Kanal

Kepercayaan Terpuruk, Mampukah Muruah Si ‘Idu Geni’ Bangkit?

Pakar hukum Prof Satjipto Rahardjo sempat menyebut hakim konstitusi mampu mengeluarkan ‘idu geni’ atau ‘ludah api’. Karena itu, sangat berbahaya jika pemilik ‘idu geni’ itu ternyata bukan negarawan yang sebenar-benarnya. Muruah penegakan hukum pun bisa menjadi terpuruk dan sulit pulih kembali.

‘Ludah’ sembilan hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut ‘mengeluarkan api’ karena sekali mereka memutuskan, 280 juta rakyat Indonesia harus diam, patuh, dan manut. Tidak boleh ada protes, banding, tidak ada jalan untuk melawan. Di atas MK hanya ada langit. Apakah itu tidak mengerikan namanya?

Hakim MK adalah orang-orang yang paling mengerti kandungan moral dan kehendak UUD dan oleh karena itulah mereka diberi kepercayaan mutlak untuk melakukan pengujian terhadap UUD. Kengerian terhadap kepercayaan tersebut semakin besar, mengingat UUD itu bukan undang-undang biasa.

‘Ludah api’ dari hakim MK itu akhir-akhir seakan tak bertaji, tak lagi punya kekuatan luntur tergerus kepercayaan publik yang terus merosot. Dalam kurang dari sebulan MK menjadi sorotan publik atas ulah dari pimpinannya yakni Anwar Usman. Ini tak lepas dari kasus terakhir dengan keputusan yang kontroversial.

Kasus itu adalah putusan MK No.90/PU-XXI/2023 atas uji materil Pasal 169 huruf q UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang membuka pintu bagi calon presiden (capres) calon wakil presiden (cawapres) di bawah usia 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menjabat kepala daerah. Putusan itu menjadi kontroversi karena dinilai memuluskan jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Ada 15 akademisi melaporkan Anwar Usman karena diduga mempunyai konflik kepentingan mengingat posisinya sebagai Paman dari Gibran atau adik ipar dari Presiden Jokowi ketika memeriksa dan mengadili perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu. Anwar Usman pun diperiksa oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Dalam sidang yang digelar pada Selasa (7/11/2023), MKMK memutuskan, Anwar Usman terbukti melakukan pelanggaran etik berat terkait konflik kepentingan dalam putusan MK soal syarat minimal usia calon presiden dan calon wakil presiden. Atas dasar itu, Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK.

Kepercayaan Publik Sudah Rusak

Kasus terakhir di MK ini semakin membuktikan bahwa situasi hukum ketatanegaraan di Tanah Air sedang tidak baik-baik saja. “Kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) sudah rusak usai keluarnya putusan terkait batas usia capres-cawapres,” ujar Muhammad Isnur, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jumat (4/11/2023).

post-cover
Sidang putusan dugaan pelanggaran etik terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (7/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Kepercayaan publik terhadap MK sudah mengalami degradasi yang amat dalam terhadap putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Apalagi dalam beberapa putusan MK sebelumnya, juga dinilai banyak menuai kontroversi. Seperti lima putusan MK yang menolak atas uji formil atas UU No.6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU. Yakni putusan perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 41/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023, serta Perkara Nomor 50/PUU-XXI/2023. Padahal putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 atas uji formil UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat. 

Isnur menilai, krisis konstitusi tak terjadi akibat kesalahan mutlak MK. Tapi ditengarai terdapat peran pemerintahan Presiden Joko Widodo. Baginya, kondisi tersebut menjadi pelajaran penting bagi rezim pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Isnur menilai kepala negara telah melakukan tindakan yang melawan konstitusi.

Miris memang melihat kondisi MK saat ini. Masyarakat sering mencibirnya dengan istilah-istilah yang menyindir seperti menyebutnya dengan Mahkamah Keluarga atau Mahkamah Keponakan karena dianggap memberikan karpet merah kepada keponakan ketua MK yang kebetulan adalah putra sulung Presiden Jokowi,  yaitu Gibran untuk maju sebagai cawapres pada Pilpres 2024 mendatang.

Sangat menyedihkan karena MK justru didirikan di era Reformasi sebagai lembaga peradilan yang kredibel, untuk melaksanakan konstitusi dan mewujudkan cita-cita Reformasi antara lain penegakan hukum dengan memberantas KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). 

Padahal kekuatan utama dari lembaga peradilan bukanlah senjata atau uang, melainkan kepercayaan publik. Sebuah peradilan akan dipatuhi putusannya jika lembaga tersebut terpercaya. Sebaliknya, tanpa kepercayaan masyarakat, apa pun putusannya akan ditertawakan, diolok-olok, dan tidak dianggap. 

Karenanya kekecewaan publik terhadap MK harus dipulihkan kembali. Apalagi MK dihadapkan pada agenda besar bangsa, yakni penyelenggaraan pemilu yang berlangsung tahun depan. MK memiliki tugas berat penyelesaian perkara-perkara perselisihan hasil pemilihan umum anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres). MK harus bisa membuktikan bahwa ia dapat dipercaya oleh rakyat dengan keputusan yang adil.

Babak Baru MK Pulihkan Kepercayaan

MK kini memasuki babak baru setelah Anwar Usman dijatuhi sanksi oleh MKMK berupa pemberhentian dari jabatan Ketua karena terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Sapta Karsa Hutama saat mengadili Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 perihal syarat batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Tanggung jawab Ketua MK pun telah berpindah tangan kepada Suhartoyo yang terpilih secara aklamasi. Lalu apakah sang ketua baru ini bisa memulihkan kembali muruah MK? Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Dr. Fahri Bachmid menilai, apakah masyarakat bakal kembali memberikan kepercayaan kepada MK atau tidak, hanya waktu yang bisa membuktikannya. 

“Saya kira waktu yang akan membuktikan dan saya kira kepemimpinan Ketua MK yang baru memiliki tugas utama untuk menjawab keraguan masyarakat itu,” kata Dr Fahri kepada Inilah.com. Hanya saja ia mengingatkan, bahwa sanksi dari MKMK juga tidak hanya ditujukan kepada Anwar Usman tetapi juga beberapa hakim juga mendapat peringatan tertulis.

post-cover
Mantan Ketua MK, Anwar Usman (tengah) bersama Ketua MK Suhartoyo (kedua kiri), Hakim MK Saldi Isra (kiri), Wahiduddin Adams (dua kanan) dan Manahan M.P. Sitompul (kanan) berfoto bersama usai memberikan keterangan pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (9/11/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Sehingga ke depan dengan kepemimpinan baru diharapkan harus ada perbaikan performa semua hakim konstitusi secara kolektif dalam menangani perkara di MK. “Tapi saya masih percaya bahwa hakim-hakim MK yang ada saat ini masih cukup kredibel, cukup berintegritas sehingga ke depan kita harus memberikan kesempatan dan pengawasan yang lebih konstruktif untuk kerja-kerja hakim konstitusi yang lebih kredibel dan lebih berintegritas,” tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie. Ia berharap Ketua MK yang baru dan hakim MK lainnya dapat melakukan rekonsiliasi ke dalam dan mengembalikan kepercayaan di masyarakat. “Saya percaya di bawah kepemimpinan ketua yang baru, kepercayaan masyarakat akan bisa pelan-pelan dipulihkan,” kata Jimly ketika berbincang dengan Inilah.com

Bukan Hal Mudah Bagi Si ‘Idu Geni’

Bukan hal mudah memang memupus kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa MK tidak bisa lagi diharapkan menjadi mahkamah yang adil dalam memutus perkara. Masyarakat masih sulit untuk menghapus ingatan kolektif bahwa hakim-hakim MK yang ada saat ini, termasuk Anwar Usman yang belum mundur dari lembaga itu, masih menjabat dan belum berubah. Artinya keputusan yang dibuat hakim-hakim MK ini dikhawatirkan tidak akan berbeda dengan produk-produk putusan sebelumnya. 

Dengan demikian, kemungkinan conflict of interest dalam dalam kasus di MK masih berpotensi terjadi terutama dalam persengketaan pemilu baik Pilpres maupun Pileg. Ini jelas berbahaya jika kepercayaan terhadap MK kembali runtuh, sehingga masyarakat bisa bertindak dengan caranya sendiri untuk mencari keadilan dengan melibatkan massa. Sesuatu yang sangat menyeramkan jika ini benar-benar terjadi karena sangat potensial terjadi konflik dan gesekan di kalangan masyarakat.

Jika tidak ingin hal itu terjadi, MK harus memiliki keinginan yang kuat untuk menegakkan muruah yakni kehormatan dan harga diri lembaga ini dengan memperbaiki kinerja dan integritas para hakimnya. Kalau tidak, berarti akan kembali mengulang fenomena sebelumnya yakni ketua tanpa muruah di MK. Berarti pula MK bukan lagi mengeluarkan ‘ludah api’ tetapi ‘ludah’ yang menebar bau busuk ketidakadilan hukum di Tanah Air. Semoga tidak terjadi. [Dindin/Claraanna]

Back to top button