Keputusan Besar di Senin Wage, Hari Penuh Amarah


Budaya konvensional Jawa meyakini Senin Wage bernaptu geni yang penuh amarah. Adakah itu berarti ada peluang besar putusan MK besok akan mengobarkan amarah? Ataukah putusan itu menguntungkan calon dengan karakter pemarah yang berlaku laiknya geni (api)?  

Sukar untuk membantah bahwa esok, Senin 22 April 2024, adalah hari yang ditunggu-tunggu banyak warga Indonesia. Kadar penantiannya tentu saja berbeda-beda, demikian pula alasan masing-masing kita. Tetapi, sulit menafikan mayoritas warga begitu merindu esok hari. Sebagian berharap, besok bisa menjadi batu pijakan (stepping stone), penanda dimulainya kepastian untuk era baru negeri ini.

Namun sulit untuk mengelak bahwa esok pun hari yang mencemaskan. Yang membuat banyak dari kita waswas dan gundah. Apalagi bagi mereka yang masih memelihara keyakinan akan tradisi Jawa. Dalam sistem penanggalan Jawa, selain ada siklus mingguan pancawara, yakni Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage, ada pula siklus harian dari Ahad sampai Sabtu, atau saptawara. Di antara sederet saptawara dan pancawara itu, ada Senin Wage. Orang Jawa lama percaya, Senin Wage adalah hari api, geni. Aura hari itu, menurut Primbon Jawa adalah hitam, kelam.

Dan semua itu bukan tanpa penanda. Pada Jumat (19/4) lalu, dua kelompok massa berlawanan aspirasi, pendukung capres-cawapres 01 Anies-Muhaimin, dan pendukung 02, Prabowo-Gibran, bentrok. Semula, massa yang menolak kecurangan Pemilu 2024 memang lebih dulu berdemonstrasi di kawasan Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat. Agak sore, sekitar pukul 15.00, datang rombongan massa yang menggotong spanduk bertuliskan “Tolak Intervensi Berkedok Sahabat Keadilan”. Tak lama, setelah sebelumnya saling ejek, kedua kelompok massa itu pun mulai saling saling lempar botol pslatik air minum, bahkan batu.  

Banjir Amicus Curiae

post-cover
Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). (Foto: Setkab.go.id)

Sebenarnya, banyak kalangan memandang positif rangkaian proses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) pada Pilpres kali ini. Mulai menyidangkan PHPU Pilpres sejak 2004—saat itu gugatan datang dari pasangan Wiranto-Gus Sholah yang tersingkir di putaran pertama, menggugat KPU ke MK dengan setidaknya sembilan poin keberatan—setiap lima tahun MK tak pernah sepi dari gugatan PHPU Pilpres. Namun banyak yang menilai proses PHPU Pilpres kali ini lain, hingga terkesan agak fenomenal.

Bukan karena pro-kontranya. Untuk soal pro-kontra dan kecemasan publik akibat dampaknya, PHPU Pilpres 2014 dan 2019 pun tak kurang bikin waswas. Yang lain, tampaknya tingkat dan jenis partisipasi publik di dalamnya. Tidak hanya dengan cara-cara ‘konvensional’ berupa penggabungan diri ke dalam kelompok massa pro salah satu pasangan calon. Yang banyak disorot dan sempat menjadi po-kontra, munculnya banyak “amicus curiae” dalam proses PHPU kali ini. Sebagian kalangan warga menganggap hal tersebut potensial membawa kebaikan bagi sistem hukum nasional; sementara sebagian lainnya justru melihatnya sebagai intervensi terhadap independensi hakim.  

Hingga Sabtu (20/4) lalu, MK menyatakan telah menerima 52 amicus curiae, yang datang dari berbagai golongan masyarakat. Terbanyak dalam sejarah PHPU Pemilu. “Nanti insya Allah, kami publish semua, sedang proses,” kata Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK, Fajar Laksono. Sebelumnya, pada Kamis (18/4), Fajar mengatakan baru kali ini MK menerima amicus curiae begitu banyak. Bagi MK, hal itu menunjukkan publik memiliki atensi dengan apa yang akan diputus oleh MK dalam sengketa Pilpres.

“Ini menunjukkan (besarnya) atensi publik dan masyarakat luas yang ikut memonitor perkara yang sedang disidangkan MK,” kata Fajar di Gedung MK, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Namun, kata dia, berdasarkan kebijakan Majelis Hakim Konstitusi, amicus curiae yang akan turut dibahas dalam pembahasan dan pengambilan putusan perkara adalah amicus curiae yang diterima MK hingga pukul 16.00 WIB tanggal 16 April 2024.

Oh ya, meski terkesan ‘orang baru’ dalam keberadaan sistem hukum Indonesia, amicus curiae bukanlah hal anyar. Menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dalam laman website mereka, icjr.or.id, amicus curiae atau “friends of the court” merupakan merupakan konsep hukum yang datang dari tradisi hukum Romawi. Melalui mekanisme amicus curiae, pengadilan diberikan izin untuk mengundang pihak ketiga guna menyediakan informasi atau aneka fakta hukum. “Amicus curiae, yang dalam bahasa Inggris disebut “friends of the court”, diartikan “A person who is not a party to a lawsuit but who petitions the court or is requested by the court to file a brief in  the action because that person has a strong interest in the subject matter”, tulis sebuah artikel di laman tersebut.

Amerika Serikat perlu waktu lama sebelum mulai mengizinkan hadirnya amicus curiae  pada kasus Green vs Biddle, pada awal abad 19. Namun setelah itu kehadirannya cukup dominan dalam banyak kasus hukum di negara itu. Dalam studi yang dilakukan tahun 1998, amicus curiae telah berpartisipasi pada lebih dari 90 persen kasus-kasus yang masuk ke Mahkamah Agung (US Supreme Court).

ICJR bahkan mendokumentasikan bahwa di Indonesia pun telah banyak kasus yang melibatkan amicus curiae. Pada sebuah artikel yang terbit Oktober 2020 lalu, ICJR  menghitung tak kurang dari delapan kasus melibatkan amicus curiae. Di antara kasus-kasus tersebut, antara lain, kasus Peninjauan Kembali (PK) kasus majalah Time versus Soeharto, kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang, kasus Baiq Nuril, korban pelecehan seksual di PN Mataram, NTB, dan sebagainya.

Tapi memang, ibarat sebuah koin, amicus curiae punya sisi lainnya sendiri. Paling tidak dalam interpretasi public. Tak kurang yang menganggapnya sebuah  bentuk kepedulian public terhadap peradilan, di sisi lain amicus pun dinilai berpotensi menimbulkan intervensi terhadap berjalannya proses hukum. Sebagian pendukung Prabowo-Gibran jelas berada pada kelompok ini. Lihat saja spanduk yang mereka kembangkan lebar-lebar pada saat bentrok dengan pendukung 01, Jumat (19/4) lalu. “Tolak Intervensi Berkedok Sahabat Keadilan!” seru spanduk itu, garang. Karena itu pula, kelompok itu bahkan sesumbar pendukungnya akan mengirim 10 ribu amicus curiae ke MK.

Pakar Hukum Tata Negara dan salah seorang pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, mengatakan pendapat hukum yang disampai-kan sahabat pengadilan bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara. Ia menunjuk pasal 5 Undang-Undang no 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalamnya diterakan bahwa hakim konstitusi “wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Baginya, justru hal itu fenomena yang sehat dalam proses peradilan. “Bagi saya ini adalah salah satu cara hakim untuk menggali suara masyarakat di luar pembuktian para pihak di dalam sidang,” ujar Bivitri.

Sebagaimana diakui Kepala Biro Hukum dan Administrasi Kepaniteraan MK, Fajar Laksono, MK telah menerima 52 amicus curiae untuk perkara PHPU Pilres 2024. Ke-52 ajuan tersebut dikirimkan banyak kalangan masyarakat. Tidak hanya mereka yang sehari-hari terlibat dengan perkara hukum seperti advokat, pusat kajian hukum dan biro hukum, melainkan organisasi mahasiswa (UGM, UNPAD, Undip, Unair dan Senat Mahasiswa STF Driyarkara). Juga pribadi perseorangan, seperti Busyro Muqoddas, Saut Situmorang, Feri Amsari, Usman Hamid, Abraham Samad, Megawati Soekarnoputri, Habib Rizieq Shihab, Din Syamsudin, Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Martak, Munarman, Dindin S. Maolani, Rizal Fadillah, Marwan Batubara. Ada juga para mantan tentara yang telah purnawira, yakni Jenderal (Purn) TNI Tyasno Sudarto, Letjen (Purn) TNI Soeharto dan Mayjen (Purn) TNI Soenarko.

Ada pula ajuan dari ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel. Reza mengaku idenya menulis amicus curiae dipicu pernyataan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, saat bersaksi dalam sidang sengketa Pilpres, Jumat (5/4) lalu. “Saat itu, Menko PMK menyatakan ‘terlalu mustahil kalau hanya seratus kunjungan untuk secara simbolik membagi Bansos, kemudian itu berpengaruh secara nasional. Itu saya kira doesn’t make sense’,”tulis Reza dalam amicus curiae yang ia kirimkan.

Bagi Reza, ada mekanisme psikologi di balik pengaruh pemberian bantuan sosial atau bansos terhadap sikap politik masyarakat. “Rekayasa sosial (social engineering), pada banyak hal dilangsungkan dengan memanfaatkan mekanisme vicarious lear-ning,” tulis Reza. Istilah itu merujuk kemampuan manusia untuk belajar melalui pengamatan (observasi), bukan berdasarkan pengalaman langsung.

“Mengacu uraian tentang mekanisme vicarious learning di atas, dapat dipahami bahwa Bansos juga potensial bekerja dengan memengaruhi mental masyarakat,” ucap Reza. Dengan begitu, kata Reza, meski Bansos Presiden Joko Widodo dan beberapa menterinya diberikan hanya kepada ribuan orang, lewat kabar dari mulut ke mulut, didorong ekspos media konvensional dan media sosial yang masif, pilihan politik berjuta-juta orang Indonesia akan dapat terpengaruh pilihan politiknya.

Yang lain, kata Reza menyesalkan, adanya dampak destruktif Bansos terhadap relasi antara masyarakat dan pemerintah. Menurut Reza, praktik bagi-bagi Bansos pada masa kampanye politik merupakan penerapan pork barrel theory alias teori gentong babi. Tak hanya diyakini berpengaruh positif ketika digelontorkan menjelang hari pencoblosan, Reza waswas karena praktik itu akhirnya menentukan sikap masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.

Hal itu didasarkan kesimpulan studi di negara-negara seperti Slovakia dan Czech, yang memiliki kesamaan dengan Indonesia sebagai negara yang marak akan korupsi. “Hasil penelitian tentang efek pork barrel terhadap konstituen di negara-negara korup, nyata-nyata menunjukkan bahwa pemberian Bansos pada masa kampanye memiliki ramifikasi masalah yang sangat serius,”ujar Reza.

Meneropong Putusan MK

post-cover
Calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 03, Mahfud Md saat memberikan keterangan di sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Mahkamah Konstitusi (MK) – (Foto: Inilah.com/ Reyhaanah Asya)

Datang ke MK dengan kekecewaan serta serangkaian dalil soal adanya nepotisme  dan kecurangan pembagian Bansos, belakangan Tim Paslon 03 justru optimistis terhadap bakal putusan MK. Hal tersebut dikemukakan Ketua Tim Hukum 03, Todung Mulya Lubis. “Saya sih optimistis akan ada putusan yang cukup progresif dari MK,”ujar Todung, lebih dari sepekan sebelum pengumuman, Ahad (14/4). “Saya harap (gugatan) akan dikabulkan, karena kami memang punya alasan yang sangat kuat untuk meminta diskualifikasi dan meminta pemungutan suara ulang.”

Lebih jauh, Todung percaya para hakim MK memahami arti penting permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) bagi masa depan bangsa. “Karena ini menyangkut masa depan demokrasi di Indonesia, masa depan bangsa Indonesia,” kata Todung.

Optimisme yang sama juga datang dari tim pendukung pasangan 02, “Kami meyakini bahwa memang apa yang telah kami sampaikan, kami argumentasikan dan kami sajikan, fakta-fakta di persidangan ini akan membuat hasil yang baik. Prabowo dan Mas Gibran akan menjadi presiden dan wakil presiden 2024-2029,” kata Ketua Tim Pembela Hukum Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra di Gedung MK, Selasa (16/4) lalu.

Dari luar gelanggang sidang, Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar, berharap para Hakim Konstitusi menemukan keadilan. Hal itu disampai-kan Zainal saat acara “Sidang Pendapat Rakyat untuk Keadilan Pemilu” yang digelar PP Muhammadiyah secara daring, Jumat (19/4), empat hari sebelum hari H putusan. “Saya ingin mengajak Hakim Konstitusi, …membayangkan …apa pesan yang ingin kita titipkan kepada anak cucu,”kata Zainal dalam acara tersebut. Ia meyakini, putusan MK besok akan menjadi momentum bagi MK untuk mengembalikan marwah konstitusi kepada penegakan keadilan demokrasi. Bagi Zainal, Hakim Konstitusi memiliki wewenang mengadili, bahkan (untuk hal)  yang bukan dalam permohonan. “MK harus memperhatikan konsep yang selalu (ada) dalam putusan hukum, ex aequo et bono, di mana hakim diberikan kesempatan dan ruang untuk membuat sebuah putusan bahkan di luar dari apa yang ada, di luar dari yang dimohonkan,”kata dia.

Sepenelusuran redaksi, dari literatur-literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering diartikan sebagai “according to the right and good”, atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan “by principles of what is fair and just”. Berdasarkan kamus “Juridisch Latin” karya GRW Gokkel dan N van der Wal, yang belakangan dialihbahasakan S Adiwinata (1986), frase tersebut hanya didefinisikan sebagai “menurut keadilan”.

Pengadilan Indonesia tercatat beberapa kali memutus berdasarkan ex aequo et bono. Pada Agustus 2008 silam, majelis hakim PN Jakarta Pusat memutuskan hak pedagang Pasar Tanah Abang untuk mendapatkan prioritas membeli kios atas dasar. Atas nama keadilan, majelis menilai para pedagang adalah pemilik sah dari kios yang dibongkar Pemda. Karena itu, pedagang tetap berhak mendapatkan ruko semula.

Pada acara yang sama, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, seolah menimpali Zainal saat mengatakan bahwa putusan MK dalam sengketa Pilpres 2024 ini harus berpihak kepada supremasi etika kenegaraan. “Karena berbasis pada berbagai abnormalitas yang sudah menjadi fakta umum, sebagai hasil Pemilu yang tidak memiliki keabsahan secara etika dan moral politik dan hukum,” kata Busyro. Ia berharap, putusan yang berpihak kepada etika kenegaraaan itu akan merubah situasi bangsa dari derita adab dan derita rakyat,  “Kembali ke puncak tertinggi keadaban bangsa dan daulat rakyat yang hakiki. Sekaligus merupakan peluang emas bangkitnya public trust kepada kualitas kenegarawanan delapan hakim di MK,” ujar Busyro.

Bagaimana prediksi para jawara hukum tentang putusan MK besok? Pengajar  Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan ada tiga pendekatan yang digunakan pengadilan dalam menangani perkara PHPU Pilpres 2024. Pertama, pendekatan preskriptif, yang fokus pada pelanggaran yang terjadi tanpa mempertimbangkan dampak dari hasil. Sekali terbukti ditemukan pelanggaran, pengadilan langsung membatalkan hasil pemilu. Pendekatan, kata Titi, ekstrem. “Indonesia tidak pernah mempraktikkannya.”

Pendekatan kedua adalah determinatif, yang menitikberatkan penanganan pada hasil Pemilu. Lembaga pengadilan akan melihat dampak pelanggaran yang terjadi terhadap hasil Pemilu. Titi melihat pendekatan inilah yang dipraktikan di Indonesia sejak MK menangani PHPU 2004 silam. Ketika pertama kali menangani PHPU Pilpres 2004, MK menyatakan tak sekadar menangani pendekatan secara kuantitatif, tapi juga kualitatif, yakni menegakan keadilan dan prinsip Pemilu.

Pada pendekatan ketiga, yakni campuran antara preskriptif dan determinative, hal itu bisa menganulasi hasil Pemilu dengan dasar pengaruh terhadap hasil serta mempertimbangkan bobot pelanggaran berapa pun hasil perolehan suara. Pende-katan ini mendorong setiap orang untuk tidak melakukan pelanggaran atau meng-anggap pelanggaran itu tidak akan berpengaruh pada hasil Pemilu. “Selain signifikan, bobot pelanggaran juga menjadi pertimbangan. Menurut Titi, ini yang digunakan sejumlah negara untuk menjembatani pendekatan preskriptif dan determinatif.

post-cover
Aksi massa menghiasi jalannya sidang PHPU sengketa Pilpres di MK (Ilustrasi: Inilah.com/Haviez Ali)

Titi sendiri memprediksi, sebelum memutus MK akan mempertimbangkan signifikansi pelanggaran terhadap perolehan suara atau hasil Pemilu. Dengan pendekatan itu, ia memprediksi MK tidak akan memutus pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS dalam perkara PHPU Pilpres 2024. MK akan mempertimbangkan PSU hanya untuk wilayah tempat terjadinya pelanggaran dan berpengaruh terhadap perolehan suara.

Titi mencatat selama ini belum ada putusan PHPU Pilpres yang memerintahkan dilakukannya PSU. Tapi, mengacu PHPU perkara legislatif dan kepala daerah, ada potensi MK memberikan putusan sela untuk dilakukan PSU. Hasil PSU itu dilaporkan kembali kepada MK untuk selanjutnya diputus secara final. Jika amar putusan MK nanti PSU tanpa ada calon yang diskualifikasi, maka peserta PSU untuk tiga pasangan calon seperti yang ada saat ini yakni Anies-Muhaimin, Prabowo-Gibran, dan Ganjar-Mahfud.

Sementara dosen Ilmu Politik Universitas Udayana, Bali, Efatha Filomeno Borromeu Duarte, memprediksi ada lima skenario potensial putusan MK besok. Efatha merinci lima skenario potensial itu sebagai berikut. Jika bukti kecurangan tidak cukup substantif, Efatha menilai MK akan mempertahankan hasil Pemilu. Kedua, MK akan membatalkan hasil Pemilu berdasar atas bukti kuat mengenai pelanggaran yang luas di Pemilu 2024. “Putusan ini akan mengirim sinyal kuat tentang ketidaktoleransian terhadap pelanggaran dalam Pemilu, menegaskan prinsip keadilan substansial dan prosedural dalam pemilu,” kata Efatha.

Peluang ketiga, MK mungkin memerintahkan investigasi lebih lanjut jika terdapat indikasi kuat tetapi belum cukup bukti konkret. Keputusan ini dapat bersandar pada prinsip prudensial hukum, yang mengakui pentingnya penyelidikan menyeluruh sebelum membuat keputusan yang mengubah konstelasi politik. Keempat kemungkinan dilakukannya Pemilu ulang di beberapa wilayah tertentu. Kelima, MK bisa jadi menolak seluruh gugatan jika argumentasi hukum dan bukti yang disampaikan tidak memenuhi standar hukum yang tinggi untuk mengubah atau membatalkan hasil Pemilu. Putusan itu akan berlandaskan pada prinsip bahwa gugatan harus didasarkan pada bukti konkret dan signifikan.

Pakar Hukum Tata Negara dan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, juga punya empat prediksi untuk besok. Dalam versi Denny, ada empat opsi keputusan yang akan disahkan besok. Pertama, MK menolak seluruh permohonan, yang akan berdampak pada  MK menguatkan keputusan KPU yang memenangkan paslon Prabowo-Gibran. Kedua, MK mengabulkan seluruh permo-honan para pemohon, yang akan berdampak pada MK diskualifikasi paslon Prabowo-Gibran dan melakukan pemungutan suara ulang hanya di antara paslon 1 dan 3.

Ketiga, MK mengabulkan sebagian permohonan yaitu mendiskualifikasi Gibran, yang akan berdampak pada Prabowo dapat kembali ikut pemungutan suara ulang dengan pasangan cawapres yang baru. Yang keempat, MK mengabulkan sebagian permohonan dengan membatalkan kemenangan Gibran, yang akan berdampak pada Prabowo dilantik menjadi presiden tanpa Gibran.

Anda pun mungkin punya prediksi sendiri, berdasarkan ilmu, wawasan dan boleh jadi, kecenderungan pribadi. Tapi mengapa sih tidak memilih bersabar saja hingga besok, tanpa harus pusing-pusing memikirkannya saat ini? Yang jelas, bagi pemegang keyakinan Jawa kuno, putusan MK besok diyakini terkait api dan amarah. Atau putusan itu bisa mengobarkan amarah yang berujung prahara bagi bangsa, atau putusan MK itu justru menguntungkan persona berkarakter api—naptu Senin Wage–, yakni seorang yang konon menurut Primbon mempunyai watak lakuning geni, sangat berapi-api, angkuh, ambisius, kejam, dan tinggi hati.[dsy/vonita/reyhaanah/diana]

Back to top button